KERIUHAN ulang tahun Jogja sepertinya belum hilang, meski sudah lewat dari dua hari. Bukan karena sangking meriahnya perayaan tersebut, tapi karena ada sebuah peristiwa yang cukup menggegerkan jagat street art Yogyakarta. Rabu dini hari (9/10/2013), seorang seniman, digelandang ke markas Satpol PP karena aksi muralnya. Muhammad Arif ditangkap saat sedang membuat mural bertuliskan ‘Jogja Ora Didol’ (‘Jogja Tidak Dijual).
Sebenarnya, aksi Arif tersebut merupakan yang kedua—atau ketiga—kalinya. Mural itu ada bertepatan dengan hari ulang tahun Yogyakarta pada tujuh Oktober kemarin. Tapi di hari itu, tak sampai dua puluh empat jam, tulisan ‘Jogja Ora Didol’ sudah lenyap diblok dengan cat hitam yang kabarnya dilakukan oleh Satpol PP. Aksi itu kemudian dibalas lagi dengan frasa serupa di atas cat hitam tersebut. Tapi aksi Arif kandas ketika seorang pria paruh baya memaksanya untuk menghentikan aksinya tersebut. Pria itu menyuruh Arif turun dari tembok tempatnya berdiri, namun Arif bergeming. Sampai akhirnya Arif menyerah karena si pria mengacungkan pistol. Arif pun dibawa oleh si pria ke markas Satpol PP untuk kemudian diinterogerasi dan dibuatkan BAP.
Apa yang Arif lakukan sebenarnya—bisa jadi—adalah bagian dari gerakan urban Festival Mencari Haryadi, yang digagas oleh para seniman dan beberapa komunitas di Kota Yogyakarta. Art Director festival ini, Agung Kurniawan, mengatakan gerakan ini berangkat dari kegelisahan bahwa Haryadi sebagai walikota dianggap telah absen dalam melakukan penataan ruang publik, sampah visual, dan persoalan urban lainnya. Pembangunan hotel yang masif—yang mengakibatkan penggusuran, atau pertumbuhan kendaraan bermotor yang tak terkendali yang berimbas pada kemacetan dan semakin tersingkirnya pejalan kaki dan pesepeda. Di tengah persoalan yang menumpuk itu, Haryadi diketahui malah melakukan perjalanan ke luar negeri—terakhir sang walikota diketahui melancong ke Spanyol dan Amerika Serikat, entah untuk apa. Alhasil, Yogyakarta pun menjadi kian tak nyaman untuk ditinggali.
Tapi apa betul kritik itu dialamatkan ke Haryadi? Atau sebenarnya ada aktor lain yang lebih pantas untuk disangkakan. Saya sih ingin membuka kemungkinan itu, bahwa Haryadi bukan satu-satunya tersangka atas kekacauan tata ruang yang terjadi di Yogyakarta. Memang, jika menempatkan Haryadi sebagai kepala administratif Kota Yogyakarta, dia bisa menjadi orang yang wajib dimintai pertanggungjawabannya atas kekacauan tata ruang kota. Haryadi dianggap membiarkan pertumbuhan hotel yang super-cepat bak jamur di musim hujan. Dia juga dianggap telah membiarkan sampah-sampah visual—seperti mural iklan-iklan korporat—yang merusak bangunan cagar budaya. Tapi ternyata, kasus-kasus serupa tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta, melainkan juga di daerah lain di Provinsi Yogyakarta. Di Bantul misalnya, pedagang-pedagang Parangkusumo terancam digusur oleh rencana proyek megawisata di kawasan Parangtritis. Di Kulonprogo, petani-petani pesisir hampir kehilangan lahan pertaniannya karena rencana pembangunan tambang pasir besi. Pembangunan hotel-hotel dan infrastruktur pariwisata pun terjadi di Sleman dan Gunungkidul.
Tentu saja, kasus yang terjadi di kota tidak bisa dianggap remeh jika dibandingkan dengan kasus-kasus di daerah lainnya. Karena semuanya memiliki satu kesamaan isu, yakni soal pemanfaatan ruang hidup. Jadi, menurut saya permasalahan di Yogyakarta tidak bisa dipersempit hanya sekadar permasalahan di lingkup kota—sebagai wilayah administratif—saja, melainkan juga menjadi isu di daerah-daerah sekitarnya seperti yang sudah disebutkan tadi. Artinya, kita membicarakan Yogyakarta sebagai sebuah entitas yang lebih besar dari sekadar kota.
Apa yang sedang terjadi di Yogyakarta, tidak cukup dilihat sebagai efek dari kinerja buruk walikota. Tak bisa dinafikan bahwa sejauh ini Haryadi gagal menjalankan tugasnya. Tetapi yang tidak boleh dilupakan juga adalah di balik itu ada sebuah sistem mapan yang menjadi pondasi dari setiap kebijakan. Termasuk di dalamnya soal tata ruang, yang tentu saja berkorelasi langsung dengan kebijakan agraria di Yogyakarta. Haryadi hanya bagian kecil dari sebuah sistem besar yang sedang berjalan.
Tepat di hari ulang tahun Yogyakarta, tujuh Oktober lalu, Peraturan Daerah Istimewa (Perdais), yang delapan pasal di antaranya tentang pertanahan, disahkan. Perdais pertanahan merupakan aturan turunan tentang agraria dari Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta yang mempertegas bahwa Sultanaat Grond (SG) dan Pakualamanaat Grond (PAG) kembali diberlakukan. Dengan kata lain, seluruh tanah di wilayah Provinsi Yogyakarta adalah sepenuhnya milik Keraton Yogyakarta, sementara warga yang menempati tanah-tanah tersebut hanya berstatus penyewa. Implikasinya adalah surat hak milik yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional tidak lagi berlaku, meskipun landasan hukum BPN adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) 1960. Sekadar informasi, pada tahun 1984, Sri Sultan Hamengkubuwono IX telah membatalkan SG/PAG melalui Peraturan Daerah Nomor 31, yang artinya mengembalikan sistem kepemilikan dan kemanfaatan tanah di Yogyakarta kepada UU PA 1960.
Dengan peraturan itulah Raja bisa melakukan apa saja atas tanah di Yogyakarta. Misalnya, lahan proyek penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo selalu diklaim berada di atas tanah Pakualaman. Padahal lahan tersebut kini merupakan areal pertanian yang sudah digarap petani sejak puluhan tahun lalu. Dengan klaim tanah Pakualaman, petani diminta untuk mengembalikan tanah tersebut meski sudah memiliki sertifikat resmi dari BPN. Mungkin kita juga masih mengingat nama Mbah Manto yang pernah menginap selama beberapa minggu di depan kantor DPRD Provinsi DIY. Dalam aksinya itu, Mbah Manto dkk menuntut agar lahan di Suryowijayan yang sudah digunakannya sejak tahun tujuh puluhan dikembalikan kepadanya. Memang, lahan itu diakuinya sebagai tanah magersari di mana si pemanfaat tempat hanya diperbolehkan menyewa dengan mengantongi surat kekancingan. Tapi yang mengecewakan baginya adalah, meski sudah menempati tanah itu selama puluhan tahun dan berkali-kali mengajukan permohonan kekancingan, dia tidak pernah mendapatkan surat tersebut. Yang kemudian diketahui, kekancingan lahan tersebut sudah dimiliki oleh seorang pengusaha yang baru mengajukan hak kekancingan pada medio 2000-an. Mbah Manto dkk adalah korban dari kesewenangan Keraton dengan peraturan pertanahannya.
Dua kasus itu adalah sedikit dari sekian banyak kasus penggusuran dan perampasan tanah atas klaim SG/PAG. Contoh lain, adalah kasus perubahan status sepihak oleh Keraton terhadap sekitar seratus lima puluh surat hak milik warga Gunungkidul, menjadi hak sewa. Usut punya usut, sebuah perusahaan minyak milik pemerintah pernah melakukan eksplorasi minyak bumi di daerah tersebut. Sudah bisa menebak arahnya akan ke mana? Ya, dengan status sewa, penduduk daerah itu tidak punya hak apapun atas tanah tersebut. Sehingga, jika eksplorasi berlanjut ke tahap eksploitasi, pemerintah provinsi bisa memaksa warga untuk pergi tanpa uang ganti rugi, kapan pun Raja meminta.
Akademisi George Junus Aditjondro (GJA) pernah membuat analisa tentang masa depan SG/PAG ketika UUK Yogyakarta masih berstatus rancangan. Dalam tulisannya, GJA menyatakan bahwa isu keistimewaan yang mencuat pada saat itu bukan sekadar tentang pemilihan atau penetapan. Tetapi ada kepentingan lain yang lebih besar dan bernilai ekonomis, yakni soal pertanahan. GJA menyebut pasal pertanahan sebagai penumpang gelap RUUK DIY.
Jadi, benarkah kekacauan tata ruang dan agraria di Yogyakarta semata hanya kesalahan Haryadi? Tentu saja jawabannya tidak. Pertama, kekacauan itu tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta, tetapi juga di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul, yang tentu saja Haryadi tidak memiliki kekuasaan melampaui batas teritori kota. Kedua, kasus pemidanaan M. Arif juga pernah menimpa dua orang lainnya, yakni Tukijo (petani pesisir Kulonprogo) dan George Junus Aditjondro (akademisi). Kasus serupa yang menimpa ketiga orang tersebut terjadi karena satu alasan: mereka telah mengusik kekuasaan dan kepentingan Keluarga Raja. Tukijo dianggap telah menghambat proyek penambangan pasir besi. GJA, karena tulisannya soal ‘penumpang gelap RUUK DIY’, dituding melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan atas Keraton. Dan yang terakhir, M.Arif, dengan muralnya ‘Jogja Ora Didol’ dianggap telah menebarkan kebencian.
Kasus yang menimpa M.Arief, Tukijo, dan GJA, bisa terjadi pada siapa pun. Tiran memang tidak pernah pandang bulu, siapapun atau apapun dia. Akademisi, petani, seniman, dlsb. jika berani mengusik kekuasaan, mereka bisa dipenjarakan, atau bahkan dihilangkan.
Jadi, masihkah (cuma) Mencari Haryadi?***
Ferdhi F. Putra, pegiat Solidaritas Tolak Tambang Besi Kulonprogo