Daftar Isi Edisi Ini:
- Housework Bukan Kodrat Perempuan! Bring Back to Commons!
- Y Wasi Gede Puraka: Universitas Tidak Lagi Menjadi Pusat Sains
- Gerwani dan Perjuangan Politik Perempuan
TERTANGGAL 28 sampai 30 Oktober 2013 ini, Gerakan Buruh Indonesia kembali akan melakukan mogok kerja nasional. Mogok kerja nasional ini merupakan bagian dari tuntutan rakyat pekerja Indonesia kepada Negara, untuk segera merealisasikan kenaikan upah minimum secara nasional sebesar 50 persen dan UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 3,7 juta/bulan. Dalam koordinasi aliansi Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB), mogok nasional kali ini bisa dikatakan cukup istimewa, mengingat hal ini merupakan bagian dari upaya mengatasi batas-batas lama keserikatan yang selama ini menghambat realisasi persatuan kelas pekerja Indonesia. Fragmentasi kepentingan jangka pendek organisasi kelas pekerja yang diciptakan oleh relasi kompetisi kapitalisme, adalah sesuatu yang nyata bagi kelas pekerja Indonesia itu sendiri. Belum lagi artikulasi ideologis dari relasi kompetitif ini telah menyebabkan banyak elemen dalam kelas pekerja Indonesia mengidentifikasi dirinya bukan sebagai kelas pekerja, namun sebagai kelas sosial baru yang memiliki perbedaan diametral dengan identitas kelas pekerja Indonesia.
Akan tetapi kondisi fragmentatif ini bukan sesuatu yang abadi keberadaannya. Dinamika kapitalisme Indonesia dengan kontradiksi internalnya yang spesifik, membuat kondisi fragmentasi gerakan harus diakhiri. Produktivitas pekerja yang selalu meningkat selama proses industrialisasi pasca reformasi 1998, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan tingkat upah itu sendiri. Upah nyata pekerja Indonesia selalu harus tergerus oleh tingkat inflasi. Belum lagi ancaman krisis kapitalisme global yang menghantui Indonesia. Semua kondisi obyektif ini membuat proses penyatuan seluruh elemen gerakan buruh menjadi sebuah keniscayaan. Apa yang dipertaruhkan kini bukan lagi mengenai kepentingan jangka pendek elemen-elemen dalam kelas pekerja, melainkan kepentingan bersama seluruh kelas pekerja Indonesia. Oleh karena itu, mogok kerja nasional kali ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup kelas pekerja Indonesia untuk dapat hidup bermartabat di negerinya sendiri.
Namun sebagaimana kita tahu, sejarah bukan hanya mengenai struktur obyektif, tapi juga mengenai interaksi manusia didalamnya. Mogok kerja bukan pertama kali dilakukan oleh kelas pekerja Indonesia. Tahun 2012, mogok kerja sempat dilancarkan namun sayangnya belum mendapatkan apa yang diharapkan saat itu. Dalam hal ini, kita menemukan kesenjangan antara yang obyektif dengan situasi subyektif kelas pekerja Indonesia itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa di benak terdalam para pejuang militan kelas pekerja Indonesia, terdapat keraguan dan ketidakpastian mengenai apa yang tengah diperjuangkan. Bukan mustahil bahwa mogok kerja kali ini akan menjadi pukulan balik bagi kelas pekerja Indonesia. Resiko kekalahan yang akan ditanggung oleh kelas pekerja akan terlalu berat untuk disikapi.
Di ambang ketidakpastian ini, bersikap ilmiah dalam perjuangan politik dapat menjadi jawaban yang penting guna mengatasi kebimbangan itu. Bersikap ilmiah dalam arti memahami bahwa situasi yang tengah dihadapi tidak dapat diubah semudah membalik telapak tangan. Bahwa pemenuhan prasyarat material bagi perubahan, sama pentingnya dengan semangat membuncah untuk melakukan perubahan. Bukan berarti sikap ilmiah ini lalu mendorong kita untuk bersikap pasif-realistis mengenai keadaan yang di luar kendali kita. Bersikap ilmiah berarti melihat ruang-ruang kemungkinan yang secara obyektif dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas politik dalam perjuangan itu sendiri. Di sini ilmu pengetahuan menjadi bersifat membebaskan, karena ilmu pengetahuan bukan mengenai manual tentang apa yang harus dilakukan, melainkan mengenai apa yang mungkin dilakukan, dan dalam konfigurasi politik seperti apa perubahan tersebut bisa dilakukan.
Dengan kesadaran sedemikian, perjuangan kelas bukanlah perjuangan yang bersifat abstrak-transendental. Perjuangan kelas bukanlah perjuangan tanpa akhir antara kebaikan melawan kejahatan, atau antara kekuatan surga melawan neraka layaknya propaganda keagamaan. Ia adalah relasi konkrit yang sekuler, yang identifikasinya dimungkinkan jika penalaran ilmiah dan rasional dilakukan atasnya. Bersenjatakan sikap ilmiah dan rasional inilah, Left Book Review (LBR), kembali hadir dihadapan para pembaca. Pada edisi Oktober ini kami menghadirkan review buku karya Silvia Federici, Revolution at Point Zero, oleh Fildzah Izzati. Fildzah membahas kritik ekonomi politik feminis Marxian mengenai kategori kerja rumah tangga (housework), yang bagi banyak kalangan dianggap sebagai relasi kerja yang terberi (given) dan alamiah (natural) dalam masyarakat. Review buku lainnya ditulis oleh Rio Apinino , yang mengulas buku karya akademisi asal Belanda Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan. Melalui ulasan ini, Apinino mengingatkan kita kembali bahwa Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) merupakan bagian yang sangat penting bagi perjuangan politik perempuan di Indonesia. Berbeda dengan gerakan perempuan saat ini yang memisahkan antara aktivitas sosial-ekonomi-budaya dengan aktivitas politik, Gerwani adalah gerakan perempuan yang memiliki program yang menyeluruh. Itu sebabnya Gerwani menjadi target politik utama yang harus dihancurkan dan terus dikorbankan sepanjang sejarah rezim Orde Baru. Pada Gerwani kita mengerti bahwa perjuangan mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di segala aspek kehidupan itu memiliki akar yang kuat pada gerakan perempuan di Indonesia.
Terakhir tidak lupa kami sertakan wawancara dengan Y Wasi Gede Puraka, Dosen Sosiologi Universitas Indonesia (UI) yang juga adalah Sekretaris Jendral serikat pekerja UI, Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia (PPUI). Gede Puraka menyoal mengenai pentingnya pendidikan tinggi kini dipahami sebagai ranah perjuangan kelas rakyat pekerja melawan cengkeraman kapitalisme-neoliberal.
Akhirul kalam, selamat membaca!
¶