‘Kebebasan berbicara atau menulis bisa saja diambil dari kita oleh
sebuah kekuasaan yang superior,
namun itu tidak berlaku pada kebebasan kita untuk berpikir.’
(Habermas, Ruang Publik)
JELANG 2014, segala gejala sosial yang tampak di permukaan sarat politik. Gejala sosial itu bermula dari kepentingan politik atau sebaliknya, dikait-kaitkan dengan kepentingan politik. Isu korupsi, isu kekerasan, isu ekonomi, hingga isu agama jadi dagelan politik
Berbagai isu sosial tahun 2013 ini menjadi ‘barang jualan’ politik menuju pemilihan umum 2014. Bila tidak ada isu sosial yang tepat, maka isu apapun dapat ‘digoreng’ sedemikian rupa. Bila tidak terbukti suatu gejala sosial terkait dengan kepentingan politik, maka isu tersebut akan segera dikait-kaitkan sedemikian rupa sebagai isu politik. Gempa di daerah, misalnya, tentu tidak disebabkan oleh situasi politik, karena gempa adalah peristiwa alam. Namun, peristiwa alam itu bisa dijadikan momen politik melalui berbagai kegiatan untuk menjaring simpati publik. Secara struktural, dalam kehidupan bernegara, gejala sosial didominasi oleh politik. Namun tidak semua gejala sosial sejak awal dapat dianggap sebagai bagian dari politik.
Dagelan-dagelan—yang secara harafiah berarti ‘peristiwa yang sengaja dipertontonkan kepada publik dengan maksud tertentu’—politik semakin hari semakin riuh, semakin menumpuk, semakin menjejali kehidupan masyarakat. Bagaimana suatu peristiwa politik dan hukum yang melibatkan para politisi pusat, misalnya, dicerna oleh masyarakat di perbatasan? Pada tahap itulah media massa berperan menyampaikan informasi maupun dagelan dari pusat ke daerah.
Dalam khazanah teori sosial, Gramsci mengusung pemahaman kekuasaan melalui hegemoni. Hegemoni terselenggara lewat media, sekolah, kepemilikan modal, dan lembaga-lembaga negara. Instrumen-instrumen ini mampu mengolah isu sedemikian rupa sehingga mempengaruhi pikiran masyarakat agar sesuai dengan tujuan dari hegemoni tersebut. Media, sekolah, kepemilikan modal, dan lembaga negara adalah serangkaian wadah pembentukan dominasi. Bagi Gramsci, hegemoni dapat dilakukan melalui dominasi di berbagi sektor. Media massa, salah satu instrumen yang paling efektif dalam persemaian gagasan, dengan cara mengulang-ulangnya—seperti yang dilontarkan Napoleon: kebohongan yang terus diulang dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Cepat atau lambat, penerimaan itu akan menjadi cara pandang tertentu untuk memandang realitas. Atau dengan kata lain, ideologi.
Dalam konteks perkembangan kapitalisme yang telah menghidupi kultur politik yang sarat korupsi ini, penguasaan media adalah syarat mutlak untuk memenangkan politik elektoral. Dengan kata lain, bila Anda mampu menguasai media, maka Anda mampu menguasai pikiran masyarakat sehingga jalan menuju kekuasaan pun semakin mulus.
Fungsi media kini telah bias. Media tak lagi menyalurkan informasi yang dibutuhkan publik. Sebagaimana yang sering ditegaskan para pakar media, ia lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan elit-elit politik di balik penyajian dan frekuensi pemuatan kontennya, sehingga tidak lagi dapat dipandang sebagai sarana informasi yang sifatnya murni untuk kepentingan publik. Cepat atau lambat, perkembangan informasi saat ini membuat perilaku media semakin politis. Media, singkatnya, berpolitik.
Ada tiga indikator yang bisa diamati. Pertama, pemilik (owner) media. Bisnis media tidak membatasi kepemilikan, sehingga memungkinkan seorang pengusaha memiliki unit-unit usaha lebih dari dua unit. Televisi, media massa yang cakupannya paling luas, misalnya, hanya dimiliki tiga kepala: Hary Tanoe (HT), Abu Rizal Barkie (ARB), dan Chairul Tanjung (CT). HT memegang kendali perusahaan MNC Group, yang menaungi tiga stasiun televisi, yakni Global TV, MNC TV, dan RCTI. Bukan hanya televisi, melainkan juga media cetak dan online. Selain berbisnis, HT juga menjabat posisi strategis di Partai Hanura. Tak berbeda dengan HT, ARB memegang kendali perusahaan yang menaungi stasiun televisi TV One, yang juga memiliki kedekatan dengan Erick Tohir, seorang pengusaha yang bakal berkuasa di klub sepak bola Internazionale (bekas klub para buruh Milan). Dan kita tahu, ARB adalah sekaligus pemimpin partai dan calon presiden dari Golongan Karya. Di antara ketiga nama tersebut, hanya CT yang tidak menjabat di partai politik tertentu, meski kedekatannya dengan sejumlah politisi diduga cukup kuat. Ada pula stasiun televisi lainnya yang dikendalikan oleh politisi yang memiliki kedudukan superior di partainya, yakni Metro TV oleh Surya Paloh, pendiri dan petinggi partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Kedua, konten media. Tendensi dan corak konten (isi) berita dari tiap-tiap media tentu berbeda. Perbedaan bukan semata-mata tanpa maksud dan tujuan. Misalnya dalam kasus berita-berita seputar perpecahan dalam PSSI beberapa bulan yang lalu. Media-media yang satu grup dengan Vivanews, condong pada pemberitaan PSSI tandingan (Pimpinan La Nyala). Adapun berita-berita PSSI resmi (Johar Arifin) posinya sangat sedikit atau bahkan tak pernah muncul. Lagi-lagi, aspek konten ini ditentukan oleh pemilik media.
Ketiga, pembuatan konten. Aspek ketiga ini tentu merupakan ‘rahasia dapur’ perusahaan. Cara pembuatan berita merupakan privasi perusahaan yang tidak mungkin disampaikan ke publik, kecuali pada pertimbangan ekonomi (marketable). Dalam logika pers, seperti dianalogikan John Bogart, orang menggigit anjing lebih bernilai dibandingkan anjing menggigit manusia. Pada perspektif nilai seperti itulah berita-berita ditampilkan. Berita-berita yang tidak bernilai demikian akan diabaikan (dianggap tidak layak muat). Nilai itu dikombinasikan dengan nilai-jual (yang marketable). Misalnya, apakah eksklusivitas pemberitaan meletusnya Gunung Merapi dapat mendatangkan iklan? Bila tidak, pemberitaan itu sebatas lalu saja. Bila mendatangkan iklan, pemberitaan itu ditayangkan berulang-ulang. Secara umum, cara pengambilan angle, pemotongan, fokus, pengambilan narasumber, hingga objek pemberitaan merupakan aspek yang disesuaikan kebijakan tiap-tiap media.
Media yang cukup berpengaruh di masyarakat saat ini ialah televisi. Sementara radio, koran, majalah, dan media online masih terikat pada batas-batas tertentu –batasan akses dan ketersediaan ruang tulis. Televisi mudah dinikmati dan mudah diakses secara gratis, pun pengaksesnya dapat menikmati sajian (produk) secara kolektif dalam waktu dan tempat bersama orang-orang terdekat. Oleh karena itu, para pemilik stasiun televisi patut ditelisik lebih jauh ketimbang media-media yang bukan televisi.
Namun, akibat modal dan biaya produksi yang sangat mahal, media televisi bukan sasaran utama para politisi non-taipan (bukan pengusaha kelas atas). Media-media online semakin memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin mengembangkan media sebagai sarana publisitas politis, setelah industri tekno-digital terus berkembang guna mendukung akses media online. Di sinilah kesempatan para caleg, seiring peningkatan konsumsi gadget, memanfaatkan ketersediaan media berbasis digital guna melempar isu politik ke publik. Media-media online belakangan menjamur, bak semut di tengah serakan gula pasir. Selain biayanya (developing dan produksi) cukup murah, pembuatan kontennya tidak serumit media televisi dan radio.
Publik pun harus semakin jeli memanfaatkan informasi yang semakin meningkat seiring perkembangan teknologi digital. Seperti apa yang diutarakan Gramsci, penolakan dan perlawanan dominasi hanya bisa dilakukan melalui suatu bentuk hegemoni yang sebanding (counter-hegemony). Pertanyaannya, upaya terorganisir apa, dan sejauh mana, yang telah dilakukan gerakan-gerakan progresif untuk menciptakan hegemoni tandingan ini?***
Fredy Wansyah, pemerhati budaya massa dan pekerja pers