KARL Marx adalah seorang teoretisi kapitalisme ketimbang sosialisme atau komunisme. Tentu banyak dari kita yang akan heran mendengar pernyataan itu. Bagaimana mungkin Marx—yang merupakan bapak sosialisme ilmiah dan menginsiprasikan banyak orang untuk mengupayakan transisi dari kapitalisme ke sosialisme dan dari sosialisme ke komunisme—bisa disebut sebagai ‘seorang teoretisi kapitalisme?’ Kita mesti jernih: ‘teoretisi kapitalisme’ atau ‘ahli ekonomi kapitalis’ tidak sama dengan ‘pembela kapitalisme;’ seseorang bisa saja menjadi ahli sesuatu tanpa memuja sesuatu itu. Derajat kepakaran Marx terhadap isu-isu perekonomian kapitalis tercermin dalam tiga jilid Das Kapital-nya. Apa yang tak kita temukan dalam ketiga jilid tersebut adalah pemaparan tentang sosialisme maupun komunisme. Model ekonomi sosialis dan komunis lebih merupakan sesuatu yang diimplikasikan secara tidak langsung dalam karya-karya Marx: misalnya, karena kapitalisme bertopang pada produksi komoditas (nilai), maka alternatif terhadapnya—entah dalam wujud sosialisme atau komunisme—mesti menghapus sistem produksi berbasis komoditas (nilai). Itulah sebabnya kaum Marxis di kemudian hari mesti bersusah-payah merekonstruksi Der Sozialismus dan Der Kommunismus dari Das Kapital. Kerja-kerja teoritis dan praktis macam itulah yang dibebankan ke pundak Lenin, Stalin, Mao dan kaum Marxis pada umumnya.
Pada kesempatan ini, kita akan berbicara tentang salah satu aspek sentral dalam proyek rekonstruksi sosialisme. Aspek tersebut adalah masalah perencanaan perekonomian sosialis yang lazimnya terpusat pada isu ‘kalkulasi sosialis.’ Ini merupakan topik utama dalam perdebatan antara kaum Marxis dan libertarian pada tahun 20-/30-an abad yang lalu. Dalam ‘Debat Kalkulasi Sosialis’ tersebut, terbelah dua posisi umum: Ludwig von Mises, Lionel Robbins dan Friedrich Hayek dari posisi libertarian, dan Oskar Lange, Fred Taylor serta Abba Lerner dari posisi sosialis. Debat ini diawali oleh artikel von Mises, ‘Kalkulasi Ekonomi dalam Persemakmuran Sosialis,’ tahun 1920. Namun, api yang memantik gemuruh perdebatan ini datang dari sudut yang jarang diungkap: Otto Neurath.
Dalam buku berjudul ‘Dari Ekonomi Perang Ke Ekonomi In Natura’ (1919), Neurath menunjukkan bahwa suatu sistem perekonomian modern yang berbasis pada barter (in natura) itu mungkin. Dengan cara itu, kita dapat mengakhiri modus produksi berbasis nilai yang menandai perekonomian kapitalis dan menggantinya dengan model ekonomi sosialis in natura. Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan sentralisasi informasi pergerakan barang-barang dalam suatu Badan Pusat Statistik, yang berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Terpusat dalam memutuskan langkah-langkah kebijakan yang mesti diambil. Buku ini memicu von Mises untuk menulis artikel yang telah disebut di muka pada tahun 1920.
Melalui artikelnya, von Mises menunjukkan bahwa dalam sebuah perekonomian yang tak mengenal harga—suatu perekonomian yang tidak berbasis komoditas atau nilai—kalkulasi atas alokasi sumber daya yang efisien tak mungkin dijalankan. Tanpa adanya harga atau setidaknya nilai komoditas, Badan Perencanaan Terpusat tidak akan mampu menentukan apakah keputusan yang diambilnya sudah efisien atau belum. Efisiensi dan kalkulasi mengandaikan adanya kesamaan ukuran—nilai—sehingga dengan dihapuskannya kesamaan ukuran tersebut, tak akan ada kalkulasi yang akurat demikian rupa sehingga efisiensi alokasi sumber daya tidak dapat dijamin. Badan Perencanaan tidak akan tahu berapa harga jumlah barang yang mesti dibayarkan untuk masing-masing pekerja di setiap cabang produksi. Badan tersebut juga tak akan tahu metode produksi macam apa yang lebih efisien. Singkatnya, kalkulasi ekonomi mensyaratkan harga dan formasi harga mensyaratkan pasar bebas. Tanpa harga dan pasar bebas, perekonomian yang terbangun, bagi von Mises, akan mengambil bentuk pengorganisasian yang irasional. Mudahnya, kita baru bisa tahu bahwa harga Rp. 5000 untuk sebungkus rokok adalah murah jika kita tahu bahwa ada rokok yang harganya Rp. 10.000. Artinya, Badan Perencanaan tidak akan tahu apakah sistem alokasi sumber daya yang ia terapkan sudah efisien apabila tidak ada perbandingan lain. Dan perbandingan lain itu hanya dimungkinkan apabila ada kompetisi dan karenanya pasar bebas.
Tantangan von Mises ini dijawab oleh Oskar Lange, melalui seri artikelnya berjudul ‘Mengenai Teori Ekonomi Sosialisme’ (1936-1937). Lange berangkat dari logika umum von Mises: tak ada perencanaan tanpa kalkulasi, tak ada kalkulasi tanpa formasi harga dan tak ada formasi harga tanpa pasar bebas. Lange menerima semua penyimpulan von Mises, kecuali yang paling akhir: tak ada formasi harga tanpa pasar bebas. Ia menolak penyimpulan ini dengan menunjukkan bahwa formasi harga tidak melulu dihasilkan lewat pasar bebas. Badan Perencanaan dapat dibekali dengan hak prerogatif untuk menetapkan harga yang disesuaikan dengan kondisi ketersediaan barang di pasaran. Apabila suatu barang sedang langka, Badan Perencanaan menetapkan harga yang tinggi agar memicu masyarakat untuk beralih ke produksi barang tersebut dengan pertimbangan keuntungan. Begitu barang tersebut tak lagi langka, Badan Perencanaan menurunkan harganya, dan seterusnya. Jadi fungsi Badan Perencanaan hanyalah memberi ‘sinyal’ harga. Dengan cara ini dua aspek kritik von Mises dapat dijawab: 1) formasi harga tidak diserahkan sepenuhnya ke pasar; 2) kalkulasi dan perencanaan tetap dimungkinkan. Model Lange inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘sosialisme pasar’ (market socialism).
Namun, di kemudian hari, Model Lange tersebut diadopsi dengan beberapa penyesuaian dan diintegrasikan ke dalam ekonomi arus-utama di negara-negara kapitalis. Model ini dengan mudah dapat dilebur ke dalam kerangka ekonomi kapitalis karena model tersebut mengizinkan perekonomian berbasis nilai dan uang. Artinya, solusi Lange atas von Mises tidak dapat mempertahankan aspek paling krusial dari model Neurath yang menjadi pangkal kritik von Mises: ekonomi yang tak lagi berbasis pada nilai dengan kerangka sirkulasi yang tak bertopang pada uang. Oleh karenanya, jalan dari ‘sosialisme pasar’ ke komunisme lebih rumit ketimbang dari ‘sosialisme pasar’ ke kapitalisme. Untuk dapat mempertahankan kemungkinan transisi yang masuk akal dari sosialisme menuju komunisme, pelampauan atas modus produksi berbasis nilai mesti sudah dipikirkan pada tahap sosialisme.
Apabila kita meninjau sejarah eksperimen historis sosialisme, kita melihat bahwa upaya penghapusan modus produksi berbasis nilai sempat diuji-cobakan sewaktu era ‘Komunisme Perang’ di Uni Soviet (1918-1921). Pada masa ini, sektor swasta ditiadakan dari perekonomian, semua industri dinasionalisasi dan barang-barang konsumsi didistribusikan oleh pemerintah. Eksperimen ini menghasilkan kekacauan ekonomi yang akhirnya memaksa Lenin untuk memberlakukan ‘Kebijakan Ekonomi Baru’ (New Economic Policy; NEP) sejak 1921, yang mengizinkan pemilikan privat atas sarana produksi kecil-kecilan sehingga sistem ekonomi yang ada menyerupai ‘kapitalisme negara’ (state capitalism). Akhirnya pada tahun 1928, NEP digantikan dengan ‘Rencana Lima Tahun’ oleh Stalin yang akan terus berlanjut hingga ‘Rencana Lima Tahun XIII’ pada tahun 1991. Hingga kejatuhannya, perekonomian Uni Soviet tetap berbasis pada nilai dan uang.
Kesulitan yang dihadapi Soviet—khususnya pada masa ‘Komunisme Perang’—dalam merealisasikan modus produksi yang tak berbasis pada nilai, di satu sisi, tetapi tetap memungkinkan perencanaan yang rasional, di sisi lain, antara lain disebabkan oleh lambatnya laju informasi ekonomi. Perencanaan yang efektif mengandaikan ketersediaan informasi ekonomi secara real time. Pada masa ketika proses perencanaan ekonomi yang tak berbasis pada nilai diuji-cobakan di Soviet, yakni pada masa ‘Komunisme Perang,’ prasyarat tersebut tak bisa dipenuhi. Bayangkan saja, untuk menjalankan penghitungan statistik ekonomi yang kompleks, pemerintah Soviet pada masa itu hanya bergantung pada Odhner aritmometer, semacam kalkulator mekanis, yang pabriknya di Leningrad baru saja dinasionalisasi di tahun 1917. Dari segi kemampuan, kalkulator yang hanya bisa berhitung sampai 10 digit ini tak jauh berbeda dengan kalkulator yang hari ini umum dimiliki para pedagang kelontong di Glodok. Tak hanya itu, pada masa ‘Komunisme Perang,’ proses penyampaian informasi dari setiap pabrik dan lahan pertanian ke pemerintah pusat di Moskow, memerlukan waktu yang amat panjang. Karena alasan-alasan itulah, perencanaan yang efektif sulit direalisasikan. Sebab kita tak bisa merancang apapun apabila kita tak punya pengetahuan yang cukup tentang realitas yang kita hadapi.
Kendati begitu, bukan berarti perencanaan dalam perekonomian sosialis secara inheren tak mungkin dilakukan. Permasalahan seperti yang diidentifikasi von Mises lebih tepat dipandang sebagai permasalahan teknis tentang proses sentralisasi informasi. Artinya, permasalahan itu dapat diselesaikan apabila tingkat perkembangan teknologi informasi dan sibernetika yang memadai telah dicapai. Kalkulasi ekonomi yang tak berbasis nilai komoditas dapat dilakukan, asal teknologi informasi dan sibernetika yang diperlukan telah tersedia.
Untuk mengilustrasikan maksud saya, ada baiknya kita melihat pengalaman perencanaan sosialis di Chile pada masa pemerintahan Salvador Allende (1970-1973). Untuk memonitor jumlah produksi di seluruh cabang industri, pada tahun 1971, pemerintah Chile menjalin kontrak dengan pakar sibernetika eksentrik yang punya simpati Kiri, Stafford Beer. Kontrak tersebut berupa pembangunan suatu sistem informasi terpadu antar pabrik yang dihubungkan dengan 500 mesin Telex (semacam fax) yang ditempatkan di 500 pabrik. Semua informasi ini dipusatkan di sebuah Ruang Operasi bergaya ‘Star Trek’ di Santiago. Dengan informasi ini, diharapkan perencanaan ekonomi sosialis di bawah Allende akan berhasil. Proyek ini dikenal sebagai ‘Project Cybersyn.’ Pada tahun 1973, sistem Cybersyn ini baru memasuki tahap prototipe tingkat lanjut. Sebelum betul-betul dapat dioperasikan secara penuh, Allende digulingkan dan semua pendukungnya ditumpas. Ruang Operasi Cybersyn di Santiago dihancurkan. Selepas kegagalan proyek ini akibat kudeta Pinochet, Stafford Beer melepaskan semua hartanya dan hidup bak pertapa di sebuah gubuk di pedesaan Inggris. Ia menulis tentang peristiwa tersebut: ‘Kukatakan padamu bahwa sesungguhnya di Chile, seluruh manusia terpukul’ (Designing Freedom; 1973).
Contoh di muka menunjukkan bahwa kalkulasi sosialis bukannya secara inheren tak mungkin. Dengan perkembangan internet dewasa ini, jalan menuju kalkulasi sosialis tanpa berbasis perhitungan nilai dan moneter semakin dilapangkan. Alih-alih menggunakan mesin Telex seperti Chile, kita dapat membangun suatu sistem database yang terjaring lewat internet dan berlaku secara real time. Dengan itu, Badan Perencanaan Terpusat akan memiliki seluruh informasi ekonomi yang ia perlukan—dari seluruh cabang produksi, mulai dari sektor ekonomi formal hingga informal—tentang jumlah ketersediaan dan lalu-lintas barang serta jasa. Berdasarkan data yang komprehensif seperti itulah perencanaan yang senyata-nyatanya dapat dilakukan. Alih-alih ‘mensimulasikan pasar’ seperti dalam model ‘sosialisme pasar’ à la Lange, kita hanya mensimulasikannya secara virtual dalam perhitungan di komputer. Dengan cara ini, kita bisa memperoleh sisi positif dari ‘sosialisme pasar,’ yakni kemampuannya untuk melakukan kalkulasi ekonomis, tanpa terjatuh ke sisi negatifnya, yakni pemberlakuan ekonomi pasar di masyarakat aktual (sebab kondisi seperti itu dapat disimulasikan saja di dalam kalkulasi komputer berdasarkan perbandingannya dengan data real time). Dengan demikian, kita dapat menguji efisiensi kinerja perekonomian sosialis kita. Kritik von Mises dapat sepenuhnya dijawab. Kunci dari realisasi ekonomi sosialis adalah ilmu pengetahuan.***
19 Oktober 2013