GAGASAN Berto Tukan mendirikan ‘Sekolah Minggu’ menarik untuk diramaikan.[1] Sebelumnya, sudah ada dua rekan lain yang berpartisipasi.[2] Tulisan ini ditujukan untuk turut meramaikan Sekolah Minggu. Alih-alih memberikan rumus jitu menjawab pelbagai macam pertanyaan yang dilontarkan lewat tiga tulisan sebelumnya, tulisan ini justru memunculkan beberapa pertanyaan terkait dengan gagasan dasar pendirian Sekolah Minggu.
Wacana ‘Sekolah Minggu’ diluncurkan dengan gambaran tentang bagaimana secara historis sekolah formal di Indonesia tidak bisa terlepas dari konteks masyarakat yang melingkupinya. Pada jaman kolonial, sekolah formal di Indonesia didirikan sebagai mesin produksi Ambteenar Pemerintah Hindia Belanda. Mengutip Pramoedya, sekolah formal kala itu hanya melahirkan manusia bermental ‘jongos dan babu.’[3] Rupanya, kondisi semacam itu diwariskan sampai sekarang, ketika sekolah formal berada dalam sistem masyarakat kapitalis-industri. Sekolah formal kemudian berfungsi memperkuat sistem itu. Gagasan ini terbukti dengan kemunculan ‘buruh kerah putih’ yang berfungsi sebagai sekrup mesin produksi masyarakat kapitalistik.[4] Alih-alih membebaskan muridnya, sekolah formal justru memperkeruh masalah dengan memunculkan ketidakadilan dan mempertegas segregasi kelas sosial dalam masyarakat.
Bukti-bukti semacam ini mendorong Saudara Berto Tukan menggagas Sekolah Minggu. Catatan akhir dalam tulisan itu, ‘Sekolah Minggu tidak merujuk pada sebuah kegiatan khusus di gereja-gereja,’ menjadi penting untuk diperhatikan bagi pembaca.[5] Dalam catatan itu, saya melihat, ‘Sekolah Minggu” dinyatakan sebagai “sekolah alternatif’ – vis a vis sekolah formal yang dikritik tajam dalam tulisan tersebut dan dua tulisan berikutnya. Oleh karenanya, saya melihat, gagasan Sekolah Minggu adalah gagasan tentang sebuah ‘sekolah’ – dari bahasa Latin schola, ‘menghabiskan waktu luang untuk belajar’ – yang digelar sebagai bentuk tandingan bagi sekolah formal – yang diselenggarakan pada selain hari Minggu. Minggu adalah sebuah simbol hari yang pada hari itu sekolah formal berhenti berulah. Oleh karenanya, di Sekolah Minggu kita dapat keluar sejenak dari sekolah formal demi mewujudkan waktu ideal bagi manusia mengeksplorasi dirinya sebagai manusia merdeka.
Saudari Prathiwi melanjutkan gagasan tentang arsitektur sekolah alternatif dengan menghadirkan contoh dari Brazil. Yang menarik bagi saya justru bukan itu, melainkan pemunculan dua variabel kunci: upah dan tingkat pendidikan.[6] Apakah ini gambaran ideal manusia Indonesia modern? Pertanyaan semacam ini membuat saya kembali pada tulisan awal Berto Tukan yang memunculkan dua gambaran manusia produk sekolah formal dalam dua kisah fiktif: satu oleh Pramoedya Ananta Toer dan satu oleh Andrea Hirata. Dari kedua kisah itu kita diajak melihat bagaimana sekolah formal telah melahirkan kelas baru manusia Indonesia (yang bermental jongos dan babu) dan mempertahankan ketidakadilan (antara Ikal dan Lintang).[7] Akan tetapi, Saudari Prathiwi melihat harapan akan adanya suatu perubahan. Sekalipun realisasi harapan itu menuntut peran besar dari struktur.[8]
Sayangnya, gagasan tentang harapan perubahan itu seakan dibungkam dalam tulisan selanjutnya oleh Gilang Pandeka yang menghadirkan contoh riil tentang bagaimana pembangkangan sipil ternyata telah ditundukkan secara sistemik oleh struktur (sistem yang kapitalistik) dan kultur (praktik keseharian) sekolah formal di Indonesia.[9] Dengan kata lain, budaya berpikir kritis manusia Indonesia telah dibungkam sejak dini justru oleh sekolah formal yang dibayangkan sebagai sebuah lembaga pembebasan. Ini, menurut saya, adalah sebuah ironi sekaligus tantangan terbesar bagi gagasan pendirian Sekolah Minggu sebagai sekolah alternatif.
Saya akan menutup tulisan pendek ini bukan dengan resep manjur bagi pelbagai penyakit sekolah formal yang sudah disampaikan oleh para penulis di Sekolah Minggu sebelumnya. Saya justru akan memunculkan beberapa pertanyaan. Karena, menurut saya, sekolah pembebasan tidak berhasil ketika siswa dapat menjawab soal-soal yang dilontarkan dengan baik dan benar, sesuai dengan yang dikehendaki sang pengajar. Sekolah pembebasan justru dikatakan berhasil ketika lahir pertanyaan-pertanyaan baru, yang otentik.
Pertama, saya melihat ada pekerjaan besar tentang penggambaran manusia Indonesia yang ideal. Saat ini, menjadi pegawai negeri (Ambtenaar) ataupun buruh kerah putih masih mendominasi alam pikir siswa sekolah formal di Indonesia. Pertanyaannya, seperti apakah gambaran ideal manusia Indonesia selama ini? Dan dengan cara apa saja dia direproduksi di sekolah formal? Dan, yang terpenting kemudian, bagaimana mendekonstruksi gambaran ideal itu?
Kedua, masih terkait dengan pertanyaan pertama, saya juga melihat satu pertanyaan besar tentang: bagaimanakah wujud ideal relasi sistem persekolahan dengan masyarakat tempatnya hidup? Bagaimanapun juga, entah apapun bentuk masyarakat yang melingkupinya, sekolah memiliki tanggungjawab tripleks. Pertama, dia harus bertanggungjawab untuk menghasilkan manusia yang tidak teralienasi dari masyarakat yang melingkupinya (fungsi sosialisasi). Kedua, dia juga bertanggungjawab untuk menghasilkan manusia yang dapat menjaga kesinambungan sistem dan struktur dalam masyarakat (fungsi produksi). Ketiga, dia juga harus bertanggungjawab untuk memelihara nalar kritis anggota masyarakat itu. Bukan membenarkan yang biasa, tapi membiasakan yang benar (fungsi emansipatoris).
Ketiga, bagaimanakah Sekolah Minggu, ataupun arsitektur sekolah alternatif lainnya, dapat menjamin tidak akan terjebak sebagai perluasan strategi penundukkan nalar kritis seperti yang terjadi pada sekolah formal? Dan menurut saya, ini adalah beberapa pekerjaan rumah besar yang perlu dibicarakan dalam Sekolah Minggu.***
Anton Novenanto, sosiolog budaya
[1] Berto Tukan, ‘Sekolah Minggu,’ Indoprogress.com, November 02, 2013, https://indoprogress.com/sekolah-minggu/.
[2] Prathiwi, “Sesudah Sekolah Minggu,” Indoprogress.com, November 06, 2013, https://indoprogress.com/sesudah-sekolah-minggu/; Gilang Pandeka, “Sesudah Sekolah Minggu, Datanglah Sekolah Mingguan,” Indoprogress.com, November 11, 2013, https://indoprogress.com/sesudah-sekolah-minggu-datanglah-sekolah-mingguan/.
[3] Tukan, ‘Sekolah Minggu.’
[4] Prathiwi, ‘Sesudah Sekolah Minggu.’
[5] Tukan, ‘Sekolah Minggu.’
[6] Prathiwi, ‘Sesudah Sekolah Minggu.’
[7] Tukan, ‘Sekolah Minggu.’
[8] Prathiwi, ‘Sesudah Sekolah Minggu.’
[9] Pandeka, ‘Sesudah Sekolah Minggu, Datanglah Sekolah Mingguan.’