ANTONIO Gramsci pernah mengatakan, ‘Semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua anggota masyarakat punya fungsi intelektual.’ Kira-kira, kalimat yang ia tulis semasa berada di penjara Mussolini tersebut dapat digambarkan dalam cerita berikut.
Pada tahun 1971, Hasan al-Hudaiby baru saja keluar dari penjara Mesir. Bersama banyak tokoh Ikhwanul Muslimin yang lain, ia dibebaskan oleh Presiden Mesir yang baru, Anwar Sadat, dan diberikan kesempatan untuk aktif kembali berdakwah di masyarakat. Namun Sadat punya satu permintaan: tidak boleh berpolitik. Kata Sadat, ‘yang ingin berpolitik silakan masuk partai, dan siapa yang ingin beragama silakan ke masjid.’
Tapi itu sekadar retorika Sadat. Terbukti, ketika Hudaiby dan penerusnya, Umar Tilmisani, mencoba mengurus pendirian partai baru kepada Sadat, sang presiden menolaknya. Tak lama berselang, Hasan al-Hudaiby meninggal dunia. Ia digantikan oleh Umar Tilmisani, seorang tokoh Ikhwan yang juga pernah hidup bersama Hasan al-Banna. Tilmisani langsung diserahi tugas oleh jama’ah: membangun kembali Ikhwan yang porak-poranda akibat tekanan politik zaman Nasser.
Karena tak boleh berpolitik, tentu saja Ikhwan tak bisa lagi seperti dulu. Tapi Tilmisani punya strategi lain. Sebelum meninggal, Hudaybi mewariskan satu buah buku hasil kontemplasinya selama di penjara: Du’at Laa Qudhat. Buku itu sederhana dan dalam beberapa segi—seperti ditulis Barbara Zollner yang meneliti pemikirannya—mengritik pemikiran Sayyid Qutb yang ‘keras.’ Tapi, buku tersebut menjanjikan sesuatu ‘yang lain,’ yang terbukti berguna bagi Ikhwan di kemudian hari.
Al-Hudaybi berpendapat begini: mendirikan ‘Negara Islam’ memang kewajiban bagi setiap muslim, tapi tidak bisa dilakukan dengan spontan atau ‘asal bikin.’ Perlu persiapan yang matang untuk meletakkan setiap batu fondasinya. Karena perlu persiapan yang matang, kewajibannya pun menjadi ‘kolektif’ alias bersama-sama. Dan itu artinya, mendirikan ‘Negara Islam’ bersifat fardu kifayah alias kewajiban umat bersama-sama.
Dari situlah muncul sebuah istilah terkenal: ‘tegakkan negara (daulah) Islam dalam hatimu, maka ia akan tegak di negerimu.’
Tilmisani kemudian menerjemahkannya secara cerdas: Ia tidak mengambil perlawanan bersenjata atau pemberontakan sebagaimana dipahami oleh murid-murid Qutb yang lain, melainkan mengambil langkah strategis dengan menyebarkan Ikhwan ke semua bidang kehidupan. Tilmisani tidak menyerah menghadapi tekanan Sadat yang dulu, konon kabarnya, adalah mantan anggota Nizham Khas (tim elit militer Ikhwan). Tapi, Tilmisani mengambil langkah cerdas: ia menanamkan ‘Ikhwan’ di ikatan-ikatan profesional. Tilmisani sadar ia tidak bisa mengambil alih negara. Tapi ia masih bisa ‘mengambil alih’ sumber daya yang pada waktunya nanti akan mengambil alih negara karena kemampuan profesional dan keilmuan mereka.
Tapi strategi itu tentu perlu sumber daya: bagaimana cara Ikhwan menanamkan saham mereka di ikatan-ikatan profesional itu? Jawabnya sederhana: rekrut para intelektual muda dari kampus, didik mereka di Ikhwan, dan karyakan mereka! Melalui stratteg ini, Tilmisani merekrut banyak aktivis mahasiswa pada waktu itu: di antara yang terkenal dan terkemuka pada waktu itu adalah dua orang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Kairo: Abdul Mun’im Abul Futuh dan ‘Issam al-Erian.
Abul Futuh sebelumnya sudah dikenal luas oleh publik sebagai aktivis mahasiswa terkemuka. Ia pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Kairo. Ketika menjadi Ketua Dewan Mahasiswa, ia pernah mengajak Presiden Anwar Sadat berdebat dalam sebuah forum terbuka. Abul Futuh kemudian terlibat banyak dengan Jama’ah Islamiyah, organisasi pergerakan mahasiswa ekstra-kampus yang terkenal sebagai basis Islamis di kalangan mahasiswa Mesir.
Teman Abul Futuh yang lain adalah Essam Al-Erian. Ketika di kampus, ia juga terkenal sebagai Ketua Kerohanian Fakultas Kedokteran di Universitas Kairo. Dua latar itulah, berpadu dengan posisi mereka sebagai mahasiswa Kedokteran, yang mengantarkannya masuk ke Ikhwan.
Beberapa nama lain yang masuk ke Ikhwan dari basis aktivis, dan kemudian dikaryakan secara profesional, bisa disebut: Muhammad Habib, Ibrahim Al-Za’afarani, Haytham Abu Khalil, Mohammed Abdul Quddus, Mohammad Habib, dan Hilmi Gazzar.
Hampir semua nama tersebut kini sudah terpencar di partai lain, ‘terdepak’ dari struktur organisasi (tanzim) Ikhwan.
Kader profesional
Mencetak kader-kader profesional bukan perkara mudah. Beruntungnya Umar Tilmisani karena ‘dibantu’ oleh seorang pendakwah kenamaan: Abbas as-Siisii. Beliaulah yang merekrut dan membawa anak-anak muda progresif itu masuk ke tubuh Ikhwan. Pengalaman beliau itulah yang kemudian melahirkan sebuah buku terkenal: ‘Bagaimana Menyentuh Hati.’ Trik yang tidak mudah dipahami, bahkan oleh tokoh-tokoh Ikhwan di Mesir saat ini.
Tapi poinnya bukan di sana: Apa yang dilakukan oleh anak-anak muda progresif tersebut? Atas dukungan Ikhwan, mereka membangun inisiasi-inisiasi profesional untuk membangkitkan suara akar rumput, menanamkan ‘Ikhwan’ di masyarakat. Intelektual-intelektual tersebut bekerja secara ‘independen;’ mereka menantang teknokrat-teknokrat pemerintah yang berada di bawah naungan IMF-Bank Dunia, membangun sebuah gerakan sipil berbasis keilmuan. Hazem Kandil menyebutnya sebagai ‘gerakan counter-hegemony,’ sementara Asif Bayat menggunakan istilah ‘gerakan tanpa revolusi’ untuk menggambarkan Ikhwan masa itu.
Dari tangan dingin merekalah, Ikhwan kemudian bertransformasi menjadi sebuah kekuatan sipil yang diperhitungkan. Selain mendapatkan keuntungan dari kebijakan ‘pintu terbuka’ (infitah) yang dijalankan Sadat di awal tahun 1970-an, Ikhwan juga mendapatkan keuntungan dari usaha-usaha kelompok profesional ini yang membangun Ikhwan dari bawah. Dengan demikian, Ikhwan mampu kokoh sebagai kekuatan masyarakat yang secara sabar membangun masyarakat.
Berkat usaha-usaha ikatan profesional ini, serta usaha tak kenal lelah membangun jaringan lintas gerakan, muncul sebuah aliansi pertama yang menyerukan penggulingan Mubarak: Aliansi Kifaya (dalam bahasa Arab, Kifaya berarti ‘cukup’). Aliansi ini menyerukan bahwa kekuasaan Mubarak sudah ‘cukup’ dan perlu pergantian). Melalui intelektual dan aktivis progresifnya, Ikhwan berada di dalam barisan ini. Beberapa tahun kemudian, anak-anak muda Ikhwan yang tergabung dalam Gerakan 6 April juga mengambil langkah serupa.
Beda Morsi dan Erdogan
Pada akhirnya, Mubarak jatuh pada Februari tahun 2011.
Namun, para ‘intelektual’ yang berada di ikatan profesional tersebut lambat laun mulai menghadapi konflik yang tak perlu: perseteruan dengan ‘orang-orang saleh’ di tanzim. Konflik pertama kali mengemuka di tahun 1996, antara Abul ‘Ala Madi, tokoh Ikatan Insinyur yang terkenal, dengan petinggi Ikhwan Ma’mun al-Hudaybi (waktu itu masih belum menjadi Mursyid ‘Am). Hasilnya, lahirlah Partai Wasat. Tahun 2011, konflik serupa juga terjadi antara Abul Futuh dan Maktab Irsyad. Juga antara anak-anak muda 6 April dengan Khairat al-Shater.
Konflik ini berbuah pahit: mereka yang menentang Jama’ah, dipersilakan meninggalkan Ikhwan.
Lantas, dengan berbondong-bondong, larilah para intelektual dan anak-anak muda ini dari Ikhwan dan berdiaspora ke berbagai kelompok sosial. Ada yang membuat organisasi baru, ada yang meneruskan aktivitas mereka, ada pula yang setia di ikatan profesional.
Tidak adanya orang-orang progresif ini baru dirasakan Ikhwan ketika mereka dipercaya memimpin Mesir via Mohammad Morsi. Tanpa para intelektual yang lama bergiat di ikatan profesional, Morsi kehilangan ‘amunisi’ untuk menjalankan program besarnya, Nahda (‘Proyek Kebangkitan’), yang dirancang untuk mentransformasikan Mesir. Akibatnya, Morsi harus mempercayakan pos-pos menteri kepada para teknokrat yang tidak semuanya berlatar Ikhwan. Hisham Qandil dan jajaran kabinetnya tak semua memerankan ‘fungsi’ intelektual. Akibatnya, kebijakan mereka sangat teknokratis, dan dalam beberapa segi, mengulang pola-pola lama zaman Mubarak.
Di sinilah kita bisa menjelaskan mengapa banyak orang yang ‘sentimen’ terhadapMorsi. Tidak ada yang menyangkal integritas dan kepribadian Morsi. Tapi, kebijakan-kebijakan Morsi, seperti dikritik oleh beberapa orang, tak ubahnya seperti zaman dulu: teknokratis, linear, dan bahkan masih berutang dengan IMF.
Kita mesti menelaah kembali: mengapa ini terjadi di Mesir? Dan kembali ke Gramsci, jawabannya sederhana: Karena Morsi kekurangan figur yang mampu memerankan fungsi intelektual secara organik dan inovatif.
Kondisi demikian berbeda dengan Erdogan, yang justru menarik para intelektual progresif Islamis masuk sebagai think tank yang membidani kebijakan-kebijakannya. Erdogan bahkan membuatkan SETA, lembaga think tank yang menjadi rumah para intelektual untuk berdiskusi tentang kebijakan pemerintah dan memberikan masukan-masukan konstruktif. Lembagai itu tak hanya bicara soal politik, melainkan juga filsafat, kebudayaan, dan tradisi intelektual Turki yang klasik.
Setidaknya, Erdogan tahu cara menghargai para intelektual di negerinya. Dari sini kita patut memahami betapa ‘peran intelektual’ itu penting bagi pembangunan sebuah bangsa.
Dengan demikian, mestinya gerakan-gerakan progresif dan Islam yang ada di Indonesia belajar banyak: tak perlu mendepak para intelektual progresif hanya karena ‘bandel’ atau ‘tidak taat pimpinan.’ Karena, mendidik seseorang untuk menjadi ‘intelektual’ bukan perkara yang gampang. Perlu diskusi-diskusi yang panjang, bacaan yang banyak, dan sikap mental yang baik untuk menumbuhkan karakter intelektual dari seorang aktivis penggerak.
Sebab, seperti kata Gramsci, ‘Semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua anggota masyarakat punya peran sebagai intelektual’.***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Alumnus Fisipol UGM