BEBERAPA hari terakhir ini, sosial media yang saya ikuti riuh oleh berbagai gosip, makian, dan sedikit perdebatan yang mencerahkan—seringkali juga mencengangkan. Saya tentu saja tidak mengandaikan semua pembaca berada dalam lingkaran yang sama dengan saya di dalam sosial media. Untuk itu saya minta maaf jika tulisan kali ini berasumsi Anda semua mengetahui apa yang hendak dibicarakan. Jika ternyata tidak, semoga Anda berkenan untuk mencari-tahunya sendiri bila dirasa penting—meskipun, hemat saya, itu tidak penting sama sekali.
Hari-hari ini apa yang ramai di sosial media lantas menjelma berita yang dipercaya, lantas menjelma kenyataan. Kita tentu saja harus tahu, apa yang diungkapkan sosial media, sebagai salah satu capaian teknologi informasi, belum tentu merepresentasikan kenyataan yang terjadi. Bahkan, kita harus hati-hati karena kerap kita berlari terlalu jauh dari apa yang sebenarnya terjadi.
Gosip pertama, tentu saja berita berikut komentar-komentar yang mengikuti peristiwa demonstrasi para dokter. Yang kedua kontroversi seputar Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2013, dan yang terakhir berita tentang dilaporkannya seorang penyair papan atas berinisial SS ke polisi dengan tuduhan pelecehan seksual. Barangkali, ketika tulisan ini diturunkan, dengung ketiga peristiwa itu masih menghentak membahana di sosial media kita. Saya akan coba menyarikan sepenangkapan saya ketiga peristiwa ini.
Demonstrasi dokter diawali dengan keputusan MA untuk mempidanakan tiga dokter di Manado. Para dokter pun menunjukan aksi solidaritas pada ketiga rekannya itu. Anehnya, beberapa tulisan mengenai hal ini menganggap demo dokter tidaklah etis. Yang paling mengganggu saya adalah anggapan bahwa tidak etis jika profesi dokter, yang notabene berpendidikan, dan ‘lebih tinggi’ daripada buruh pabrik, melakukan aksi mogok untuk membela rekan mereka. Silahkan anda lihat di sini dan di sini sebagai contohnya. Terkesan seolah-olah demonstrasi adalah cara orang tak berpendidikan memberikan pendapat. Semestinya, demikian pendapat itu, orang berpendidikan punya kanal atau harusnya lebih elok nan cerdas dalam memberikan pendapatnya. Tentu pandangan ini jauh dari esensi atau apa yang memungkinkan demonstrasi itu ada. Kalau saya tak salah—tolong dikoreksi jika salah—demonstrasi ada karena kanal-kanal untuk menyalurkan pendapat telah mampet. Masalah pendapat mana yang benar dan mana yang salah, bukan urusan.
Dengan begitu, kesimpulan sementara saya, para dokter menggelar aksi unjuk rasa lantaran kanal untuk menyatakan pendapat dianggap tak lagi bisa digunakan oleh mereka. Tentu saja kesimpulan ini perlu diuji dengan memperhatikan kronologi peristiwa yang sebenar-benarnya; apakah etika profesi dokter yang dilanggar, kesalahan manajemen rumah sakit, ataukah memang tak tertolongkan oleh berbagai hal yang lain dari sang pasien tersebut. Lagi pula, institusi hukum di negara ini memang tengah kehilangan mukanya. Bahkan di dalam institusi itu sendiri terjadi proses pembusukan luar biasa. Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa MK beberapa waktu lalu. Sehingga, tak heran jika seorang dokter di pelosok yang berjibaku dengan ketabahan dan kekurangan fasilitas bisa begitu solider dengan koleganya
Sangat dan sangat dan sangat lebih tidak elok lagi ketika kita memaki demonstrasi dokter lantaran mereka kelas menengah. Kekelas-menengahan dan profesi dokter dalam hal demonstrasi mereka tak ada hubungannya. Dengan mencaci dan mengutuki dokter yang berdemonstrasi, jangan-jangan kita jug mencaci praktik demonstrasi itu sendiri (lihat kekonyolan yang dilakukan dua tulisan yang saya rujuk di atas).
Kabar lain datang dari dunia sastra kita. Yang pertama adalah kontroversi terpilihnya novel Pulang karya Leila S. Chudori. Banyak yang beranggapan bahwa novel ini tak pantas menang. Seharusnya penghargaan itu jatuh kepada Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya A. S. Laksana. Barangkali saya salah, tetapi soal penghargaan-penghargaan di ranah sastra kita memang kerap menimbulkan permasalahan dan perdebatan. Untuk saya sendiri, yang sebatas penikmat sastra, meski pun sesekali menulis dan mengritik, hal itu lumrah terjadi. Barangkali masalah ini berkelindan bersama tak adanya sebuah pengukuran yang dapat dilihat dalam ranah kritik sastra di negeri ini. Bagaimana kita bisa menentukan karya mana yang lebih berhak dan bermutu bila di saat bersamaan iklim kritik sastra kita tak bergairah sama sekali? Alih-alih berperang urat syaraf tentang siapa yang pantas menang, lebih baik berkonsentrasi dalam hal membangun iklim kritik sastra yang baik. Hal itu lebih berguna ketimbang berdebat panjang lebar tentang siapa yang lebih berhak atas sebuah penghargaan. Meski pun memang, sebuah penghargaan adalah juga salah satu bentuk apresiasi dan kritik juga.
Terakhir, masih dari dunia sastra; seorang penyair kenamaan dilaporkan ke Polisi dengan tuduhan pelecehan seksual. Saya tidak akan masuk ke perkara tersebut. Saya hanya ingin berkomentar sedikit perkara moral dan karya. Banyak komentar di media sosial yang seolah-olah menyamakan antara tindakan sang penyair dengan karyanya. Saya termasuk yang tidak membaca karya penyair itu; saya pembaca sastra Indonesia yang malas dalam dua tahun terakhir. Tetapi pada hemat saya, tindak-tanduk kehidupan pribadi seorang penyair berbeda dengan karyanya. Saya berpegang pada sebuah pendapat bahwa karya adalah ciptaan dunia sosial. Seorang penyair hanyalah agensi penyebabnya. Tindak-tanduk seseorang bolehlah diadili berdasarkan tindak tanduk itu dan perangkat-perangkat lain yang melingkupinya. Sedangkan sebuah karya janganlah dibawah ke dalamnya. Dengan terjatuh pada ad hominem kita bersamaan juga merayakan individualitas manusia. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jujur seorang penyair sebagai agen melihat kesosialan lantas menerjemahkan dalam karyanya? Hanya sebuah kritik yang baiklah yang bisa menjawabnya.
Maka, berhentilah bergosip dan berkasak-kusuk, marilah serius mengritik karya dengan perangkat-perangkat yang benar, sebuah kerja yang tidak banyak dilakukan di negeri ini.***