Daftar Isi Edisi Ini:
- Kalau Tertangkap Basah Memasang Poster, Anggap Saja Itu Ibadah
- Wanita Tani Mawar
- “Karikatur Sinar Hindia dan pergerakan Komunis Internasional”
- Empat Pertanyaan bagi Sastra
Riuh rendah peringatan ‘Gestok’ (Gerakan Satu Oktober) sudah mulai reda. Tempo sudah mengeluarkan edisi khusus soal Lekra dan peristiwa 1965 sambil bersenandung lirih tentang kedhaifan manusia. Para aktivis HAM sedang menikmati gaji hasil jerih payah mereka bekerja. Aktivis-aktivis buruh sibuk mempersiapkan aksi mogok nasional untuk menuntut kenaikan upah. Sementara tempe sudah makin jarang hadir di kelas—maaf, meja makan. Kalau pun hadir di lembar absensi, badannya kurus seperti pesakitan.
Sejarah memang mudah dilupakan terutama ketika ada hal-hal mendesak yang menodongkan pistol tepat di pelipis kita. Terlebih lagi, keadaan mendesak tak pernah lewat sejak Orde Baru lumer—atau bahkan sejak negara ini berdiri. Kita sering mendengar istilah ‘situasi normal’, untuk mendeskripsikan keadaan sosial-politik yang cenderung adem ayem. Dengan kata lain, negara sih masih miskin, tapi paling tidak bukan dalam keadaan darurat militer. Teruknya, garis ‘situasi normal’ ini makin lama makin merosot. Kita dihantam krisis, kenaikan harga kebutuhan dasar, inflasi, serta korupsi secara bertubi-tubi.
Rentetan hook dan jab ini membuat kita lunglai di sudut arena dengan kepala pening, sampai-sampai sudah tidak terasa lagi kalau ada krisis baru yang datang. ‘Sekarang lagi krisis apa?’ tanya si petinju kita sambil membenahi rahangnya yang somplak. ‘Lupa deh,’ jawab pelatih. ‘Kemarin sih daging sapi, trus kedelai. Kabarnya krisis Eropa juga mau berlibur ke sini, tapi masih ngantri visa.’ Dalam situasi yang terus (dibuat) terdesak seperti itu, siapakah yang punya waktu buat membuka buku sejarah, apalagi membuat penelitian untuk meluruskan sejarah?
Tentu pertanyaan tersebut sekadar retorika. Nyatanya masih ada aktivis cum sejarawan yang peduli soal titik balik sejarah Indonesia itu. Dan pekerja seni pun masih sempat mencari inspirasi dari peristiwa 1965 untuk menggarap karya mereka. Bahkan ada juga insan-insan yang menghabiskan sepanjang tahun—bukan cuma akhir September dan awal Oktober saja—untuk mengenang peristiwa puluhan tahun silam itu. Dalam tegangan #menolaklupa lawan #cicilanrumah #bayaransekolah #masihnganggurjuga #kebeletkawin serta berbagai hashtag lainnya ini, Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS hadir ke hadapan Anda. Bukan sebagai solusi, melainkan sebuah tawaran alternatif dalam memandang kekinian yang babak belur melalui sudut pandang sejarah, menggali puing-puing masa lalu yang suram untuk menemukan—bukan hanya masalah—tapi juga semangat-semangat jitu untuk meng-kepret masalah-masalah itu.
Dalam semangat itulah kami menghadirkan dua rubrik menarik ke hadapan Anda. Rubrik pertama adalah rubrik ‘Kliping’. Kali ini, kami rehat menerjemahkan puisi-puisi dekaden mancanegara untuk menggali permata dari negeri sendiri. Rianne Subijanto, redaktur kami yang solehah, mengkurasi dan memberi kata pengantar untuk sekumpulan karikatur dari tahun 1924. Memang, sejak semula, seni visual telah memiliki daya vital pada kaum pergerakan di Indonesia. Rubrik ini mesti dibaca berbarengan dengan rubrik ‘Liputan’. Dalam tulisan berjudul Kalau Tertangkap Basah Memasang Poster, Anggap Saja Itu Ibadah’: Obrolan Seputar Poster-Protes-Proapaganda itu, Anda akan menjumpai redaktur kami yang lain, Suluh Pamuji, kongkow-kongkow bersama beberapa seniman poster di Jogjakarta kontemporer mengenai hubungan mesra seni visual dan perlawanan rakyat.
Jangan lupa juga simak ‘Rubrik Apresiasi’ kami yang berisi esai foto bertajuk Wanita Tani Mawar karya Mel Damayanto. Silakan bertanya: apakah terigu produksi lokal mampu menurunkan harga sembako? Yang Pasti gelas kopi di swalayan waralaba Seven-Eleven semakin hari semakin menciut, sedangkan harganya tak pernah berniat mengencangkan ikat pinggang. Pada ‘Rubrik Esai’, pemikir Martin Suryajaya menyodorkan Empat Pertanyaan Bagi Sastra, sekaligus membuat perhitungan dengan sastra yang sudah membuatnya pening tujuh keliling itu. Barangkali sastrawan kita yang baik hati mau menyumbangkan aspirin dengan cara ikut menjawab problem-problem tersebut.
Demikianlah, pengantar ini kami tulis dalam keadaan kriyep-kriyep. Semoga tidur yang tertangguhkan hingga lantunan azan subuh berkumandang di setiap sudut kota ini berkenan di hati Anda.