Cerpen
MENELUSURI kotaku dengan kacamata orang lain: itulah yang hari ini kulakukan bersama Irwan. Aneh rasanya. Seolah aku menjadi asing di kota kelahiran sendiri, pun pula kota tempat kudibesarkan. Irwan punya cara sendiri untuk menjelajahi Amsterdam; sebuah cara yang pastinya tak akan aku pilih jika sendirian. Namun, sekarang memang boleh jadi aku tak bisa dengan leluasa melewati jalan-jalan kesukaanku. Setahun setelah Rotterdam hancur, Amsterdam yang sebenarnya tidak sebegitu parah menjelma kota mati. Di balik warna warni musim rontok, hawa yang makin dingin seolah menghalangi warganya untuk keluar. Sepi terasa mencekam. Belanda makin tak berkutik dalam cengkeraman Nazi.
Dari pertemuan di Roeterstraat, pada sebuah gedung yang berhadap-hadapan dengan salah satu bangunan Universiteit van Amsterdam, sore ini kami melangkah ke Euterpestraat. Irwan tidak mau naik sepeda. Katanya sepeda akan menyulitkan upaya melarikan diri dan cari selamat kalau mendadak ada razia. Alasan ini menyebabkannya tidak mau naik trem pula. Sejak pemogokan umum Februari silam, penguasa pendudukan tak henti-hentinya mengadakan patroli dan razia, terutama di tempat-tempat umum. Untuk menghindari itu semua, kami jalan kaki saja menyelusuri pelbagai steegjes, lorong-lorong kecil yang tak umum dilalui orang.
Arah yang kami tempuh sudah ditentukan oleh teman-teman Amsterdam. Sebuah rute jalan yang berbelit-belit, menurutku. Seharusnya, kami bisa melewati jalan yang lebih sederhana lagi. Bukan hanya arah, bahkan waktunya pun sudah mereka pastikan. Ini semua lantaran Amsterdam sebagai ibukota yang diduduki Nazi. Bersama Irwan, sore ini aku menantang hawa dingin yang membungkus Amsterdam dan lebih dari itu juga menantang para moffen, makian kasar orang Belanda terhadap kalangan Nazi yang kini menguasai negeri mereka. Karena itu, aku tak akan protes atau menganjurkannya ganti rute.
Walaupun kesabaranku sebagai orang Amsterdam terasa diuji, tapi aku sudah berjanji pada diri sendiri: apapun yang terjadi, tak akan kubantah pilihan Irwan. Seperti juga tak pernah kubantah apapun yang dimintanya dariku. Jangankan membantah, mempertanyakan arah yang dipilihnya saja tak jua kulakukan. Dan betapa senang hatiku karena itu ternyata berhasil. Tapi harus kuakui tabiat khususku ini memang mengandung tujuan sendiri. Ada udang di balik batu, kalau kugunakan istilah Irwan. Di balik sikap menurut ini, aku berharap akan diganjar pahala yang selama ini selalu kupinta: diterima dalam kelompoknya. Dengan begitu, aku akan bisa bergabung dengan orang-orang yang selalu kurasa sebagai kaumku sendiri.
Sebenarnya apalah yang bisa dibantah pada Irwan? Begitu aku sering bertanya-tanya setelah setahun lebih mengenalnya. Aku ingat betul, tahun baru 1940, hari itu aku menyapanya di Rapenburg, kanal terbesar Leiden. Kami baru selesai menghadiri diskusi tentang ancaman Nazi yang diadakan oleh para mahasiswa sosialis. Yang hadir kebanyakan dari kelompok Irwan. Dalam undangan tertera pertemuan itu hendak merayakan tahun baru—dekade baru: 1 Januari 1940. Tapi nyatanya hadirin hanya membicarakan politik. Apalagi ketika Irwan angkat bicara. Itu kedua kalinya aku dengar pendapatnya. Irwan sudah memperhitungkan, setelah Polandia, Nazi akan bergerak ke selatan, tidak ke timur seperti diramalkan orang. Karena itu Belanda, Luxemburg, Belgia, dan Prancis akan kena giliran, persis seperti Polandia. Nazi, begitu katanya, butuh pantai untuk menghajar Inggris. Itulah wajah asli Hitler yang mengakhiri optimisme bahwa Nazisme adalah resep paling mujarab bagi depresi selama dekade yang baru berlalu itu.
Diskusi semacam itu kurasa perlu sekali. Maklum, koran-koran Belanda tidak terlalu bergairah memberitakan ancaman Nazi. Entah mengapa. Paling banter cuma diberitakan serbuan Nazi terhadap Polandia. Berita yang memang memang tak bisa dihindari. Tapi ancaman Nazi terhadap Belanda? Tak satu katapun mereka luangkan. Nada pemberitaan mereka jelas-jelas menguntungkan Nazi. Apalagi koran kuning yang satu itu. Sorot mataku ternanar pada loper ketika ia sedang memasukkan koran yang bersemboyan “Belanda Bangun” pada sebuah kotak pos rumah di Beethovenstraat. Terlambat sekali dia, koran pagi baru diantar sore hari. Kami berdua sudah sampai di bilangan Amsterdam selatan, daerah elit ibukota Belanda ini. Itu berarti, tujuan pertama sudah dekat.
Akankah Irwan belok ke Euterpestraat, langsung ke rumah yang akan kami datangi? Berapakah nomor sebenarnya rumah itu? Harus belok ke mana ini? Kiri atau kanan? Belum lagi rangkaian pertanyaan itu sempat kuajukan, Irwan sudah menggumamkan omelannya.
“Masih ada saja pembaca koran khianat itu!” Rupanya Irwan memaki koran kuning yang sekarang memihak penguasa pendudukan dan mengingkari wangsa Oranje karena Sri Baginda Ratu sudah menyingkir ke seberang laut. Begitu Nazi berkuasa, koran-koran Belanda kena sensor: tidak punya kesempatan lagi memberitakan masalah pendudukan ini. Dan memang hanya dengan begitu koran kuning ini bisa hidup terus. Beda dengan sebuah koran lain yang sering dibaca Irwan, koran yang sekarang sudah tidak terbit lagi itu.
Melangkah ke manakah sekarang? Euterpestraat tinggal sekitar 200 meter lagi, persisnya pada perempatan kedua, setelah perempatan Jan van Eijckstraat dan perempatan Appololaan ini. Aku lebih ingin tahu soal tujuan kami, “Langsung ke sana?”
“Jangan, tunggu dulu saat yang tepat!” Irwan berbisik seraya melambatkan langkahnya. Kulakukan hal serupa, walaupun larangan dan suaranya yang melemah membuatku tidak ingin bertanya lebih lanjut.
Bukan saja tujuan pertama sudah dekat, di Euterpestraat itu juga bermarkas SD, Sicherheitsdienst, jaringan intel para moffen. Di sekitar pertengahan jalan sepanjang satu kilometer yang menyandang nama dewi musik Yunani purbakala itu, terletak gedung terbesar. Dahulunya, bangunan itu adalah sekolah menengah putri yang lantas direbut dan dijadikan markas besar SD. Jelas, inilah yang menyebabkan Irwan mengubah langkah dan nada bicaranya. Baru aku paham penjelasannya sebelum kami berangkat tadi.
Selain dua tujuan, yaitu Euterpestraat dan Willemsparkweg, Irwan menegaskan ada dua perkara penting yang perlu diperhatikan kalau sudah dekat tujuan pertama. Patroli SD dan tanda boleh masuk. Patroli para cecunguk SD berlangsung setiap setengah jam. Namun, hal ini masih bisa diperhitungkan. Yang lebih sulit adalah tanda boleh masuk ke rumah yang dituju. Tanda seperti apa itu? Pertanyaan itu meliputi benakku. Tapi, aku tak berani bertanya pada Irwan. Apalagi, ia mulai bersikap awas dan melongok-longok, mencari tahu patroli para cecunguk SD.
Irwan menyingkap pergelangan tangannya, melihat jam tangan. Belum lagi jam lima tapi matahari sudah tenggelam, seperti biasa di musim rontok. Ia memandangi jalanan yang makin sepi, trem pun tidak meluncur lagi di Beethovenstraat. Masih seperempat jam sebelum SD kembali berpatroli. Tapi, sudah selesaikah patroli sebelumnya? Sulit memastikan, apalagi terhalang kabut yang mulai turun di remang senja ini.
Tiba-tiba terlihat sorot lampu sepeda dari arah Euterpestraat. Tiga lampu itu makin mendekat. Belum sempat kuisyaratkan kedatangan mereka, Irwan sudah belok kanan, masuk Jan van Eijckstraat, perempatan berikut setelah Appololaan. Sejenak aliran darahku terasa berhenti. Aku cuma bisa tegak berdiri, tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin lantaran refleks Irwan yang tak terduga-duga itu, mungkin pula lantaran tiga pria bersepeda yang sekarang makin mendekat.
“Hati-hati razia, sebentar lagi,” salah satunya berbisik ketika berpapasan denganku. Bisikkan itu membangunkanku. Darahku terasa kembali mengalir. Kelegaan ini kembali meluweskan otot. Begitu mereka berlalu, segera aku bergegas menyusul Irwan. Sebenarnya dari awal sudah jelas mereka bukan intel SD yang sedang berpatroli: mereka tidak menyalakan lampu senter atau membawa anjing. Jam malam baru akan mulai pukul delapan nanti. Jelas belum tiba. Jadi, kalaupun intel, mereka tidak punya alasan menangkap orang. Begitulah caraku menenangkan diri sambil berupaya mengusir gemetaran ini.
Irwan ternyata menungguku di balik salah satu pagar rumah susun di Jan van Eijckstraat. Aku hanya geleng kepala menjawab pertanyaannya. Dan kami pun memang sudah sepakat untuk tidak saling kenal jikalau ada razia. Selain menegaskan mereka bukan cecunguk SD, aku sebenarnya juga ingin bertanya arah langkah kami berikutnya. Tapi belum lagi aku bertanya, dari bibir Irwan kembali terdengar “Ssttt” yang hari ini sudah berkali-kali dilakukannya.
“Sebaiknya kita tidak langsung ke Euterpestraat,” ujarnya setengah berbisik. Kucoba menenangkannya dengan menyatakan jam malam juga masih lama. Mungkin baru pertama kali ini aku terdengar tidak terlalu setuju dengannya. Tapi pendapatku tak didengarnya. “Ada alamat lain, Minervalaan,” ia menyebut tujuan baru dengan rahang beradu sehingga terdengar germercik giginya. Aku tahu, Minervalaan tidak jauh dari Jan van Eijckstraat ini. Itu daerah baru yang dibangun untuk Olimpiade 1928. Rumahnya besar-besar, milik kalangan berada. Tak berani bertanya mengapa, aku hanya menjawab dengan anggukan, tak berani pula kutanyakan nomor berapa atau itu alamat siapa. Pasti dia mendapatkannya dari teman-teman Amsterdam. Setahun lebih pendudukan Nazi membuat orang seperti Irwan siap dengan segala kemungkinan. Sementara itu ia tampak makin resah dan kedinginan ketika meneruskan langkah dalam kegelapan dengan suhu yang terus turun. Mungkin sudah lewat titik beku suhunya. Mungkin karena itu pulalah dia ingin cepat-cepat bernaung. Soal ini tidak jarang dia nyinyir terhadap orang Belanda kolonialis yang sekarang berada di Hindia. Hanya untuk menghindari dingin, katanya. Kami melangkah ke Minervalaan yang tidak jauh lagi. Di luar dugaan Irwan menyebut nomor rumahnya. Sebuah nomor ganjil, yang tentunya berada di sebelah kiri jalan raya yang memakai nama dewi kearifan Romawi purba ini. Berbeda dengan Beethovenstraat atau Jan van Eijckstraat, Minervalaan adalah sebuah boulevard, sebuah jalan raya dengan lajur hijau di tengahnya yang memisahkan deretan nomor ganjil dari deretan nomor genap.
Kami melangkah cepat untuk mengusir dingin ditambah keengganan berpapasan dengan kalangan yang bisa membawa celaka. Belok kanan menembus Rubenstraat, kembali di Appololaan lalu belokan kiri pertama. Aku hanya menunjuk pada sisi jalan. Di sana terletak deretan nomor ganjil. Irwan mengangkat ibu jarinya. Dan memang nomor yang dituju tidak jauh dari belokan itu. Sebuah rumah berhalaman rapi, tak terlihat selembar pun daun di musim rontok ini. Dua pohon yang tumbuh di situ terlihat menampilkan daun warna-warna kuning dan merah, sesuai musimnya. Kulihat ada bel, tapi Irwan mengetuk pintu rumah tingkat bawah itu enam kali. Masing-masing dua ketukan. Tak ada jawaban. Ketukan yang sama diulanginya lagi. Baru kemudian terdengar suara orang bertanya, siapa, dalam bahasa Belanda. Irwan memberi isyarat supaya aku juga mendengar apa yang akan diucapkannya. “Centhini,” katanya menyebut istilah yang baru pertama kali ini kudengar dengan “t” yang terdengar aneh pada telingaku.
Rupanya itulah kata sandi yang segera disambut dengan pintu terbuka. Tampak seorang perempuan yang wajahnya tidak terlalu asing bagiku. Ya, aku ingat: perempuan Belanda setengah baya ini sempat kulihat siang tadi pada pertemuan di Roeterstraat. Dia tidak banyak bicara. Yang dilontarkannya hanya soal-soal praktis seperti penyediaan bahan pangan dan pakaian musim dingin. Dalam bahasa Belanda Irwan menjelaskan mengapa kami harus mampir, sambil memperkenalkanku. Seraya memastikan perjumpaan tadi siang, dijabatnya tanganku, dan ketika namaku kusebut dia bertanya, “Anda juga dari Hindia?” Aku hanya bisa mengeluarkan bunyi salah satu huruf hidup, tapi Irwan menyelamatkanku, “Dia orang kita juga.” Dia sebut namanya, Dieuwertje, sambil mempersilahkan kami masuk. Sudah setahun lebih ini orang Belanda punya kebiasaan baru, berkenalan hanya dengan nama depan. Itupun belum tentu nama asli.
Kami memasuki ruang yang besar, terang benderang, dan hangat. Sebenarnya itu baru ruang penghubung ke kamar-kamar lain. Dieuwertje mempersilakan kami membuka jas musim dingin yang setelah nyaris dua jam di luar terasa begitu kaku. Begitu jas-jas kami disimpan pada garderobe, semacam lemari penggantungan jas, Irwan menyebut satu nama lain dan keinginannya untuk bertemu orang itu. “Tentu saja. Saya beri tahu dulu, sebentar ya,” kata Dieuwertje sambil mempersilakan kami duduk pada dua kursi yang mengapit garderobe itu. Kulihat Irwan menarik wajah lega, raut mukanya seperti bersinar. Tuan rumah melangkah ke dapur di ujung ruangan. Terdengar semacam derit pintu berat yang dibuka, lalu seperti anak tangga yang dilangkahi, entah ke bawah atau ke atas.
Tak lama kemudian Dieuwertje muncul kembali untuk memastikan bahwa kami bisa bertemu nama yang disebut Irwan tadi. Kami ikuti dia ke dapur, di sana terlihat lemari perabot dapur berwarna kuning itu sudah tergeser dan di baliknya terlihat pintu, jelas menuju ruang persembunyian. Tangga yang ada di situ membawa kami ke kelder, sebutan ruangan bawah tanah rumah-rumah Belanda. Tapi Dieuwertje tidak ikut. “Saya siapkan kopi dulu”, katanya.
Dua orang sudah menanti kami di ujung tangga. Yang satu jelas orang Belanda berambut pirang dengan muka dipenuhi janggut dan cambang. Yang lainnya? Ah, dia pasti yang ingin ditemui Irwan. Belum lagi kami benar-benar lepas dari tangga, kudengar orang Belandanya sudah dua kali menyebut nama Tuhan. Telingaku menangkap suara nyaring yang tak asing lagi. Astaga, benarkah itu dia? Jantungku serasa berhenti ketika berhadapan dengannya. Dan belum lagi kukatakan sesuatu dia sudah memelukku. Kulihat Irwan dan temannya berpandangan hampa, mereka jelas terheran-heran.
“Ini anakku,” pria Belanda itu, ayahku, memperkenalkanku pada Irwan dan temannya. Untung nama kelahiranku tak disebutnya. Dia tampak sudah terbiasa untuk tidak menyebut nama, apalagi kepada orang-orang yang tidak dikenalnya. Lalu giliran dia menjabat tangan Irwan dan kujabat tangan teman Irwan. “Setiadji,” dia menyebut namanya dan kusebut namaku, “Menco,” sementara kudengar kepada Irwan, ayah mengaku bernama Quirijn.
Tanpa ditanya, ayah berkata masih tetap menunggu kepastian bisa berangkat ke Friesland, Belanda utara. Sudah dua bulan lebih dia menghilang, bersembunyi menghindari Arbeiteinsatz, kerja paksa di Jerman. Dalam tempo itu, ayah berubah sekali. Bukan saja wajahnya yang terbungkus janggut dan cambang, tapi juga sosoknya menjadi lebih kurus. Dua bulan lebih tak kena udara luar dan sinar matahari menyebabkannya lebih tampak seperti seorang Florestan, tahanan politik dalam opera Fidelio ciptaan Beethoven, yang memang sudah beberapa kali diperankannya di Stadsschouwburg, Amsterdam, gedung kesenian ibukota. Peran terakhirnya sebelum bersembunyi adalah Lohengrin, opera Wagner yang bertokohkan satria pembela kaum lemah. Lohengrin jelas merupakan puncak karier ayah sejauh itu, walaupun dia sempat mengeluh karena di bawah Nazi hanya opera-opera Wagner, Beethoven, dan Mozart yang boleh dipentaskan. Itupun harus dalam bahasa Jerman semua.
Lalu, seperti petir di langit cerah, malapetaka itu menghantamnya, praktis ketika dia sedang di atas pentas. Nazi datang melakukan razia. Ayah bukan anggota Kunstkamer, padahal peraturan penyanyi opera harus anggota kamar seni keluar setelah ayah menandatangani kontrak berperan sebagai Lohengrin, Januari 1941. Rupanya Yayasan Opera Belanda tak berhasil membereskan keanggotaan ayah. Alhasil, dia harus turun panggung, pada puncak kariernya, ketika baru dua kali tampil sebagai Lohengrin dari lima penampilan yang dijadwalkan. Pertunjukkan itu akhirnya batal karena tak diperoleh pengganti ayah sebagai pemeran utama Lohengrin. Pemecatan ayah membuka mata kalangan elit Amsterdam. Mereka akhirnya merasakan langsung juga dampak pendudukan yang selama ini hanya dikira tertuju pada kalangan Yahudi.
Ayah sendiri terpaksa melamar menjadi anggota kamar seni atas desakan yayasan. Tapi sebenarnya dia sama sekali tidak berminat karena syarat diterima sebagai anggotanya sama sekali tidak berkaitan dengan prestasi seni seseorang. Tegasnya, untuk bisa diterima, ayah harus bercerai dari ibu. Tak terbayangkan padaku mereka bercerai. Keduanya terlalu rukun. Dan sebagai pemusik, kehidupan mereka begitu terjalin erat satu sama lain. Mereka sama-sama lulusan konservatorium Amsterdam dan sudah berpacaran sejak usia belasan tahun ketika berada di tahun pertama perkuliahan. Bedanya cuma satu: ayah menjadi penyanyi opera sementara ibu memilih tetap setia pada Bach dan musik Barok, sejak diterima sebagai pemain biola pada Perhimpunan Bach, tak lama setelah tamat konservatorium. Tapi alasan terpenting ayah tak mungkin diterima dalam Kunstkamer adalah latar belakang ibu. Sebelum menikah, ibu bernama Groenteman, nama Yahudi. Kaum Nazi menganggapnya sebagai noda yang mencemarkan kearyaan ayah. Aku ingat betapa megah ayah yang bermata biru dan berambut pirang dalam peran Lohengrin. Dengan kata lain, dari kacamata Nazi, dengan mengawini ibu, ayah sudah tidak murni Arya lagi. Itu baru ayah, tahu sendirilah bagaimana Nazi melihat diriku yang beribukan seorang non-Arya.
Tak lama setelah Nazi masuk, ibu bergegas ke Friesland di Belanda utara, menumpang—tepatnya bersembunyi—pada salah satu keluarga petani di pedesaan. Ayah masih berani tampil sampai dijemput malapetaka Kunstkamer. Namun, ia belumlah gentar. Setelah Lohengrin, ia masih bertahan beberapa bulan dengan tampil sebagai tenor solo di beberapa konser rumah. Ini bukan untuk umum dan diselenggarakan oleh kaum berada Amsterdam. Sampai akhirnya datang surat teguran sekaligus panggilan Arbeiteinsatz, kerja paksa di Jerman. Ia pun lantas menyingkir dari kehidupan umum. Ketika pamit di akhir September itu, ayah berkata akan menyusul ibu ke Friesland. Bahkan dia sempat menunjukkan surat ibu yang dititipkan orang. Di situ terbaca ibu sudah tak sabar menanti, tak lupa peluk cium untukku.
Sambil menikmati kopi yang dihidangkan Dieuwertje, kuceritakan saja kisah hidup orang tuaku tadi pada Irwan dan Setiadji, karena begitu sulit hanya berbicara dengan ayah dan mengabaikan keduanya. Ruang bawah tanah itu begitu sempit dan tidak terlalu tinggi. Tapi hangat dan tidak lembab. Perabotnya cuma satu meja, satu kursi, dan tempat tidur susun. Bagaimana mungkin ayah yang begitu jangkung bisa bertahan dalam ruang sekecil ini bersama Setiadji selama dua bulan ini? Ayah hanya tersenyum. Pilihannya kerja paksa di Jerman, katanya. Moga-moga di Friesland lebih baik, kataku singkat, karena ingin memberi kesempatan kepada Setiadji atau Irwan, setelah begitu lama bicara.
Setiadji mengulurkan dua lembar kertas pada Irwan, “Ini sudah lama kutulis, tolong dibicarakan dengan teman-teman”. Irwan langsung membacanya, tapi Setiadji tidak memberinya kesempatan. “Gagasannya gampang sekali,” lanjutnya, “Dengan menyingkir ke Inggris, pemerintah Belanda sudah melanggar konstitusinya sendiri. Sekarang Belanda tak punya pemerintahan. Itu artinya, Indonesia punya status baru. Kemerdekaan jelas makin dekat!”
Mendengar itu Irwan berhenti membaca, “Teman-teman juga sudah bicara begitu, tapi belum lagi soal melanggar UUD sendiri itu. Ini baru.” Tampak sekali betapa dirinya terbakar oleh semangat setelah nyaris beku disekap dingin. Dan itu berkat pendapat seorang sarjana hukum yang begitu lulus dari Leiden terpaksa bersembunyi karena dicari-cari para moffen, sebagai salah seorang pengurus Perhimpunan Hindia.
Ayah mengangguk-angguk, “Syukurlah kau sudah bersama kalangan Hindia.” Ia tampak menyukai pilihanku berteman dengan Irwan serta orang-orang Indonesia lain. Mudah-mudahan ia juga melihat bahwa pilihanku ini wajar saja sebagai seorang mahasiswa Indologie di Leiden. Tapi kuisyaratkan supaya kita mendengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut.
“Pasal 21 ayat 2 UUD menegaskan kedudukan pemerintahan tidak boleh dipindah ke luar kerajaan,” Setiadji berlanjut. “Sekarang mereka enak saja bikin pemerintahan pengasingan di London. Itu jelas sudah melanggar UUD selain tentunya mereka biarkan saja rakyat menanggung perilaku para moffen. Tapi ini sudah sering kita dengar. Yang jauh lebih penting bagi kita adalah status Indonesia. Masihkah Indonesia merupakan koloni Belanda ketika Belanda sekarang diduduki Jerman? Itu!” Setiadji makin terdengar sebagai seorang orator. Untung dia masih tahu diri dan tetap duduk. Sementara, dari atas, Dieuwertje memperingatkan supaya ia tidak bicara keras-keras. Aku sadar, ia tidak ikut dalam pembicaraan ini karena berjaga-jaga menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Ini pasti akan kita muat dalam Madjallah,” Irwan menyebut penerbitan bawah tanah kelompoknya. “Sudah seminggu ini kita punya mesin stensil sendiri,” lanjutnya. “Di Eutherpestraat?” Setiadji bertanya dengan nada tak percaya. Irwan mengangguk, “Kita semua disibukkan dengan itu. Beberapa penerbitan yang dilarang akhirnya bisa terbit lagi. Berkat upaya Ibu Soewarni dan ini dia, Menco!” Irwan menempuk-nepuk punggungku. Setiadji tetap berlanjut dengan ketidakpercayaannya, “Jadi tidak hanya Madjallah?” Irwan segera menimpali, “Iya, kita sekarang punya kesempatan untuk itu mencetak Het Parool, De Waarheid dan De Vrije Katheder!” Ia sebut tiga koran Belanda yang terbit kembali dalam bentuk stensilan, setelah kena larangan para moffen. “Hebat kalian, terus bagaimana mengedarkan semua itu?” Setiadji seolah tidak percaya pada penjelasan Irwan. “Siapa saja yang pernah mampir ke Euterpestraat dapat tugas menyebarkan stensilan, kecuali dia seorang mof,” Irwan mencoba bercanda.
Sejenak aku tercenung. Sungguh: mereka ini bukan orang Belanda. Bahkan mereka tengah berupaya membebaskan diri dari penjajahan Belanda, berjuang mendirikan negara sendiri. Tapi, sekarang ketika Belanda, si penjajah itu diduduki Nazi, mereka ternyata berjuang juga bagi Belanda. Mengapa mereka lakukan hal itu? Bukankah ini bukan perang mereka? Bukankah mereka tidak diduduki Nazi dan bukankah Nazi tidak berperang melawan negeri mereka? Sekarang pasti perjuangan kemerdekaan Indonesia mereka hentikan.
Untung saja ada peringatan Setiadji! Ini perlu supaya mereka tidak terlalu hanyut dalam perjuangan melawan Nazi. Perjuangan kemerdekaan Indonesia harus tetap merupakan tujuan utama mereka. Akhirnya, aku sampai juga pada pendirian seperti ini. Bagaimanapun juga aku butuh pembenaran bagi kedekatanku pada mereka.
“Ini mevrouw Soewarni di Euterpestraat 167?” Giliran ayah yang keheranan. “Klopt,” Irwan membenarkan, “Sekali lagi ini juga jasa Ananda, karena Menco bisa mendapatkan mesin itu dari Fakultas Indologie, ketika Universitas Leiden tutup”. Pujiannya membuatku tersipu-sipu. Sebenarnya yang disebut Irwan jasa itu hanyalah upaya membujuk profesor Cohen supaya mengizinkanku membawa mesin stensil kantornya. Dan tidaklah sulit meyakinkan profesor Cohen. Guru besar ini langsung setuju begitu kutegaskan mesin itu akan dipakai mencetak penerbitan gelap. Ia termasuk alasan kenapa para moffen keparat itu menutup almamaterku. Para guru besar yang bukan Arya harus dipecat, kalau tidak universitas akan ditutup. Begitu syarat jahanam mereka. Betapa bangga diriku begitu tahu almamater menolak memecat para profesor non-Arya, seperti Cohen. Jadi bukanlah kejutan kalau Profesor Cohen mendukung setiap upaya melawan para moffen.
“Ongelooflijk,” ayah keheranan tapi penuh kekaguman. Betapa besar risiko yang ditempuh oleh Ibu Soewarni sekeluarga. Mereka lakukan itu semua persis di depan hidung para cecunguk SD yang berkantor paling jauh 200 meter dari rumah mereka, Euterpestraat 167. Masih diliputi rasa tak percaya, ayah kemudian berkisah bahwa ia pernah bertetangga dengan Ibu Soewarni. Sebagai pengantin baru, ayah dan ibu ternyata sempat tinggal selama hampir setahun di Euterpestraat 165, tentunya sebelum aku lahir. Jadi, orang tuaku kenal Ibu Soewarni dan keluarganya. Suaminya seorang dokter Belanda yang waktu berkenalan dengan orang tuaku baru selesai pendidikan spesialis anak-anak. Pada titik ini, Irwan memotong pembicaraan ayah. Katanya, dokter Lennart, suami Ibu Soewarni, tewas di tempat kerjanya Rumah Sakit Coolsingel Rotterdam, ketika para moffen menyerbu Belanda tanggal 10 Mei 1940. Rotterdam hancur, termasuk rumah sakitnya. Mendengar itu, ayah menarik wajah kecut. Ia berharap mudah-mudahan Ibu Soewarni dan dua anak kembarnya, Sonnie dan Ronnie, tabah menghadapi kehilangan ini.
Sebagai tetangga, ayah, dan terutama ibu, sering mengawasi keduanya, mungkin untuk pelampiasan karena ibu begitu ingin punya anak. Katanya, rumah Ibu Soewarni tepat berhadapan dengan pertigaan Euterpestraat Leonardostraat, di pertigaan itulah anak-anak sering bermain. Ada satu hal yang masih diingat ayah. Ibu Soewarni, kata ayah, selalu menyebut rumahnya tusuk sate karena berhadapan langsung dengan Leonardostraat. Di Jawa, rumah tusuk sate dianggap tidak membawa keberuntungan. “Moga-moga ia tidak menghadapi masalah lagi, ia sudah kehilangan suami,” ayah mengakhiri penjelasannya. Mendengar kisah ini, aku iri juga padanya. Betapa aku ingin sekali bertemu Ibu Soewarni dan putra kembarnya!
Aku memang belum pernah bertemu mereka. Tugasku dulu hanya membawa mesin stensil ke pemondokan Irwan. Kemudian teman lain mengangkutnya ke Amsterdam. Itupun secara bertahap, tidak langsung ke Amsterdam, tapi secara estafet dari satu tangan ke tangan berikut. Karena itu butuh waktu lama, sebulan lebih. Dan ketika sampai di Amsterdam ada orang lain lagi yang bertugas membawanya ke Euterpestraat 167. Teman-teman tidak ingin membebankan tugas berat ini hanya pada satu orang. Kalau sampai tertangkap membawa mesin stensil, seseorang bisa ditembak di tempat oleh moffen keparat.
Dari atas, Dieuwertje minta tolong supaya dibantu menghidangkan makanan. Rupanya ia baru selesai memasak, itulah bau sedap yang sempat membuat perutku meronta-ronta. Aku bergegas ke atas dan mendapati Dieuwertje sudah siap dengan hidangan Belanda: stampot. Kesulitan menyembunyikan kaget, aku pura-pura senang karena kelaparan segera berakhir. Tapi tak berani kujawab pertanyaan Dieuwertje apakah Irwan suka. Aku ingat betul, tahun lalu Irwan mengajak cari makan di tempat lain begitu mendapati kantin universitas menghidangkan stampot. Seorang temannya menyebut stampot sebagai semur sosis dicampur bubur kentang dan sayur rebus. Irwan lebih tegas lagi: “makanan bayi”. Tentu saja Dieuwertje tak kuberi tahu. Begitu sampai di bawah, kudapati ayah tengah berbicara serius dengan Irwan dan Setiadji. Tapi terhenti ketika Dieuwertje melongok untuk berkata, “Apa adanya saja, moga-moga bisa dinikmati.” Kami berterima kasih serempak. Segera aku sibuk melahap, walaupun itu cuma dalih supaya tak perlu melirik Irwan.
Stampot belum benar-benar habis, ayah sudah mendesak bicara. “Ada hal penting yang ingin kukatakan padamu, tadi sempat aku singgung sebentar pada Irwan dan Setiadji, ketika kau di atas,” katanya. Mulutku masih penuh, jadi aku hanya mengangguk saja, sekaligus menggerakkan tangan mempersilakannya.
“Aku tak ingin kau dengar dari orang lain, selain aku atau ibumu. Dan ibumu sudah setuju kalau hal ini kubicarakan denganmu,” ayah menarik wajah serius. Agaknya ini berkaitan dengan warisan atau sejenisnya, kalau-kalau ayah atau ibu tidak kembali.
“Kami sebenarnya bukan orang tuamu yang asli,” kata ayah terputus-putus. Mendengar itu bukan saja detak jantung, tapi nafasku juga terasa berhenti. Lalu aku kesulitan mengunyah apalagi menelan makanan yang tiba-tiba terasa begitu menyesaki mulutku. Mungkin juga mulutku sekarang menganga, berupaya menggapai nafas karena hidung terasa tersumbat. Yang jelas omongan ayah ini membuatku lebih dari sekadar kaget. Dengan isyarat tangan, ayah kuminta melanjutkan omongannya.
“Ayah biologismu adalah seorang pangeran Jawa. Dia sudah kembali ke Jawa, tapi waktu itu dia studi hukum di Leiden. Ibu aslimu seorang Belanda, dari Amsterdam sini, teman dekat ibu. Kalau tidak salah dia akhirnya juga ke Hindia.” Kedua orang tua biologisku, demikian ayah berlanjut, meminta ia dan ibu supaya membesarkanku. “Mereka sendiri kesulitan, belum bekerja, tidak punya penghasilan tetap,” ayah seolah mengiba untuk mereka. Sulit membayangkan ayah asliku miskin, lagipula hanya kalangan darah biru yang bisa mengirim anaknya studi di Belanda. Pasti mereka yang disebut orang tua asliku tidak siap menyambut kehadiranku.
Terus terang aku kesulitan, bukan hanya kesulitan menentukan sikap, tapi juga kesulitan mengerti ayah. Rasanya seperti harus memecahkah kalkulus yang begitu rumit. Haruskah aku bergirang ria karena ternyata separuh darah dagingku punya asal usul di Indonesia, sama seperti teman-teman dekatku? Atau justru haruskah aku berduka nestapa karena dua orang yang begitu kusayangi dan begitu berperan dalam kehidupanku ternyata bukan ayah ibuku yang sejati?
Yang jelas kini aku paham mengapa tampangku lebih terlihat Indo, campuran Indonesia-Belanda. Beda benar dari kedua orang tuaku. Ayah selalu menyebut rambut kelamku berasal dari ibu yang juga berambut kelam. Tapi tak pernah disebutnya kenapa satu mataku coklat sedang yang lainnya kehijauan, sementara matanya dan mata ibu tidak berwarna itu. Aku jadi ingin tahu tampang mereka, kedua orang tua asliku. Mirip siapakah aku? Akankah kelak aku bisa bertemu mereka?
Entahlah. Tidak bisa memahami dan tidak bisa menentukan sikap terhadap kenyataan yang baru kutahu ini mungkin juga tidak terlalu penting. Yang penting, di balik Amsterdam yang tampak sunyi serta tercekam ketakutan ini, ternyata riuh juga kobaran semangat perlawanan. Dan dari sini orang Belanda harus tahu dan bercermin, kalau sekarang mereka melawan penindasan Nazi, bukankah itu persis sama dengan orang Indonesia yang melawan kolonialisme Belanda? Di manapun serta kapanpun kesewenang-wenangan dan penindasan akan selalu membangkitkan perlawanan. Aku sendiri makin yakin bahwa keterlibatanku dalam perlawananan yang dilancarkan oleh kelompok Irwan dan Setiadji merupakan sesuatu yang alamiah, tuntutan darah dagingku sendiri.
Perlahan-lahan dan dengan hati-hati kubiarkan perasaan ini mekar di dadaku, bahwa aku sudah diterima dalam kelompok Irwan. Aku sudah diperkenalkannya pada Setiadji, sudah diberitahu aktivitas mereka di Euterpestraat. Lebih dari itu mereka juga tahu latar belakangku, bahwa aku ternyata berdarah Indonesia juga, walaupun Dieuwertje sempat mempertanyakan asal usulku. Sekarang aku bersiap-siap untuk diperkenalkan kepada Ibu Soewarni dan dua putra kembarnya Sonnie serta Ronnie. Kemudian Irwan juga akan mengajakku ke Willemsparkweg, tempat berkumpul lain mahasiswa Indonesia di Amsterdam. Ini semua menimbulkan kegirangan padaku, tapi aku tetap berhati-hati untuk tidak meluapkannya.
Dieuwertje kembali memanggil. Anggurnya kelupaan, katanya di ambang tangga sambil membawa sebotol anggur merah.
Voor Mama, ter herinnering aan onze fietstocht door Amsterdam
Amsterdam, musim dingin akhir 2012
Rujukan
1. Marco Entrop (1993): Onbekwaam in het compromis, Willem Arondéus kunstenaar en verzetsstrijder, Amsterdam: Bas Lubberhuizen uitgever.
2. Loe de Jong (1970): Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog Deel 3 Mei ’40, ‘s-Gravenhage: Staatsuitgeverij.
3. Harry Poeze (1986): In het land van de overheerser I, Indonesiërs in Nederland 1600-1950, Dordrecht: Floris Publications. (terutama Bab “1940-1945: Isolement en solidariteit” halaman 297-330).
4. Friso Roest en Jos Scheren (1998): Oorlog in de stad, Amsterdam 1939-1941, Amsterdam: Van Gennep.
**Joss Wibisono setelah selama ini aktif menulis non-fiksi dengan bukunya Saling Silang Indonesia-Eropa (Marjin Kiri 2012), kini mulai menjelajahi genre fiksi. Pernah bekerja sebagai penyiar Radio Nederland di Hilversum, Negeri Belanda.