Daftar Isi Edisi Ini:
- LIBERTARIAN BERSAUDARA: Resensi Buku Anarchy, State, and Utopia dan The Philosopher and His Poor
- Arianto Sangaji: Pilihannya Sederhana, Sosialisme atau Barbarisme
- Mengenal Karl Marx Sebagai Antropolog
DINI HARI, 1 Oktober 1965. Menteri Panglima Angkatan Darat (AD) Letjen Ahmad Yani dan lima orang jenderal yang menjadi staf umumnya, diculik oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S). Gerakan ini menyatakan bahwa tujuan aksi mereka adalah mengamankan Presiden Soekarno dan mencegah kup kontra-revolusioner yang akan dilakukan oleh kelompok yang dinamakan Dewan Jenderal. Umur gerakan ini tidak panjang. Di Jakarta, G30S langsung dipukul mundur pada petang harinya oleh pasukan komando Mayor Jenderal Soeharto, yang mengambil alih komando AD setelah Ahmad Yani terbunuh. Hari berikutnya, 2 Oktober 1965, semua pasukan G30S sudah ditangkap atau melarikan diri. Sementara di Jawa Tengah, G30S hanya bertahan sampai 3 Oktober 1965.
Setelah G30S dipukul mundur, AD segera melakukan pembersihan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dituduh tanpa bukti sebagai dalang G30S. AD juga memberangus hampir semua surat kabar dan menerapkan sensor terhadap beberapa koran yang memperoleh izin untuk terbit kembali. Pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965, AD menerbitkan buku yang menuduh PKI sebagai dalang di balik peristiwa G30S. Di buku itu, diantaranya disebutkan bahwa PKI menyayat-sayat dan memotong kemaluan para jenderal korban G30S. Tentu saja ini merupakan sebuah kebohongan, karena bertentangan dengan hasil visum para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.
Tidak lama setelah itu, dimulailah periode perburuan, pemenjaraan, pembantaian, dan perbudakan terhadap orang-orang PKI atau yang dituduh sebagai PKI. Dalam periode 1965-1968, jutaan orang dibunuh. Di atas penghancuran gerakan rakyat dan pembantaian jutaan orang ini, berdirilah kediktatoran Soeharto yang pro-modal. Dan ini terlihat nyata dari kebijakan ekonomi ‘berorientasi ke luar,’ yang dilancarkannya seiring dengan pembantaian 1965-1968. Pada 1966-1967, dikeluarkan peraturan-peraturan ekonomi yang mencakup bantuan dan investasi asing, liberalisasi perdagangan luar negeri, serta pengurangan peran negara pada kegiatan-kegiatan ekonomi (de-etatisasi). Pada tahun 1967, berdiri juga Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang menjadi sumber terbesar bantuan asing kepada Indonesia. IGGI beranggotakan negara-negara seperti Perancis, Jerman Barat, Italia, Jepang, Belanda, Inggris dan Amerika Serikat, serta lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, Bank Dunia, UNDP, ADB (Asian Development Bank) dan OECD (Organization for Economic Cooperative and Development).
September memang bulan yang berisikan sejarah kelam bagi bangsa ini. Sejarah kelam yang mengubah struktur, tatanan, bahkan sampai ke bagian yang paling dasar, hingga saat ini. Salah satu peristiwa pembunuhan massal terbesar dalam sejarah dimulai oleh sebuah peristiwa yang terjadi di bulan ini, dimana jutaan manusia yang dianggap komunis dan berhubungan dengan komunisme dibantai habis oleh Mayor Jenderal Suharto, sang bos jagal. Sejarah kelam itu bukan saja membuat khalayak alergi dengan kata-kata seperti ‘komunisme,’ ‘sosialisme,’ ‘partai komunis,’ bahkan juga dalam kadar tertentu, Marhaen, tapi juga membuat mereka pasrah untuk patuh pada narasi politik yang dipropagandakan kediktatoran Jagal Suharto selama 32 tahun. Narasi itu adalah, politik bukan urusan rakyat kecil, bukan urusan kelas-kelas tertindas, bukan urusan masyarakat. Dampaknya, politik bukan saja dimaknai sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan keseharian rakyat (buruh, tani, nelayan, miskin kota, dan sebagainya), tapi juga terbatas pada institusi-institusi, yang sengaja dibentuk dan diciptakan dalam rangka mereduksi makna politik itu sendiri.
Hingga kini, warisan negatif dari narasi politik rezim Orde Baru ini terus menancap kuat dalam bahasa dan pikiran massa. Kini, kpolitik berarti momen pemilu legislatif dan eksekutif belaka, bukan sebagai aktivitas publik untuk menentukan nasibnya secara mandiri. Politik dalam pengertian ini mesti dilawan jika kita ingin kehidupan politik kita lebih berkualitas. Dalam kaitan itu, Left Book Review (LBR) terus berupaya menghadirkan gagasan-gagasan alternatif, yang selama ini dibungkam, dianggap ‘tabu’ dan ‘bukan urusan kita.’ Pada edisi kali ini, LBR menghadirkan sebuah review buku komparatif yang sangat menarik dari Martin Suryajaya yang mereview buku Anarchy, State, and Utopia dan The Philosopher and His Poor. Dalam review ini, Martin menunjukkan bahwa libertarianisme kanan dan libertarianisme kiri memiliki roh yang sama. Selain itu, kami juga menghadirkan review buku yang tidak kalah menarik dari Dede Mulyanto yang menjelaskan Marx yang lain, Marx sebagai seorang antropolog. Last but not least, kami juga hadirkan wawancara Muhammad Ridha dengan Anto Sangaji yang memberikan dua pilihan: sosialisme atau barbarisme (kapitalisme).
Selamat menikmati. ¶