SEHABIS membaca balasan Goenawan Mohamad atas tulisan Martin Suryajaya, sekejap saya teringat lagu Dongeng Sebelum Tidur dari grup musik lawas Wayang. Dengan gaya seorang kakek tua bijak yang kembali bertemu seorang cucunya yang nakal, GM membuka tulisannya dengan cara berpikir ‘serba berkekurangan.’ ‘Tak ada cinta yang hilang di dalam kebencian.’ Kedengaran puitis dengan bumbu mistis, namun bisa jadi tak berisi.
Balasan GM bagian pertama ini lebih banyak berupa cerita, remah-remah ingatan. Begitu lancar GM bercerita. Kadang pemenang dalam sejarah tak perlu mengernyitkan dahi sedemikian rupa untuk mengungkit ingatan bak mengenang dongeng dari sebuah tempat dan masa yang jauh. Jika dongeng sebelum tidur kita dimulai dengan ‘pada suatu hari’ maka dongeng GM dimulai dengan ‘…menceritakan detail sejarah yang Anda abaikan, (atau diabaikan oleh buku yang Anda kutip), tentang sebuah masa, sebuah tempat.’
Keinginan bercerita pada generasi yang tak mengalami langsung peristiwa yang dialaminya, ditekankan oleh GM. Misalnya, ‘…antara saya dan Anda (juga orang-orang lain yang seusia dan lebih muda), perbedaan generasi mengandung perbedaan isi gudang data masa lalu. Saya mengalami apa yang tidak Anda alami: masa pergolakan pikiran dan politik sebelum Orde Baru.’ Hai kawan-kawan segenerasi, orang tua itu tengah bercerita pada kita. Zahor; dengarlah ia.
Tak perlu ditampik, semua data sejarah adalah penting. Entah cerita lisan, entah tersembunyi sepi di balik semen dingin sebuah monumen, entah terselip tak sengaja dalam sebaris lirik lagu. Jangan ditanya pentingnya cerita lisan dan puisi. Kebenaran sejarah, mengutip Walter Benjamin, bagaikan percikan sekejap yang sesegera mungkin akan hilang. Kita perlu menangkapnya segera. Namun, bagi Benjamin, tak ada kebenaran sejarah yang sama sekali objektif, meski diceritakan oleh seorang saksi hidup, dibuktikan oleh arsip-arsip nan lengkap. Kita harus menangkap apa yang tersembunyi dari kata-kata sang saksi mata atau apa yang tak terungkapkan dokumen. Lantaran, biasanya, pemenanglah yang leluasa bicara, pemenanglah yang membuat arsip sejarah. Dan sejarah kerap kali, bahkan senantiasa, milik pemenang.
Hal lain, jika perbedaan generasi berarti perbedaan gudang data masa lalu, sia-sia sajalah sejarah. Bayangkanlah jika gudang data itu semakin menciut seiring munculnya sebuah generasi baru. Satu generasi, dua generasi, tiga generasi, empat generasi, hilanglah sudah. Oh, kasihan Munir. Seratus tahun lagi, jika saja belum tuntas kasusnya, akan terlupakan. Oh, selamat tinggal korban 65. Dua puluh lima tahun lagi kalian sekadar nama dalam sebuah ulasan yang tak terlalu berarti.
Jika perbedaan generasi melegitimasi pengetahuan seseorang akan masa lalu, kita patut berduka. Apakah saya harus merutuki ayah ibu saya lantaran ketika reformasi bergejolak, saya justru sedang asyik-asyiknya mengagumi Zinedine Zidane? Sebagai bocah SMP yang tinggal jauh dari riuh Jakarta, gema Reformasi saya tangkap sebatas berita televisi siang hari yang menjemukan. Apakah Generasi GM harus mengutuki diri lantaran adanya generasi mereka pun belum terpikirkan ketika Budi Utomo berdiri? Seterusnya dan seterusnya, setiap generasi memaki generasi sebelumnya. Setiap generasi iri pada generasi sebelumnya.
Sekali lagi, sia-sialah sejarah. Manusia benar-benar hanya hidup untuk hari ini tanpa pertalian dengan masa lalu, tanpa imajinasi akan masa depan. Di suatu masa, di suatu tempat. Hidup yang demikian, apalagi dengan intuisi keterlemparan, bagi saya terkesan seperti Pilatus. Ia cuci tangan atas sesuatu yang juga adalah hasil kontribusinya. Keterlemparan ini mengingatkan saya pada pemikiran Heidegger tentang manusia; kita ada pada suatu waktu pada suatu masa dan kita tak bisa menolaknya. Kita hanya bisa mengatakan ‘iya’ pada kehidupan. Sungguh melankolis, sungguh seakan ratapan.
Barangkali ia yang merasa sungguh terlempar ini pada suatu ketika, barangkali hari ini, merasa begitu leluasa melempari siapa saja. Bahkan melempari kesalahan pada masa lalu. Ketika bola liar anak kecil secara tanpa sengaja mengenai bangku reot yang didudukinya, ia geram tak terkira. Aku orang tua, kau anak kemarin sore jangan kurang ajar. Ia lantas mendongengkan masa lalunya agar sang anak sedikit mengerti. Tapi barangkali ia lupa, sang anak ternyata hanya mendengar cerita-ceritanya untuk menerangi matanya melihat hari ini; bukan melihat melankoli masa lalu.
Mayoritas manusia yang diceritakan GM dalam tulisannya, termasuk dirinya, tipikal manusia yang dirugikan oleh sebuah zaman dan tempat tertentu. Karena pergolakan politik zaman itulah maka waktu itu saya begitu; lantaran mood zaman itu begitu, maka saya pada saat itu cenderung pada pemikiran A dan bukan K. Aroma manusia seperti itu banyak kita temukan juga dalam novel Pulang dan Amba (dan banyak narasi tentang korban 1965 lainnya). Tokoh-tokoh peristiwa 65 yang kebetulan saja ada pada tempat yang salah, pada waktu yang salah. Sebuah logika yang sama dalam narasi-narasi yang berbeda. Atau dengan kata lain, mereka lagi sial aja.
Mereka yang mendengungkan manusia bertipe demikian, jika konsisten, harusnya tak berang jika seorang Jenderal produk Orba maju sebagai calon presiden. Betapa tidak! Toh, Sang Jenderal bisa menggunakan hal yang sama untuk berkelit. Pada waktu itu, di tempat itu, tak ada satu binatang pun yang berani membantah titah Yang Mulia Soeharto. Bisa pula Sang Jenderal melanjutkan: dan saat ini saya hendak membayar kesalahan lantaran keterlemparan pada suatu masa pada suatu tempat itu.
Namun, seperti yang didaku GM, tulisannya tersebut baru bagian pertama. Bagian pertama ini laksana dongeng; dan tak sulit membayangkan seorang anak kecil yang berujar, ‘ah bosan, ceritanya itu-itu mulu,’ ketika ibu atau kakaknya selesai mendongeng. Lalu anak kecil itu menyematkan harapan pada dua cerita lain yang dijanjikan sang pendongeng. Semoga ‘ah bosan, ceritanya itu-itu mulu’ tidak menjadi komentarnya lagi setelah dikisahkan dua dongeng tersebut.***