BEBERAPA waktu lalu Iqra Anugrah menulis menulis artikel yang brilian terkait rencana Amerika Serikat melakukan ‘intervensi kemanusiaan’ ke Suriah.[1] Dalam penjelasannya, Iqra mengatakan apabila belajar dari pengalaman invasi Amerika Serikat ke Irak, maka langkah intervensi militer terhadap Suriah, hanya akan menyebabkan malapetaka bagi rakyat jelata, alih-alih membangun tatanan dunia demokratis seperti janji Presiden AS, Barrack Obama.
Terkait rencana intervensi militer Amerika Serikat atas Suriah tersebut, satu hal yang penting kita cermati adalah kesamaan langkah dan argumen yang diambil baik oleh presiden George W. Bush maupun Obama dengan ‘baju’ ideologi yang berbeda. Ketika melakukan serangan militer ke Irak, pemerintahan Bush menggunakan mantel ideologi neo-conservative, sementara retorika Obama berlindung di balik mantel ideologi liberal progresif. Alasan politiknya sama, baik Bush dan Obama sama-sama mengklaim bahwa Saddam Hussein dan Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia untuk membungkam oposisi. Yang agak membedakan di antara keduanya, hanyalah saat ini Obama lebih bersabar untuk melakukan serangan karena menunggu dukungan yang lebih luas dari dunia internasional.
Pertanyaannya, mengapa baik Bush maupun Obama, sampai pada kebijakan yang identik dengan argumen dan retorika yang mirip, untuk melegitimasi kebijakan intervensionisnya? Sesungguhnya, kesepakatan di antara agensi yang dipandang saling berbenturan secara ideologis dalam mengafirmasi kebijakan perang dan imperialisme ini tidak saja berlangsung di kalangan elite politik dan pemerintahan, namun juga di kalangan akademisi dari spektrum ideologis yang berbeda dan dianggap saling berbenturan satu sama lain. Di saat kekalutan warga Amerika Serikat tengah memuncak setelah penyerangan WTC pada 11 September 2001, 60 akademisi Amerika Serikat dari berbagai spektrum ideologis yang berbeda mulai dari begawan neo-konservatif seperti Samuel Huntington dan Francis Fukuyama sampai pendekar spartan sosial demokrat Michael Walzer, semuanya membubuhkan tandatangan dalam manifesto intelektual untuk memberi izin kepada pemerintahan Bush guna melakukan invasi dan operasi militer di Afghanistan.
Secara teoritis, dalih perluasan demokrasi dan kebebasan di balik setiap kebijakan intervensionis AS ke negara lain, sudah terbantahkan. Tujuan utama di balik kebijakan intervensionis, baik secara militer, ekonomi, maupun intelijen selalu bertujuan untuk memperluas dan mengamankan kepentingan politik ekonomi AS. Tetapi, bagaimana menjelaskan keterlibatan para intelektual dari beragam spektrum ideologis dalam mendukung proyek imperialisme AS tersebut?
Untuk menjawab enigma di atas, marilah kita menengok penjelasan analitis berbasis materialisme historis dari Professor Marxist Ellen Meiksins Wood. Dalam artikelnya Democracy as Ideology of Empire (2006), Wood menjelaskan bagaimana demokrasi digunakan sebagai ideologi pembenar dari imperialisme baru ini. Menurut Wood, kunci dari persoalan ini terletak pada problem sistemik struktural yaitu tatanan kapitalisme! Seperti dituangkan dalam tesis dasar Marx, bahwa keberlangsungan tatanan kapitalisme dan dominasi kekuatan borjuasi dibangun melalui kontradiksi dan separasi antara wilayah sosial-politik dan wilayah ekonomi. Kebebasan di wilayah sosial-politik yang membentuk kebebasan formal di antara warga negara dan umat manusia berkontradiksi dengan hirarkhi dan eksploitasi di ranah ekonomi, yakni antara pemilik modal dan kelas pekerja. Dengan kata lain, terjadi pertemuan antara kebebasan politik demokrasi liberal dengan sistem kapitalisme yang menindas.
Dari konstruksi di atas maka sistem sosial kapitalistik menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang secara logis bekerja dalam alur yang kontras, yakni eksploitasi sekelompok kecil pemilik modal atas pekerja dalam ruang sosial ekonomi yang berjalan beririgan tapi terpisah dengan proses kesetaraan tiap manusia dalam ruang politik (sejauh ruang politik yang tercipta tidak mengganggu hierarkhi dan eksploitasi dalam wilayah ekonomi). Akibatnya, arena demokrasi menjadi suprastruktur yang membentengi marjinalisasi, eksploitasi dan dominasi ruang wilayah ekonomi, arena dimana sebagian besar kehidupan manusia diatur didalamnya.
Berangkat dari tesis dasar marxist di atas, kita masuk pada penjelasan bagaimana hubungan antara sistem demokrasi-pasar bebas bisa berjalan seiring dengan kebijakan invasi dan perang imperialisme yang diamini oleh para akademisi di atas. Di era globalisasi ini, ekspansi dan dominasi imperium tujuan utamanya untuk membuka akses kebebasan dari kapital, khususnya kapital AS ke seluruh dunia dibalut dengan mantra ideologis keterbukaan. Lebih lanjut Wood mengatakan, ekspansi dan dominasi imperium ini tidak membutuhkan kolonialisasi atas wilayah-wilayah target, tidak pula mengeliminasi kedaulatan dari negara-negara tersebut agar terbentuk sebuah tatanan global lintas batas. Yang dibutuhkan oleh otoritas baru kapitalisme neoliberal abad ke-21 ini adalah sistem global yang stabil dan terprediksi dengan disiplin total (melebihi masa sebelumnya), serta ketundukan terhadap logika kapital yang ekspansif tersebut. Dengan watak sedemikian, maka kebebasan bergerak kapital yang menjadi esensi imperialisme menihilkan kesetaraan kekuatan ekonomi di antara pelaku-pelaku ekonomi maupun negara-negara yang berdaulat. Demi kepentingan akumulasi kapital dari baik negara utama maupun korporasi pemegang kendali kuasa imperium, mereka membutuhkan hadirnya ketimpangan ekonomi antar wilayah sebagai sarana untuk melakukan ekspansi dan kemudian eksploitasi buruh murah maupun sumber-sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas bagi ketahanan ekonomi maupun penarikan laba (nilai lebih) yang tak berkesudahan.
Sumber: Nobodycorp.International Unlimited, @nobodycorp
Pembentukan Hegemoni Baru
Problemnya kemudian, tatanan imperialisme baru ini tidak bisa eksis hanya melalui pergerakan kapital dan pasar bebas semata. Dominasi politik, perangkat militer, dan sarana intervensi baru harus dirancang ulang untuk menjaga eksistensi dari sistem ini. Apalagi ketika terjadi krisis kapitalisme berupa inflasi dan jatuhnya tingkat keuntungan, maka kebutuhan akan ekspansi kapital ke wilayah-wilayah baru dan proses dominasi ekonomi secara lebih subtil harus dilakukan untuk menggerakkan industri persenjataan, membuka wilayah-wilayah penyerapan sumber-sumber kekayaan baru, sampai pada koordinasi penumpukkan dan eksploitasi kapital di antara kekuatan borjuasi transnasional yang difasilitasi oleh tatanan politik global tersebut.
Dari sinilah kemudian aktor-aktor strategis dominan dalam sistem kapitalisme neoliberal membutuhkan pembentukan konstruksi hegemoni ideologi baru berbasis demokrasi, kemanusiaan, dan keterbukaan yang dibalut dengan operasi-operasi politik lama yaitu perang dan invasi imperialisme agar dunia tetap terkontrol dan diinjak-injak oleh tirani kuasa modal. Dalam rezim imperium baru berbasis demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas, ruang untuk melakukan invasi militer tidaklah seterbuka pada era kolonialisme maupun perang dingin. Penghancuran kedaulatan politik sebuah negara dan rezim politik yang berkuasa haruslah dibangun atas dasar ideologi demokrasi, keterbukaan, dan kemanusiaan agar mendapatkan persetujuan dari komunitas internasional.
Berangkat dari penjelasan ini maka tidak heran jika pembicaraan dari ruang-ruang akademik terasa begitu mengagetkan, saat hampir sebagian besar intelektual yang berangkat dari tradisi-tradisi filosofis keilmuan yang berbeda bisa bersepakat terhadap invasi Amerika Serikat. Fatwa sekuler dari universitas itu juga menyembunyikan sumber penggerak utama dari invasi tersebut baik di Afghanistan, Irak dan Suriah saat ini yakni untuk kepentingan ekspansi dan akumulasi kapital. Memang terdapat polemik minor di beberapa mimbar ruang publik, misalnya, apakah invasi yang dilakukan mengambil korban jiwa terbatas atau meluas, apakah benar bahwa rezime yang akan dihabisi menggunakan senjata kimia, atau betapa invasi tersebut akan menghasilkan rezim yang demokratis hasil pemilu dan sebagainya. Namun perdebatan-perdebatan terkait invasi kemanusiaan tersebut (dengan tidak memasukkan akademisi marxis), menegasikan analisis mengenai siapa saja yang diuntungkan dan bagaimana proses-proses eksploitasi ekonomi akan dilakukan di negara target operasi paska invasi dilakukan; bagaimana tatanan kapitalisme neoliberal dengan metode agribisnis yang baru akan mengusir jutaan rakyat dari tanahnya dan bermukim di perkotaan membentuk enclave-enclave kaum miskin kota baru. Diskusi intelektual tidak dialamatkan pada bagaimana disiplin pasar bebas yang bersembunyi di dalam doktrin keterbukaan dan kebebasan menghancurkan pelaku-pelaku usaha kecil dengan terbangunnya pusat-pusat pasar hypermarket baru, dan bagaimana sumber daya alam dari penduduk setempat dihisap dan dieksploitasi untuk memberi tenaga dan darah baru bagi pusat imperium dengan membawa akibat-akibat baru berupa bencana ekologis dan pemiskinan massal.
Sementara itu pertemuan antara reformulasi demokrasi elektoral yang menghamba pada kepentingan kapital, seperti jauh-jauh hari diutarakan oleh Paul Cammack dalam Capitalism and Democracy in the Third World (1997), juga bersikap galau dan reaksioner ketika buah dari demokrasi yang dibuka tidak terkontrol oleh kekuasaan imperium dan menuntut perluasan demokrasi menuju pemerintahan yang ingin pula mendemokratisasikan ruang-ruang sosial ekonomi. Konstruksi demokrasi terbatas yang ingin ditanamkan dalam kekaisaran kapitalisme neoliberal akan bungkam ketika proses perubahan politik di suatu negara akan menghancurkan rezim tirani modal dan mengarah pada bentuk-bentuk artikulasi politik radikal yang ingin menertibkan kendali ekonomi di bawah kekuasaan rakyat. Hal inilah yang terjadi ketika pemerintahan Presiden Barrack Obama galau terhadap artikulasi politik musim semi di Mesir untuk menjatuhkan Hosni Mubarak, ketika disadari bahwa penggerak utama dari revolusi tersebut adalah kaum buruh, tani dan kaum miskin kota yang melawan proses neoliberalisasi otoritarian. Sementara rezim pengetahuan akademik berusaha menutupi realitas perlawanan kelas tersebut dengan membingkai gerakan politik di Mesir semata-mata sebagai revolusi Facebook! Pada arena lain, paradoks dari model demokrasi yang menghamba pada kepentingan modal ini juga bersikap lain terhadap dinamika demokrasi kerakyatan Lingkaran Bolivarian Venezuela, yang dibangun melalui kemenangan elektoral. Kita menyaksikan betapa minimnya penghargaan akademisi-akademisi pemegang otoritas demokrasi atas demokratisasi konstitusi di bawah pimpinan Presiden Hugo Chavez, dan betapa besar uang dan dana digelontorkan kepada kalangan oposisi oligarkhis dan borjuasi di Venezuela, ketika mereka menyadari bahwa ternyata proyek demokrasi di sana berusaha menghancurkan tirani kapital.
Pada akhirnya menjadi tugas profetik bagi kalangan aktivis progresif kiri dan mereka yang berpegang pada analisis materialisme historis untuk membongkar modus-modus imperialisme baru yang menggunakan jubah demokrasi dan kemanusiaan dan menunjukkan proyek tirani didalamnya. Dalam bahasa intelektual gaul Slovenia Slavoz Zizek, di karyanya In Defense of Lost Causes (2008), dalam terang analisis ekonomi-politik materialisme historis bukanlah subyek intelektual yang menawarkan sebuah kebenaran analisis marxis, namun didalam terang analisis berbasis kelaslah maka kebenaran sebagai realitas sosial penindasan dan eksploitasi serta jalan untuk menghancurkannya menampilkan dirinya. Adalah menjadi peran penting bagi kaum progresif yang konsisten dengan analisis strukturalis untuk memberi kabar kepada mereka yang masih dibuai oleh jargon-jargon demokrasi tak berjejak, agar mereka menyadari bahwa tanpa melihat pada persoalan ekonomi-politik, kemanusiaan dan demokrasi yang mereka bela tidak memiliki implikasi apa-apa bagi naiknya derajat kemanusiaan dari rakyat yang miskin, lapar dan terhina!***
Airlangga Pribadi Kusman, pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University, Australia