MARI kita mulai dengan sebuah teka-teki. Andaikan suatu planet lain di sebuah semesta paralel yang secara umum identik dengan planet kita. Sebut saja planet itu sebagai Bumi Kembar. Seperti planet kita, Bumi Kembar itu dihuni oleh manusia yang berevolusi dari kera. Seperti juga manusia Bumi kita, manusia dalam planet itu, pada tahap tertentu perkembangannya, mengenal sistem kepemilikan-privat, mengembangkan pembagian kerja yang bertumpu pada kerja-upahan—singkatnya, mengenyam kapitalisme.
Yang membedakan Bumi Kembar dengan planet kita, di Bumi Kembar itu kapitalisme tidak menimbulkan penderitaan secuil apapun. Tak ada buruh yang hidup dalam kemiskinan, tak ada krisis ekologi akibat eksploitasi alam yang gila-gilaan, tak ada Marxisme. Walaupun ada penarikan nilai-lebih, dan karenanya ada kapitalisme, tetapi semua perusahaan di Bumi Kembar bersama dengan pemerintah terkait menyelenggarakan sistem subsidi sosial komprehensif yang membuat semua buruh hidup makmur, relatif jauh di atas apa yang umumnya kita identifikasi sebagai garis kemiskinan. Pemerintah dengan skema pajak progresifnya menyediakan semua fasilitas umum yang diperlukan, lebih dari sekadar memadai. Perkembangan teknologi telah menciptakan sebuah mekanisme produksi komoditas yang sepenuhnya ramah lingkungan sehingga krisis ekologi jadi mustahil. Kemudian di sinilah teka-tekinya: apakah mungkin ada pembuktian di Bumi Kembar bahwa kapitalisme bermasalah, bahwa kapitalisme mengandung kontradiksi?
Untuk membuat teka-teki di muka lebih mudah dicerna, kita dapat mendaratkan situasinya ke perspektif gerakan Kiri di Bumi kita. Sekarang, bayangkan bahwa sebuah anomali menimpa dua orang aktivis Kiri di Bumi kita. Pada suatu sore yang panas, Fahru dan Noval—tentu bukan nama sebenarnya—terlelap di sekretariat partai karena kelelahan sehabis aksi sepanjang siang. Entah karena azab apa, keduanya terbangun di Bumi Kembar. Mereka mendapati dirinya tertidur di semak-semak, pada lokasi yang paralel dengan sekretariat partainya di Bumi, persis karena di Bumi Kembar tidak ada penindasan buruh dan karenanya tidak ada keperluan bagi dibangunnya partai yang membela kepentingan buruh. Maka dimulailah petualangan dua orang Marxis di sebuah dunia dimana Marxisme belum ditemukan.
Kita mulai dengan Fahru. Ia adalah contoh sempurna bagi seorang yang bermimpi mengubah dunia dan mendapati dirinya diubah oleh dunia. Berdasarkan pengamatannya atas situasi nasional Indonesia di Bumi Kembar, ia menyimpulkan bahwa tidak ada kontradiksi dalam kapitalisme di planet itu. ‘Memang benar,’ ia sampaikan pada Noval, ‘bahwa nilai-lebih yang dihasilkan kaum buruh dihisap oleh kapitalis. Tapi kapitalisme bersama dengan pemerintah mengganti nilai-lebih itu dengan balasan yang lebih besar: subsidi pendidikan, kesehatan dan perumahan yang nilainya jauh lebih besar daripada jumlah nilai-lebih yang dihisap. Aku tahu ini aneh, tapi memang inilah yang terjadi di sini. Dan aku sudah menghitungnya berulang-kali.’ Oleh karena itu, Fahru lantas memutuskan untuk berhenti mengupayakan revolusi dengan pertimbangan bahwa kesetaraan—atau setidaknya sesuatu yang mirip dengan kesetaraan—sebenarnya sudah terwujud di Bumi Kembar.
Sekarang kita beralih ke Noval, yang kesepian dan malang. Tugas untuk membuktikan kontradiksi kapitalisme Bumi Kembar kini jatuh ke pundaknya seorang diri. Ia mendapati dirinya laksana ‘Marx,’ ‘Lenin’ sekaligus ‘Mao’ dalam dunia dimana Karl Marx hanyalah seorang wartawan yang mati muda dan Vladimir Ilyich Ulyanov adalah seorang pengacara kaya, sementara Mao Tse-Tung cuma pustakawan yang mati tertimpa runtuhan rak buku akibat gedung perpustakaannya dibom oleh tentara Jepang. Malaikat sejarah yang menjadi pelindung Marxisme di planet Bumi seakan tak punya kuasa di Bumi Kembar. ‘Ini adalah tugas yang nyaris mustahil,’ demikian Noval membatin.
Semuanya ditentukan oleh jawaban terhadap pertanyaan ini: bagaimana caranya membuktikan kontradiksi internal kapitalisme di sebuah dunia dimana tak ada seorang atau seekor semutpun yang tertindas oleh kapitalisme? Mari sebut ini sebagai ‘Pertanyaan Noval.’ Di sini saya tidak akan berpretensi menjawabnya, melainkan sekadar menunjukkan signifikansinya bagi Marxisme secara umum. Kita yang tinggal di planet Bumi kemungkinan besar tak akan menghiraukan Pertanyaan Noval. Boro-boro memikirkan Pertanyaan Noval, menghadapi problem kapitalisme sehari-hari yang jelas-jelas nampak menindas pun kita masih perlu berupaya mati-matian. Apalagi menguras energi untuk memikirkan kemungkinan jawaban bagi problem identifikasi kontradiksi dalam kapitalisme yang tak menindas. Saya akan tunjukkan, berlawanan dengan anggapan umum itu, bahwa Pertanyaan Noval sejatinya adalah pertanyaan kita.
Untuk memahami signifikansi Pertanyaan Noval bagi kaum Marxis di Indonesia, kita hanya perlu menyegarkan ingatan kita. Ingatlah dekade 80-an dan awal 90-an abad yang lalu. Pada masa itu, perlawanan atas kapitalisme di Indonesia nyaris tak dapat dibedakan dari perlawanan atas otoritarianisme. Kapitalisme tumbuh subur di Indonesia, kita tahu, berkat stabilitas sosio-politik yang dijamin lewat represi gerakan rakyat, penghilangan paksa atas sejumlah aktivis, serta pembantaian massal sejak ‘65. Kapitalisme dan otoritarianisme adalah dua wajah Janus ekonomi-politik Indonesia pada masa itu. Fenomena wajah ganda ini tak eksklusif terjadi di Indonesia saja. Naomi Klein dalam The Shock Doctrine menunjukkan kait-kelindan antara formasi kapitalisme dan kekerasan atas nama negara di berbagai belahan dunia: di Chile, di Argentina, di Inggris, dst. Korelasi empiris antara kapitalisme dan otoritarianisme itu dengan mudah disimpulkan sebagai identitas: kapitalisme adalah otoritarianisme.
Di Indonesia tahun 80-/90-an awal, penyimpulan ini difasilitasi lebih lanjut oleh tersebarnya gagasan-gagasan tentang Filsafat Kritis dari Mazhab Frankfurt. Kita tahu sendiri, Mazhab Frankfurt adalah genre Marxisme yang dibentuk oleh pengalaman negatif-eksistensial terhadap kekejaman Nazi. Maka klop lah sudah: aktivis Indonesia yang melihat korelasi empiris antara kapitalisme dan otoritarianisme Orde Baru, seperti disemangati untuk menyimpulkan bahwa keduanya identik melalui bacaannya atas tulisan-tulisan Mazhab Frankfurt. Dipandang dari segi ini, tak mengherankan bahwa dari setiap intelektual-aktivis pada masa itu, sejauh mata memandang, nyaris semuanya berpikir dalam kerangka Filsafat Kritis. Cara berpikir yang mencari-cari bukti ‘alienasi manusia’ dan ‘dilema usaha manusia rasional’ sudah jadi seperti ‘setelan karburator’ intelektual-aktivis di masa itu. Semua manusia Indonesia yang mengaku kritis saat itu adalah produk pabrikan Frankfurt. Di sini, kritik ekonomi-politik bercampur-baur dengan kritik moral. Ini tercermin dalam aliansi gerakan yang terbentuk pada waktu itu: sebuah montase yang tak lazim antara kaum Marxis-Leninis, para pendukung humanisme universal, kaum religius, para mahasiswa yang berpikir bahwa dirinya adalah kekuatan moral bangsa yang murni dari kepentingan politik, dsb.
Dan tibalah hari yang mengagetkan itu: Kamis, 21 Mei 1998. Suharto lengser dan sukacita menjalar di sekujur tubuh gerakan. Namun, sebagai gerakan, itu mungkin adalah sukacita mereka yang terakhir. Apa sebabnya? Sebab sejak saat itulah korelasi empiris antara kapitalisme dan otoritarianisme yang sudah terlanjur dipersepsi identik mulai bergeser ibarat lempeng tektonik. Segala apa yang terjadi sesudahnya adalah saksi bisu dari fakta bahwa keduanya tidak identik, bahwa kapitalisme dan otoritarianisme adalah dua lempeng ekonomi politik yang berbeda. Cilaka tujuh belasnya, gerakan Kiri dan kaum Marxis di Indonesia untuk waktu yang lama selepas 21 Mei 1998—bahkan sangat mungkin sampai hari ini—percaya bahwa keduanya sama. Apa akibatnya? Apabila kita percaya bahwa esensi kapitalisme adalah otoritarianisme, bahwa kapitalisme bermasalah karena otoritarianisme yang terkandung di dalamnya, maka dalam sebuah situasi dimana otoritarianisme tak lagi ada kita akan diseret untuk perlahan-lahan percaya bahwa kapitalisme yang ada tak lagi bermasalah. Artinya, kita kehilangan imajinasi untuk memperkarakan kapitalisme yang ada, persis karena imajinasi kita selama ini terbatas pada imajinasi normatif tentang kapitalisme yang kejam. Maka pusinglah kita ketika berhadapan dengan kapitalisme yang ‘baik hati.’
Apakah kapitalisme tetap bermasalah dalam sebuah situasi tanpa kekerasan? Inilah substansi Pertanyaan Noval yang kita bicarakan tadi. Di sinilah letak perbedaan dari seorang reformis, seorang Marxis-dalam-kosakata, di satu sisi, dan seorang revolusioner, seorang Marxis-dalam-cara-berpikir, di sisi lain. Seorang reformis maupun orang yang kosakatanya Marxis, akan menjawab bahwa kapitalisme tidak bermasalah ketika tidak ada yang tertindas di bawah kapitalisme. Sementara seorang revolusioner atau orang yang metode berpikirnya Marxis, akan menjawab bahwa kapitalisme tetap bermasalah, bahkan ketika tak seorang buruh atau seekor kumbangpun yang menderita di bawah kapitalisme. Pertanyaan Noval, dengan demikian, adalah litmus test bagi setiap orang yang mengaku Marxis.
Sekarang barulah kita tahu bahwa cerita Bumi Kembar di awal tulisan ini sama sekali bukan cerita tentang Bumi Kembar. De te fabula narratur. Cerita itu berbicara tentang kita semua di planet Bumi. Pertanyaan Noval sebenarnya tak lain, ketimbang bentuk eksplisit dan ekstrem dari pertanyaan pasca-Suharto, yakni pertanyaan tentang ada/tidaknya kontradiksi inheren kapitalisme di situasi non-represif, di situasi non-otoritarian. Dengan kata lain, dapatkah kita memperkarakan kapitalisme tanpa premis humanitarian? Dapatkah kita membuktikan kontradiksi kapitalisme tanpa hipotesis tambahan tentang shock doctrine, tanpa mengasumsikan the act of killing? Hanya Noval yang tahu jawabnya—Noval yang kesepian dan malang. ***
13 Agustus 2013