Bagi kebanyakan orang mungkin judul artikel ini terdengar remeh temeh. Saya tidak menyalahkan pandangan demikian. Banyak orang merasa mampu mendengarkan musik, tentu dengan asumsi bahwa pendengaran mereka berada di tingkat yang cukup mampu untuk dapat mendengarnya. Properti fisik dan mental mereka mendukung untuk mendengar musik. Bahkan sebagian individu mendaku bahwa musik sudah sejiwa dengan hidup mereka, sehingga judul artikel ini bak lelucon baginya. Pertama-tama saya harus memperjelas apa yang tidak hendak dikatakan artikel ini. Artikel ini bukan mengenai apa itu esensi musik atau kategori ontologis sehingga sesuatu bisa dikatakan sebagai musik. Artikel ini juga tidak membahas estetika. Oleh karenanya, saya mohon maaf jika ketidakpuasan akan muncul pada pembaca yang berharap menemukan kategori estetis.
Alih-alih ingin menjabarkan hal tersebut di atas, artikel ini hendak menunjukkan apa itu kegiatan mendengar musik dan apa saja yang harus terlibat, yaitu, properti macam apa yang harus terpenuhi agar sesuatu dapat dikatakan mendengar ketimbang hanya tidak sengaja berhadapan dengan musik (kasus umum terjadi adalah muzak, di mana kita tidak sengaja berhadapan dengan musik. Fakta bahwa kita tidak sengaja berhadapan dengan musik tidak serta-merta menjadikan musik tersebut tidak lebih baik ketimbang musik pilihan kita). Jadi, artikel ini ingin pertama-tama meneliti apa yang dimaksud dengan mendengar musik, dan apa yang membedakannya dengan kegiatan lain di mana subjek merasa seolah-olah mendengar. Singkatnya, artikel ini ingin membahas epistemologi musik. Namun, artikel ini akan bergerak maju dan mundur di ranah ontologi dan epistemologi jika dirasa perlu.
Mendengar dan Menyimak
Dalam mendengarkan musik, apa yang sebenarnya terlibat, selain organ pendengaran tentunya? Dapatkah kita mendengar musik dengan pasif? Ataukah memang keterlibatan diri yang aktif diperlukan untuk mendengar? Menurut saya “dalam mendengar musik, kita tidak dituntut untuk aktif terlibat”. Inilah letak perbedaan pertama yang ingin saya kemukakan. Mendengar musik tidak sama dengan menyimak musik. Mendengar disini kurang lebih statusnya sama dengan tidak sengaja berhadapan dengan musik, meski pun, dalam kasus mendengar, terdapat keterlibatan yang lebih ketimbang ketika kita sedang mendengar musik di pasar swalayan tempat belanja. Baiklah kita mendefinisikan posisi mendengar musik ini.
Definisi 1: Menyimak musik adalah sebuah kegiatan yang menuntut keterlibatan lebih ketimbang hanya mendengar musik dan mendengarkan musik merupakan kegiatan yang lebih tinggi posisinya ketimbang perjumpaan dengan musik semata.
Definisi ini cukup sederhana dan saya kira siapa pun dapat sampai pada kesimpulan tersebut. Namun, artikel ini berniat untuk menjabarkan lebih jauh jenis keterlibatan seperti apa yang dituntut dalam menyimak musik. Karena tentu saja sebagian besar orang masih bisa mengaku bahwa mereka menyimak sekali musik yang mereka dengarkan. Artikel ini tidak berusaha pula menyingkirkan orang-orang dari himpunan yang mengaku bahwa mereka menyimak atau mendengar musik satu per satu sampai akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada yang pernah menyimak musik sama sekali.
Tidak semua musik bisa disimak dengan baik. Ini bukan lantaran musik tersebut dikarang dengan buruk atau nilai estetisnya dibawah pengharapan Yang dimaksudkan adalah, secara ontologis dan estetis, ada musik yang memang pantas untuk disimak dan ada musik yang hanya pantas untuk didengar. Maka itu, dibutuhkan sebuah definisi lagi untuk mendukung definisi pertama yang telah dinyatakan di atas.
Definisi 2: Tidak semua musik memiliki status ontologis dan estetis untuk dapat disimak. Beberapa musik tidak dapat disimak sama sekali. Dengan demikian, sebaliknya, banyak musik hanya bisa didengar.
Musik-musik absolut[i] atau sederhananya, musik instrumental, membutuhkan keterlibatan lebih karena di dalamnya tidak terdapat teks untuk mediasi antara nada dengan kesadaran manusia. Dalam drama musikal, misalnya, sangat memungkinkan kita dapat tergerak oleh musiknya. Hal ini karena kontribusi aktor dan lirik yang dibawakannya. Kasus yang sama juga terjadi ketika kita menonton film. Akan lebih sulit bagi kita untuk indentifikasi kesedihan, misalnya, jika di dalam film tersebut tidak terdapat musik pengiring. Hal ini menunjukkan bahwa musik absolut membutuhkan kesungguhan yang lebih dalam ketimbang musik dengan teks atau dengan pertunjukan atau keduanya.
Menyimak musik absolut tentu memiliki kriteria sendiri. Salah satu kriterianya seperti yang dikatakan oleh Paul Boghossian adalah:
Sebuah bagian B dapat mengekspresikan E hanya jika B terdengar seperti layaknya seseorang akan terdengar ketika sedang mengekspresikan E secara vokal, atau terdengar sebagaimana seseorang akan terlihat ketika mengekspresikan E dengan gerakan.[ii]
Penjelasan ini bergantung kepada kemampuan seseorang untuk menggambarkan keadaan emosionalnya. Akan tetapi, penjelasan Boghossian ini bermasalah ketika kita berhadapan dengan musik yang non-verbal, seperti musik kontemporer dewasa ini. Musik yang korelasi antara emosi tubuh dan rangkaian nadanya tidak selaras atau abstrak. Penjelasan ini tidak bisa menjawab emosi macam apa yang terbentuk ketika kita mendengar musik gubahan Henri Dutilleux, L’arbre des Songes, misalnya, akan tetapi kita, atau orang lain, dalam hal ini kemungkinan besar para ahli dan musik itu indah. Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa kita tahu L’arbre des Songes indah karena ia menggambarkan pergerakan akar pohon?
Seandainya kita mengizinkan kriteria ekspresi musik yang diajukan oleh Boghossian, kita juga mengizinkan kekuatan personifikasi musik, bukan hanya kekuatan metaforis. Dalam kasus L’arbre des Songes di atas, berarti manusia harus dapat membayangkan dirinya bergerak seperti akar pohon untuk dapat memahami apa yang dimaksud oleh Dutilleux dalam musik tersebut. Ada dua hal yang harus diamati dalam pernyataan ini, yaitu, pertama, Dutilleux sendiri sebagai seorang komponis mengetahui dengan benar seperti apa pergerakan akar pohon, dan yang kedua, pendengar dapat memahami pergerakan akar pohon itu sebagaimana layaknya pergerakan dirinya sendiri. Dari sini permasalahan Romantisisme dimulai; manusia terasing dari alam dan tidak akan mampu memahami alam dengan sempurna. Lalu permasalahan selanjutnya: bagaimana kita tahu bahwa pergerakan akar pohon itu menyedihkan, menyenangkan, menggugah dan sebagainya? Mungkin saja pohon itu sendiri merasa senang, atau sedih atau bahagia atau bahkan semuanya sekaligus.
Apa jadinya jika ternyata Dutilleux hanya memaksudkan pergerakan akar pohon itu sebagai penggambaran struktur dari musiknya, yaitu, musik yang bergerak dari akarnya hingga tumbuh besar menjadi sebuah struktur yang sempurna? Dimana letak ekspresi dan maknanya? Jika Dutilleux sendiri tidak mengetahui dengan benar pergerakan akar pohon, lalu, apakah dengan begitu ia tidak memahami konteks musiknya? Haruskah kita menerima penjelasan Dutilleux tersebut? Dengan menerimanya, kita mengakui bahwa Dutilleux mengetahui pergerakan akar pohon seperti layaknya pohon itu sendiri.
Masalah lain juga muncul apabila kita berhadapan dengan karya seorang komponis dengan kemampuan sinestesia, dimana ia dapat melihat warna ketika mendengar nada. Kasus ini terjadi dalam beberapa karya Olivier Messiaen.[iii] Messiaen mengaku dapat melihat warna ketika mendengar sebuah bagian dari musik dan ia menggunakan bakat- nya ini untuk menggubah beberapa musiknya. Jelas tidak semua orang dapat mendengar warna seperti Messiaen, dan, sekali pun beberapa diantara kita ada yang mampu, siapa yang menjamin bahwa warna yang ia lihat akan sama dengan warna yang Messiaen lihat? Sekali lagi ketidakpastian.[iv]
Sekarang kita beralih kepada sang pendengar. Andaikan pendengar berusaha setia kepada kata-kata sang komponis, apakah ia harus memahami L’Arbre des Songes sebagai ekspresi suara pergerakan akar pohon? Jika ya, berarti pendengar harus tahu apa artinya menjadi pohon dan melakukan pergerakan seperti yang dilakukan oleh pohon. Sama tidak masuk akalnya. Hal ini bukan berarti kita harus kembali jatuh kepada jurang subjektivitas dengan jargon “kematian sang pengarang.” Kata-kata dari Daniel Barenboim saya rasa cukup baik untuk menggambarkan keadaan ini. Ia berkata, “jangan berpikir tentang interpretasi dulu, analisa saja teksnya dengan baik, kemudian baru interpretasi. Jangan sampai kita pakai parfum tanpa menyikat gigi.”[v] Jadi, dalam menyimak musik, kita harus menunda interpretasi dan terjun lebih dahulu ke dalam analisa musik itu sendiri. Artinya, musik untuk musik sehingga musik dapat disimak, tidak hanya didengar.[vi]
Maka, dengan demikian, dapatlah kita rumuskan kembali definisi pertama di atas, menjadi:
Definisi 1*: Menyimak musik adalah sebuah kegiatan yang menuntut keterlibatan dan dengan terlibat berarti kita harus menolak tafsir hermeneutis untuk menjadi setia kepada musik itu sendiri sehingga kita dapat memahami relasi-relasi antara nadanya. Menyimak musik berarti memahami apa yang terjadi di dalam musik itu sendiri.
Jadi, untuk menyimak musik kita harus pertama-tama memahami relasi internal antara nada yang ada di dalam musik tersebut.[vii] Karena tanpa memahami hal yang internal di dalam musik itu, bagaimana mungkin kita siap melakukan hal eksternal, yaitu interpretasi? Menyimak musik berarti memahami logika internal dari dalam musik itu sendiri.
Musik dan Matematika
Kita telah membahas secara singkat apa yang dituntut dari individu dalam menyimak musik. Logika disebut sebagai sesuatu yang mendasari musik pada dirinya sendiri. Sekarang kita akan menjabarkan apa yang dimaksud dengan logika tersebut. Guerino Mazzola, seorang musikolog dan musisi mengatakan bahwa musik sejatinya merupakan produk dari empat ilmu pengetahuan, yaitu: (1) semiotika, (2) fisika, (3) matematika, dan (4) psikologi.[viii] Mazzola menolak reduksi kategori tersebut menjadi sesuatu yang lebih mendasar. Semiotika merupakan ilmu tentang lambang yang menjadi media komunikasi dimana musik mewujud dalam bentuk simbol-simbol dalam partitur. Aspek fisika dalam musik jelas dipahami karena produksi suara dimungkinkan karena adanya kondisi fisik tertentu yang dipenuhi. Matematika dalam musik sudah terlihat jelas dan penjabarannya akan diberikan kemudian. Sedangkan psikologi berhubungan dengan komponis dan pendengar dalam menggubah dan menerima sebuah karya musik.
Maka dari itu, Mazzola menyatakan bahwa musik adalah “sistem tanda-tanda yang terdiri dari bentuk-bentuk kompleks yang dapat direpresentasikan oleh suara fisik, dan dengan demikian membentuk mediasi antara isi mental dan psikis.[ix] Untuk menjelaskan kembali, Mazzola bermaksud mengatakan bahwa semiotika diperlukan sebagai sebuah sistem tanda-tanda, matematika diperlukan sebagai sistem bentuk, fisika diperlukan untuk membawa bentuk-bentuk tersebut di aras fisik dan psikologi diperlukan untuk memahami pesan psikis dari sebuah karya seni musik.
Banyak yang memahami bahwa musik identik dengan bahasa. Komponis Slamet Abdul Sjukur pernah berkata bahwa musik sebenarnya lebih mirip permanain catur ketimbang bahasa.[x] Jika pemahaman saya benar, maka yang ia maksud dalam menyamakan permainan catur dengan musik adalah bahwa keduanya adalah permainan formal. Dalam formalisme, sesuatu tidak memiliki nilai semantik di luar dirinya. Pergerakan kuda tidak memiliki makna (tidak memiliki nilai kebenaran) selain di atas papan catur. Begitu juga dengan musik. Musik, semakin menjadi formal, semakin menjadi mirip dengan permainan catur dan matematika. Formalisme dalam matematika persis mengatakan bahwa matematika tidak memiliki nilai kebenaran di luar dirinya.[xi] Lain dari pada itu, formalisme juga merupakan paham yang mengatakan bahwa yang penting adalah sintaks, gramatika dan relasi di antara struktur, bukan interpretasi di luar dari karya tersebut.[xii] [xiii] Dalam kata lain, kita hanya perlu mengetahui pergerakan bidak-bidak dalam permainan catur, maka kita akan dapat memainkan permainan tersebut.
Adalah David Hilbert, seorang matematikawan dari Universitas Göttingen, yang mempopulerkan pandangan formalisme dalam matematika, meski pun, formalisme itu sendiri sebagai paham sudah ada lama sebelum Hilbert ada. Ia adalah orang pertama yang berhasil menciptakan kalkulus sintaksis yang dapat memiliki interpretasi jamak.[xiv] Dalam sebuah anekdot, Hilbert pernah berkata, “seharusnya mungkin kita dapat mengganti semua kata, seperti titik, garis, permukaan dengan meja, kursi, mug dalam pernyataan-pernyataan geometris.”[xv] Semangat ini mungkin yang memberikan inspirasi kepada Slonimksy ketika ia menjadikan struktur Simfoni Beethoven No. 5 sebagai dasar dari komposisi barunya.
Martin Suryajaya pernah melakukan reduksi[xvi] puisi ke dalam bahasa formal kalkulus predikat yang merupakan bahasa logika matematika. Sebagian dari semangat ini sejalan dengan semangat formalisme yang ingin mengatakan bahwa dengan memahami sintaks dan gramar dari sebuah kalimat, maka isi dari kalimat tersebut akan dengan sendirinya kita pahami.[xvii] Dengan mengatakan bahwa musik harus dipahami terlebih dahulu logika internalnya, saya ingin mengatakan bahwa bahasa musik dapat direduksi menjadi bahasa matematis semata. Ini tentu bukan hal yang mengejutkan bagi mereka yang paham dimensi matematis atau fisis dari musik. Musik, sejak pertama kali lahir sudah merupakan bagian dari matematika! Skala musik barat merupakan pengejawantahan dari perbandingan matematis.[xviii]
Perhatikan bahwa sinyal suara dapat digambarkan melalui persamaan matematika/fisika sebagai berikut:
n(t)= sinyal gangguan tambahan, yang spektrum jangka-pendeknya berbeda seiring dengan waktu.[xix]
Parameter tersebut yang menurut Hilbert membutuhkan interpretasi model teoretik. Simbol- simbol tersebut hanya benar dan bermakna dalam persamaan Fourier mengenai sinyal suara. Di luar persamaan tersebut, simbol-simbol tersebut dapat bermakna lain, tergantung pada struktur yang ingin dibicarakan.
Sejarawan musik tentu tidak akan terkejut melihat persamaan di atas. Iannis Xenakis telah menggunakan kalkulus diferensial untuk menciptakan musik dan metodenya ia sebut metode musik formal. Xenakis dalam bukunya Formalized Music Thought and Mathematics in Composition mengatakan bahwa “‘indah’ atau ‘buruk’ tidak bermakna sama sekali untuk suara, atau pun musik yang dihasilkan oleh suara tersebut; jumlah pemahaman yang dihasilkan oleh suara harus menjadi kriteria validitas musik tertentu.”[xx] Dalam buku tersebut, Xenakis menjabarkan metode komposisi yang ia gunakan dalam beberapa karya-karyanya dan buku tersebut, layaknya sebuah buku teori matematika, dipenuhi dengan persamaan-persamaan matematis.
Dengan demikian, penjabaran Boghossian di atas tentang kekuatan ekspresi musik menjadi tidak sepadan lagi dengan esensi dari musik tersebut. Tidak ada keterkaitan antara musik dengan ekspresinya karena musik sudah merupakan representasi matematis dan jangankan makna ekspresif yang dapat dimilikinya, objek matematika sendiri masih dalam perdebatan yang sengit. Ini tentu bukan berarti pendengar tidak dapat mengatakan sebuah karya musik indah atau tidak. Penilaian tersebut adalah penilaian subjektif, sedangkan berdasarkan pernyataan Xenakis diatas, kategori estetis dari musik bukan lagi kriteria subjektif, akan tetapi, kriteria objektif. Sebagai seni matematis dan fisis, musik tidak lagi memenuhi perannya sebagai sesuatu yang misterius yang menunggu makna-makna tersembunyi. Musik adalah kepanjangan tangan dari ilmu pasti dan akhirnya menjadi ilmu pasti.[xxi]
Masalah hermeneutis yang tidak dapat dilepaskan dari benak beberapa individu menjadi salah satu yang harus dibahas pula dalam artikel ini. Saya lebih memilih untuk menjadi rendah hati dan puas dengan semantik, sesuatu yang Hilbert juga setuju, ketimbang menjadi besar kepala ketika berusaha memahami makna-makna tersembunyi di balik nada-nada dan terjatuh ke dalam lubang kebodohan sembari menafsirkan bahwa musik tertentu bercerita tentang pergerakan akar pohon dan menyimpulkan bahwa di situ persis terletak perjuangan untuk terus melanjutkan hidup atau lebih jauh lagi bahwa terdapat pertentangan kolonial dalam nada-nada, misalnya.[xxii][xxiii] Semantik bukanlah ilmu tentang makna tersembunyi, melainkan tentang makna primer literal. Dalam berbicara semantik, bukan berarti pemahaman kita menjadi miskin dimensi karena banyak aspek yang dapat ditelaah dengan menggunakan teori semantik. Maka, sekarang kita masuk ke dalam pembahasan semantik.
Musik dan Semantik
Semantik, seperti yang sudah dijelaskan, adalah ilmu tentang makna, lebih tepat lagi, tentang makna literal. Dalam musik formal, semantik yang dimaksud berarti mirip dengan apa yang Hilbert maksud, yaitu, struktur atau interpretasi (bukan dalam makna hermeneutis). Serangkaian aksioma dari teori tertentu, menurut Hilbert, dapat memiliki interpretasi atau struktur yang jamak. Ini berarti, serangkaian aksioma tertentu hanya memiliki makna dalam struktur atau interpretasi tertentu. Contohnya, dalam geometri Euclid, titik menjadi salah satu aksioma. Menurut Hilbert garis adalah aksioma primitif, sehingga dalam teori Euclid, titik memiliki makna yang berbeda dalam teori Hilbert. Ini yang dimaksud dengan struktur atau interpretasi dan dalam hal ini, semantik. Lebih jauh lagi, sebuah aksioma dalam teori tertentu dapat menjadi teorema dalam teori lainnya.[xxiv]
Dalam formalisme, matematikawan bebas menciptakan istilah atau entitas tertentu untuk lebih jauh mengembangkan teorinya, sejauh entitas baru tersebut tidak menimbulkan inkonsistensi. Semangat yang sama juga dapat ditemukan dalam pemikiran Pierre Boulez. Ketika John Cage pertama kali menemukan cara permainan piano yang tidak lagi membutuhkan sang pianis untuk menekan tuts hitam dan putih, Boulez tertarik sekali, karena itu adalah revolusi dalam permainan piano. Akan tetapi, setelah Boulez mengetahui bahwa terdapat distorsi dalam teknik bermain semacam itu, maka, ia tidak mengadopsinya.[xxv] Dalam kosa kata Hilbert, berarti Boulez menemukan inkonsistensi dalam teknik Cage.[xxvi] Di sini, berarti, piano dalam pemahaman Boulez dan Cage memiliki semantik yang berbeda.[xxvii]
Tidak hanya itu, contoh Slonimksy dan Beethoven yang diberikan di atas juga merupakan salah satu pemahaman semantik yang berbeda. Struktur tetap sama, akan tetapi, nada berbeda. Sehingga, dalam pemahaman semantik, nada tertentu, misalnya x memiliki peran yang berbeda di kedua musik tersebut, yaitu, musik Beethoven dan Slonimsky. Dengan demikian, sebuah struktur yang sama dapat menghasilkan musik yang amat sangat berbeda dan baru sama sekali. Ini adalah salah satu alasan mengapa semantik memiliki kekuatan yang lebih baik ketimbang hermeneutika. Ketimbang kita harus berpikir apa artinya untuk menjadi sebuah akar pohon, lebih baik kita berpikir mengenai struktur dan mencari elemen apa yang akan kita pakai untuk menjadi bagian dari struktur tersebut.[xxviii]
Helmut Lachenmann, seorang komponis dari Jerman juga pernah mengatakan hal yang sama dengan Hilbert ketika ia berbicara tentang entitas musik. Dalam sebuah wawancara ia berkata bahwa menggubah sebuah karya berarti “menemukan dan mengungkap sebuah penciptaan instrumen imajiner baru. Dalam kasus saya, masalahnya adalah instrumen imajiner tersebut tidak ada sebelum saya mengembangkannya dengan menggubah sebuah karya.”[xxix] Andaikan kalimat “instrumen imajiner” diganti dengan “konsep matematis,” maka yang Lachenmann katakan sama dengan yang dikatakan oleh Hilbert; entitas matematika sebelum diperkenalkan ke dalam sebuah teori tertentu, ia tidak ada. Tentu Hilbert menarik lebih jauh lagi apa artinya bagi sebuah entitas matematika untuk dapat dikatakan ada dengan menyatakan bahwa ia harus tidak memiliki kontradiksi dan konsisten.
Apakah dengan hanya membatasi diri dengan semantik kemampuan ekspresi musik menjadi terbatas? Pemahaman sekilas terhadap penjabaran semantik nampaknya menyatakan demikian. Akan tetapi, bayangkan kira-kira kalimat “Hari ini sungguh sejuk.” Sekejap lawan bicara saya memahami bahwa yang saya maksudkan adalah “Hari ini sungguh panas.” Mengapa bisa demikian? Syarat pertama agar lawan bicara saya dapat memahami maksud yang saya inginkan, pertama-tama ia harus paham betul apa arti literal dari pernyataan saya tersebut. Ia lalu membandingkan cuaca ketika saya mengutarakan pernyataan tersebut dan mungkin tahu bahwa saya tidak terlalu menghargai cuaca panas, ia dapat menyimpulkan bahwa yang saya maksud adalah ironi, bukan makna literal dari pernyataan tersebut. Dari situ ia menyimpulkan bahwa pernyataan saya tersebut bermakna sebaliknya dari makna literalnya.
Singkat kata, untuk dapat memahami apa ekstensi dari sebuah karya musik, seseorang harus memahami terlebih dahulu makna dari musik itu. Pemahaman awal terhadap makna literal merupakan sesuatu yang wajib dimiliki untuk dapat selanjutnya menarik kesimpulan semantik yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh karya tersebut. Lachenmann mengatakan bahwa “menyimak musik tidak hanya melibatkan pemahaman dengan membuat aktif kategori komunikasi yang familiar, akan tetapi, juga mengalami sifat material dari suara yang terdengar.”[xxx] Menyimak musik, dalam hal ini, musik absolut, berarti tidak dapat disederhanakan dengan mendengarkan token-token dari musik tersebut.[xxxi] Pendengar diharapkan terlibat langsung, seperti yang sudah dinyatakan dalam Definisi 1*.
Kesimpulan
Kita sudah membahas dengan singkat apa itu musik dan kegiatan macam apa yang seharusnya dibutuhkan agar kita dapat dikatakan menyimak sebuah karya musik, bukan hanya mendengar. Dengan demikian, rumusan definisi di muka dapat diperbaiki sehingga menjadi lebih akurat dengan:
Definisi 1**: Menyimak musik adalah sebuah kegiatan yang menuntut keterlibatan dan dengan terlibat berarti kita harus menolak tafsir hermeneutis untuk menjadi setia kepada musik itu sendiri agar kita dapat memahami relasi-relasi antara nadanya. Menyimak musik berarti memahami apa yang terjadi di dalam musik itu sedemikian sehingga karya tersebut dapat membangkitkan pengetahuan pendengarnya.
Mengapa kita harus menolak tafsir hermeneutis? Karena ia tidak berguna bagi sebuah cabang ilmu pasti. Ilmu semantik lebih baik ketimbang hermeneutika. Kenapa kita harus setia kepada musik itu sendiri, bukan kepada narasi yang terkadang mengikuti karya tersebut? Narasi yang mengikuti karya tersebut terkadang membantu dan terkadang menyesatkan. Narasi-narasi tersebut terkadang pula dibuat oleh orang yang begitu paham, akan tetapi, tidak jarang dibuat pula oleh orang yang asal bicara saja. Sama halnya dengan matematika abstrak, satu-satunya yang dapat kita pegang teguh hanyalah notasinya. Kenapa sebuah karya musik harus membangkitkan pengetahuan? Seperti yang sudah dijelaskan, karya musik adalah karya ilmu pengetahuan, maka dari itu, jika ia tidak mengatakan sesuatu yang baru, maka ia tidak mengatakan apa pun!
*Dirdho Adithyo adalah seorang pendengar musik dan mahasiswa program magister STF Driyarkara.
[i] Musik absolut bukan merujuk pada pembedaan musik yang lebih baik dari pada musik lainnya. Ini hanya merupakan istilah untuk merujuk kepada musik yang tidak memiliki teks untuk mengiringi instrumen. Teks yang dimaksud disini adalah vokal atau suara manusia. Gustav Mahler adalah komponis yang disebut sebagai orang pertama yang menggunakan suara manusia sebagai instrumen, bukan sebagai sesuatu yang harus diiringi oleh instrumen tertentu. Saya rasa, dalam hal ini, musik Mahler yang dengan teks dan vokal merupakan salah satu contoh musik absolut.
[ii] Boghossian, P. (2007) Explaining Musical Experience, dalam Kathleen Stock, (ed.), Philosophers on Music: Experience, Meaning and Work, (Oxford: Oxford University Press).
[iii] Yang juga seorang sinestesia adalah Mary J. Blige. Tidak semua contoh sinestesia terbatas pada musik klasik. Hal ini berarti, kritik pesan universal musik juga berlaku pada musik pop.
[iv] Pernyataan ini tentu bertentangan dengan dakuan bahwa musik adalah seni universal yang dapat dipahami siapa pun. Setelah diamati secara singkat, ternyata seni musik tidak memiliki karakter universal seperti yang didakunya. Terdapat berbagai masalah dalam mewujudkan musik yang universal tersebut.
[v] Diambil dari sebuah DVD dimana di dalamnya terdapat wawancara Barenboim yang berkomentar tentang pertunjukan musik. Jangan sampai pakai parfum tanpa sikat gigi berarti, jangan sampai yang sekunder lebih diutamakan ketimbang yang primer. [Mahler Symphony No. 9, Commentaries from Pierre Boulez and Daniel Barenboim.]
Akan terdapat perbedaan makna dari interpretasi, seperti yang akan ditunjukkan dalam beberapa argumen kemudian tentang formalisme dalam musik dan matematika dengan interpretasi yang dimaksud oleh Barenboim. Barenboim berbicara sebagai seorang dirijen yang sedang membicarakan bagaimana caranya membawakan sebuah karya yang baik. Interpretasi yang ia maksud adalah corak identitas seorang dirijen dalam membawakan karya tertentu. Dalam hal ini, Barenboim mengatakan bahwa identitas harus dibicarakan belakangan setelah analisis musiknya selesai.
[vi] Ini tentu berbeda dengan konsepsi seni pascamodern. Dalam konsepsi seni pascamodern yang penting adalah interpretasi. Bayangkan jurang semacam apa yang menanti interpretasi apabila pendengar dibebaskan untuk melakukannya. Menunda interpretasi disini tidak berarti interpretasi harus dihilangkan, akan tetapi, hanya berarti musik harus diteliti terlebih dahulu dengan baik dan serius baru boleh ada interpretasi. Dalam kata lain, musik harus dibedah relasinya, fungsinya, deret nadanya, waktunya, dan sebagainya barulah kita dapat memberikan ruang bagi interpretasi. Seni pascamodern akhirnya lebih menekankan yang sekunder ketimbang yang primer. Mereka lebih senang menggunakan parfum ketimbang menyikat gigi dahulu.
[vii] Hal ini akan menjadi lebih sulit lagi ketika kita mendengarkan karya gubahan John Cage, ’4.33 misalnya. Apa yang harus dipahami dari pertunjukan musik dimana sang pianis hanya diam selama empat menit dan 33 detik di hadapan pianonya tanpa membunyikan satu nada sama sekali.
[viii] Mazzola, G. (2002) The Topos of Music. Geometric Logic of Concepts, Theory, and Performance, (Birkhäuser).
[ix] Ibid.
[x] Dalam percakapan yang tertulis [Percakapan surel pribadi antara penulis dan Slamet Abdul Sjukur].
[xi] Formalisme kira-kira mirip dengan fiksionalisme yang mengatakan bahwa objek-objek dari wacana ilmu pengetahuan tertentu merupakan objek fiksi yang di luar dari wilayahnya tidak memiliki status keberadaan. Paralel dengan ilmu pengetahuan, menurut fiksionalisme, adalah karya literature atau novel. Mickey Mouse tentu hanya ada di dalam kisah-kisah Disney, di luar kisah-kisah tersebut, Mickey Mouse tidak ada (Mickey Mouse dalam Disney World tidak bisa dikatakan sebagai Mickey Mouse, karena ia hanyalah penggambaran dari Mickey Mouse).
[xii] Slonimsky pernah memberikan angka kepada seluruh nada dalam musik Beethoven Simfoni No. 5 dan melakukan operasi akar pada angka-angka tersebut. Ia lalu menciptakan lagu baru dari struktur tersebut yang merupakan akar dari angka yang diberikan kepada simfoni No. 5 tersebut.
Formalisme dalam matematika berkembang sebagai sebuah paham yang ingin menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan matematis dapat dimengerti semata-mata dengan hanya mengamati dan mempelajari struktur internal dari bahasanya. Tidak perlu ada komitmen kepada entitas di luar dari matematika yang pernyataan-pernyataannya sedang diteliti. Ini berkembang karena semakin lama, matematika semakin bergerak menjadi ilmu yang abstrak.
[xiv] Interpretasi dalam matematika versi Hilbert tidak seperti interpretasi dalam arti hermeneutika yang dikenal pada umumnya. Interpretasi dalam formalisme Hilbert berkaitan dengan keberadaan entitas yang diperkenalkan melalui rangkaian aksioma tertentu, dimana apabila tidak terjadi kontradiksi dalam penyimpulan, maka, entitas yang diperkenalkan dianggap ada. Selain itu, interpretasi dalam makna yang dimaksud Hilbert berkaitan dengan struktur dan asumsi model teoretik, dimana sesuatu dikatakan benar hanya jika ia berada di dalam sebuah struktur tertentu. Interpretasi Hilbert tidak berkaitan sama sekali dengan makna yang tersembunyi.
[xv] Ewald. W. B. (2005) From Kant to Hilbert. A Source Book in the Foundation of Mathematics, Vol, II, (Oxford Clarendon: Oxford University Press).
[xvi] Reduksi dalam bahasa Indonesia sayangnya memiliki makna peyoratif di mata beberapa orang. Sehingga untuk keperluan tertentu, saya lebih memilih untuk mengganti reduksi dengan kata struktural, jika bisa. Jika dalam struktur kalimat ternyata reduksi tidak dapat diganti, maka, saya akan tetap menggunakannya. Namun, perlu diperhatikan, reduksi tidak selalu buruk. Agar kita bisa melakukan sesuatu, diperlukan reduksi atau struktur. Contohnya seorang pelukis. Mau tidak mau ia harus mereduksi atau mengamati struktur tertentu untuk dijadikan lukisan. Ia tidak mungkin melukis semua dimensi kehidupan yang ada. Waktu dan kapasitas pikirannya tidak mengijinkan ia untuk melakukan itu. Ini adalah fakta yang tidak bisa dihindarkan.
[xvii] Sebenarnya apa yang dilakukan Martin adalah logisisme sintaksis, yaitu berusaha mereduksi bahasa-bahasa, dalam hal ini puisi, menjadi bahasa yang lebih sederhana lagi, primordial dan universal.
[xviii] Konon ceritanya Pythagoras mengamati hubungan harmoni yang berasal dari suara yang dihasilkan oleh palu yang sedang digunakan oleh pandai besi. Dari pengalaman tersebut ia menemukan bahwa suara konsonan dam perbandingan bilangan sederhana memiliki hubungan. Hal ini berarti, musik dan matematika memiliiki dasar fundamental yang sama. [Lih. Bibby, N. (2006) Tuning and Temperament: closing the spiral, dalam John Fauvel, Raymond Flood dan Robin Wilson (eds.), Music and Mathematics, (Oxford: Oxford University Press].
[xix] Beauchamp, J. (2007) Analysis and Synthesis of Musical Instrument Sound, dalam John Beauchamp (ed.), Analysis, Synthesis, and Perception of Musical Sounds, (Springer)
[xx] Xenakis, I. (1992) Formalized Music Thought and Mathematics in Composition, (Pendragon Press: Stuyvesant, New York)
[xxi] Ini akan membuat beberapa pembaca tersentak. Agar dimengerti bahwa ilmu pasti dan matematika pun merupakan produk kebudayaan. Perbedaannya, ilmu pasti dan matematika ingin memahami realitas dengan lebih baik, beberapa karya seni justru sebaliknya, ingin menutupi realitas dengan berbagai makna-makna tersembunyi. Jangan menjadi sumber kesalahpahaman dengan menafsirkan bahwa tanpa adanya kebudayaan tidak akan ada hukum alam atau matematika. Hukum alam dan matematika merupakan elemen penyusun semesta. Tanpa adanya teori matematika, objek kajian matematika tersebut akan tetap ada, hal ini berlaku juga untuk ilmu alam.
[xxii] Tidak ada matematika kolonial, tidak ada matematika negara dunia ketiga, tidak ada matematika Hindu atau Buddha. Ilmu-ilmu alam dan matematika merupakan ilmu yang netral. Dalam hal ini, musik formal juga merupakan musik netral yang tidak bisa dimiliki siapa pun. Bayangkan jika gravitasi hanya berlaku di Inggris tempat Newton duduk di bawah pohon apel? Hal inilah yang menjamin musik memiliki nilai universal, bukan hanya merupakan karya privat semata yang maknanya tidak dapat diakses oleh masyarakat luas.
[xxiii] Kritik Cornelius Cardew terhadap Stockhausen kira-kira berjalan dengan argumen serupa, dimana ia mengatakan bahwa musik Stockhausen merupakan kaki tangan dari imperialisme. Cardew dalam bukunya berusaha menunjukkan bahwa relasi nada yang digunakan oleh Stockhausen merupakan lambang dari imperialisme. Salah satu yang ia kritik adalah John Cage yang menggubah sebuah karya Cheap Imitation yang didasari musik gubahan Erik Satie. Ritme asli dari musik Satie dipertahankan, sedangkan nada-nadanya diganti (perhatikan, ini mirip dengan semangat Slonimsky). Cardew melihat musik sebagai satu keseluruhan (tentu merupakan pandangan yang cukup baik) dan apabila bagian dari musik tersebut diubah, maka kemampuan ekspresifnya berubah. Cardew melihat perubahan ini sebagai kekosongan makna. Lebih jauh, Cardew melihat kekosongan ini simetris dengan keinginan para kaum borjuis untuk mendepopulasi dunia. Akan tetapi, kritiknya lebih disasarkan kepada aspek sosial dari musik tersebut, meski pun ia menyerang konsep musik untuk musik. [Cardew. C. (1974), Stockhausen Serves Imperialism, (London: Latimer New Dimensions Limited)].
[xxiv] Prinsip Keluasan merupakan salah satu aksioma dalam sistem teori himpunan aksiomatik Zermelo, akan tetapi, Michael Potter menempatkannya ke dalam teorema [Potter. M (2004) Set Theory and its Philosophy, (Oxford: Oxford University Press).]
[xxv] Boulez menganggap sikap Cage yang tidak ingin memecahkan masalah paradoks dalam komposisinya sebagai kemalasan. Boulez melihat bahwa paradoks itu adalah sesuatu yang harus dipecahkan, bukan sesuatu yang harus secara naif diterima, apa pun pandangan filosofis yang kita pegang teguh; dalam kasus Cage, Zen Buddhisme. [Di Pietro. R. (2001) Dialogues with Boulez, (Maryland: Scarecrow Press)].
[xxvi] John Cage, menurut Boulez, menerima konsekuensi dalam bentuk distorsi tersebut, karena konsepsi musiknya yang terpengaruhi oleh Zen Buddhisme. Tidak mengherankan jika Cage memilih untuk tetap mempertahankan teknik tersebut, ia juga merupakan orang yang menciptakan ‘4.33 dan merekam suara burung bernyanyi untuk kemudian dijadikan sebuah karya komposisi baru.
[xxvii] Tidak berarti bahwa Boulez benar dalam mengkritisi Cage. Masih banyak komponis lain yang mengadopsi teknik Cage dalam komposisi mereka. Helmut Lachenmann menggubah komposisi dengan menggunakan “bunyi berisik.” Boulez tentu tidak setuju dengan Lachenmann, karena menurut Boulez, kita tidak dapat melakukan kontrol atas “bunyi-bunyi berisik.” Kurang lebih kritik yang sama dengan yang dilancarkannya terhadap Cage.
[xxviii] Ini tidak berarti bahwa tidak ada komponis yang menggubah karya dengan metode hermeneutis sama sekali. Praktek musik hermeneutis masih banyak digunakan, akan tetapi, praktek ini persis yang membuat musik, dan lebih luas lagi, karya seni, menjadi sebuah karya privat yang maknanya sulit dimengerti oleh orang-orang tertentu. Ini tentu menjadi masalah dimana sebuah penyejuk ruangan yang merupakan hasil kebudayaan dapat lebih dimengerti ketimbang sebuah karya seni.
[xxix] Heathcote. A. & Helmut Lachenmann (2010) Sound Structures, Transformations, and Broken Magic: An Interview with Helmut Lachenmann dalam Max Paddison & Irene Deliege (eds), Contemporary Music: Theoretical and Philosophical Perspectives (Surrey: Ashgate).
[xxx] Ibid.
[xxxi] Dalam musik juga terdapat perbedaan tipe dan token. Hubungan antara tipe dengan token adalah hubungan instansiasi. Dalam karya musik, tipe sebuah komposisi adalah partitur, sedangkan tokennya adalah cakram, piringan hitam, pertunjukkan musik, senandung lepas, dll. Terdapat kategori ontologis tersendiri bagi hubungan tipe dan token agar sesuatu dapat dikatakan sebagai eksemplifikasi dari sebuah karya seni tertentu. Token harus memenuhi beberapa syarat agar dapat menjadi sebuah bagian dari tipe.