Pendahuluan
Dalam produksi sejarah resmi (official history), Dipa Nusantara Aidit atau D. N. Aidit (1923—1965) lebih dikenal dan dikenang sebagai seorang “penjahat” dan “pengkhianat bangsa” yang mendalangi peristiwa di malam jahanam Gerakan 30 September (G30S). Melalui film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C. Noer (1984), sosok Aidit benar-benar buram, “lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok” (Zulkifli, 2010: 2). Bayangan orang tentang D.N. Aidit banyak dipengaruhi oleh film yang sangat populer di Indonesia tahun 1984—1998 itu. Dalam film ini, digambarkan sosok Aidit sebagai orang yang paling jahat, penuh daya tipu muslihat, yang terus-menerus merokok, dan merupakan orang yang memerintahkan pembunuhan terhadap tujuh jenderal pada operasi G30S.
Model penggambaran gelap terhadap tokoh-tokoh kiri Indonesia telah menggelapkan pula banyak bagian sejarah bangsa ini, seperti peran Tan Malaka dan banyak pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Hampir semua tokoh kiri dinafikan peran dan kontribusi positif mereka terhadap bangsa dan negara ini. Tidak mengherankan bahwa peranan Aidit sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan pun dilupakan bangsa ini.[ii]
Banyak orang tidak mengetahui bahwa ternyata D. N. Aidit juga merupakan seorang penyair dan budayawan. Aidit adalah ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC-PKI) yang perlu mendapat tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Selain karena kedudukannya yang sangat istimewa itu, ia pun dikenal cukup konsisten dalam berpuisi. Aidit menulis banyak gagasan sosial budaya yang dipublikasikan dalam media massa dan diterbitkan dalam bentuk buku-buku.[iii] Tokoh ini dipandang paling berhasil dalam mengangkat partai itu dari keterpurukan akibat Peristiwa Madiun 1948[iv] bersama kedua sahabatnya: Muhamad Hakim Lukman dan Nyoto. Ketiganya dikenal sebagai trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II. [v] Ketiganya bahkan dijuluki sebagai The Three Musketters[vi] (Zulkifli, 2010: 43—9). Dari ketiga sahabat tersebut, hanya Lukman yang tidak menulis puisi. Nyoto yang menjabat sebagai Ketua Umum Lekra dan Ketua Redaksi Harian Rakjat juga merupakan seorang penyair yang sangat produktif.
Tulisan ini membahas D. N. Aidit sebagai penyair dalam hubungannya dengan geliat dan formasi diskursif zamannya. Kajian terhadap puisi-puisi Aidit kiranya dapat mengungkap sisi lain dari wajah tokoh PKI itu, yang selama Orde Baru dikesankan sebagai seorang penjahat yang memerintahkan pembunuhan tujuh jenderal dalam peristiwa G30S 1965.
D. N. Aidit dan Struktur Formal Puisi-Puisinya
Dipa Nusantara Aidit terlahir dengan nama Achmad Aidit di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923. Aidit yang pada masa kecilnya mengenyam pendidikan Belanda itu kemudian mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit dan hijrah ke Jakarta. Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah pendiri organisasi keagamaan Nurul Islam yang berorientasi ke Muhammadiyah. Aidit yang menjabat sebagai Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC-PKI) berhasil membuat PKI bangkit dari keterpurukan akibat Peristiwa Madiun 1948, bahkan berjaya menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah RRC dan Rusia. Aidit meninggal dunia di Boyolali, Jawa Tengah tanggal 22 November 1965 pada usia 42 tahun.
Di harian Suara Rakjat, Aidit memublikasikan sebanyak sembilan puisi, yaitu “Hanya Inilah Jalannya” (Harian Rakjat, 12 Februari 1955), “Untukmu Pahlawan Tani”, “Sepeda Butut”, “Kidung Dobrak Salahurus”, “Yang Mati Hidup Kembali”, “Sekarang Ia Sudah Dewasa”, menjambut ulang tahun ke-35 PKI (Harian Rakjat, 22 Mei 1955), “Jauhilah Imperialis AS”, “Ziarah ke Makam Usani” (Harian Rakjat, 25 Juli 1965), “Tugas Partai” (Harian Rakjat, 4 Juli 1965).
Secara formal, puisi-puisi D.N. Aidit memiliki sebuah ‘pola estetika’ yang dibangunnya dan diikutinya secara cukup konsisten. Ia selalu mengawali puisinya dengan terlebih dahulu menyinggung dan menghadirkan alam. Meminjam filsuf Maritain (Taum, 1997), ada semacam “Intercommunication between the inner being of things and the inner being of the human Self”. Jadi, ada semacam interaksi antara manusia dan hakikat alam raya. Puisi kemudian menjadi proyeksi pengalaman dan perasaan subjektif ke dalam alam raya, dan sebaliknya alam raya bercerita tentang perasaan manusia.
Dalam puisi “Hanya Inilah Jalannya”, Aidit mengawali dengan mengisahkan tentang lumpur, ”sepatu setengah usang membenam dalam lumpur/menuju teratak,/air menetes dari atap/kekayaanku yang paling berharga”. Dalam keadaan berlumpur itulah, Aidit menghadirkan pemikiran dan ideologi komunis sebagai hasil “pengalaman jerman, inggeris, perancis, rusia dan tiongkok/dan banyak lagi/hasil pemikiran putera-putera dunia yang terbaik.”
Dalam “Ziarah ke Makam Usani”, seluruh bait pertama benar-benar hanya bercerita tentang kemuraman alam yang berduka atas kematian Usani. “Langit seperti muram/Mentari tertutup mendung, keabu-abuan/Angin meniup sepoi/Pohon bambu, rindang menghijau/Burung-burung berterbangan, diam/Terasa senyap suasana alam.”
Dalam puisi “Jauhilah Imperialis AS”, Aidit pun menghadirkan keindahan alam yang cerah di suatu pagi, tempat para aktivis melaksanakan protes terhadap imperialis Amerika:
alangkah indahnya pemandangan pagi ini
mentari cerah mengiringi
barisan pejuang mengalun datang
sarjana, seniman, pemuda, wanita
buruh dan tani sokoguru revolusi
dan pelajar anakkandung revolusi
spanduk dan panji, warna-warni
melambai menghias angkasa lebar
teman tentang menentang
tinjupun diacungkan
Puisi “Tugas Partai” tidak menggemakan suara alam tetapi langsung menggemakan perasaan aku lirik: “hatiku riang gembira/menerima tugas partai/membawa berita bahagia/ulang tahun empat-lima PKI”. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani”, keceriaan hati dan alam dihadirkan Aidit sebagai berikut: “di kala senja/mencari cerah/petani menggarap sawah/mencari seuli padi/sisa pembagi/dari tuan-tanah keji”. Dalam puisi “Kidung Dobrak Salahurus”, gambaran alam pun dihadirkan: “Kau datang dari jauh adik/dari daerah banjir dan lapar/membawa hati lebih keras dari bencana/selamat datang dalam barisan kita.”
Dari uraian ini, tampak bahwa puisi-puisi Aidit secara sengaja dibangun sebagai gema suara alam. Hal ini membuat puisi-puisinya menjadi karya yang indah dan dapat dinikmati, sekalipun tak dapat dihindari bahwa puisi-puisi tersebut mengandung muatan ideologis dan politik yang sangat kental.
Dari segi tema, puisi-puisi D. N. Aidit mengungkap tiga tema pokok, yaitu semangat anti-imperialis, nyanyian dan pujian untuk pahlawan, serta gagasan mengenai tugas dan kewajiban partai.
Puisi-puisi Anti–imperialis
Sikap anti-imperealis ditunjukkan dengan sangat gamblang dalam puisi “Jauhilah Imperialis AS” dan “Yang Mati Hidup Kembali”. Dalam “Jauhilah Imperialis AS”, Aidit bermaksud mengobarkan kebencian terhadap AS yang telah melakukan agresi ke Vietnam agar “hentikan agresi AS di Vietnam.”
Jauhilah Imperialis AS
alangkah indahnya pemandangan pagi ini
mentari cerah mengiringi
barisan pejuang mengalun datang
sarjana, seniman, pemuda, wanita
buruh dan tani sokoguru revolusi
dan pelajar anakkandung revolusi
spanduk dan panji, warna-warni
melambai menghias angkasa lebar
teman tentang menentang
tinju pun diacungkan
… marahan Green
hentikan agresi AS di Vietnam
sita modal anak sekolah
sorak-sorai membadai
barisan bergerak maju
menembaki tank …
tari dan nyanyi memecah sunyi
seruling ditiup nyaring
dendang bertalu, mengiringi,
laki-laki berjingkrak, laksana burung jalang
membunuh … Malang
… benci imperialis AS
berkobar tinggi
cinta merdeka meresap setiap dada
manusia juang, pembela masa datang
… pasti muara
… pasti datang
Jakarta, 20-07-65
Vietnam merupakan salah satu negara yang pada tahun 1950-an berada di bawah kekuasaan komunis. Perang AS di Vietnam berkaitan erat dengan persoalan perang dingin yang telah membagi dunia atas dua kubu, yaitu kubu AS dan Inggris yang kapitalis dan imperialis sera kubu Rusia dan Cina yang komunis. Aidit sebagai seorang ketua Partai Komunis, melihat AS sebagai sebuah ancaman dalam upayanya membangun sistem komunis di Indonesia.
Kepentingan melawan imperialisme global merupakan sebuah semangat zaman yang memiliki kaitan dan relevansi dengan kepentingan nasional. Semangat anti-imperialisme dan kolonialisme (yang berarti anti-Barat dan AS), selain kabir (kapitalis-birokrat), tujuh setan desa, dan lima setan kota. Puisi ”Yang Mati Hidup Kembali” karya D.N. Aidit mengungkapkan semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme. Puisi itu bertutur tentang pembunuhan Perdana Menteri Kongo, Patrice Emery Lumumba (2 Juli 1925—17 Januari 1961) yang diduga didalangi oleh kolonialis Belgia dan agen-agen Central Intteligence Agency (CIA) AS. Pembunuhan Lumumba menjadi pelajaran berharga bagi para pejuang revolusioner dalam mengusir kaum kolonialis dan imperialis.
Yang Mati Hidup Kembali
Lama nian aku tak menangis.
tidak karena mata sudah mengering
atau hati membeku dingin,
tapi kali ini dengan tak sadar
hati kepala penuh tak tertahan
butir-butir air mata membasahi koran pagi
orang hitam berhati putih itu
dibunuh si putih berhati hitam!
Tapi bukankah pembunuh terbunuh?
Lumumba sendiri hidup selama-lamanya
Lumumba mati hidup abadi!
Kini dunia tidak untuk si putih yang hitam
tapi untuk semua
putih, kuning, sawomatang, hitam…
Kini udara penuh Lumumba
karena Lumumba berarti merdeka.
14-2-1961
Semangat untuk merdeka dan melawan setiap intervensi dan penindasan kaum imperialis merupakan semangat perjuangan Aidit sejak dia masih sangat muda dan belum menjadi pemimpin PKI. Ketika menyaksikan kematian Lumumba akibat ulah kolonialis Belgia dan CIA Amerika, Aidit meradang. Sekalipun demikian, puisi di atas benar-benar terlihat bening dan menyentuh dengan penggunaan gaya bahasa seperti ironi dan antonimi.
Pujian untuk Pahlawan Petani
Tema pemujaan untuk pahlawan, diperlihatkan Aidit dalam dua puisi, yaitu “Ziarah ke Makam Usani” (Harian Rakjat, 25 Juli 1965) dan “Untukmu Pahlawan Tani”. Pahlawan dalam konsep Aidit bukanlah para prajurit yang gugur di medan pertempuran. Pahlawan, seperti dalam konsep perjuangan PKI, tak lain adalah para petani dan rakyat kecil yang terpinggirkan.
Puisi “Untukmu Pahlawan Tani” merupakan puisi yang ditulis untuk mengenang pembantaian petani di Boyolali. Peristiwa di Boyolali dikenal sebagai sebuah peristiwa perjuangan rakyat melawan tuan tanah. Pihak tuan tanah dengan dibantu tentara mengepung dan membunuh para petani dari organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) yang menuntut pembagian hasil yang lebih adil. Mereka pun gugur dan di mata Aidit, mereka adalah pahlawan: “kutundukkan kepala/untukmu pahlawan/pahlawan tani boyolali.”
Untukmu Pahlawan Tani
dikala senja
mencari cerah
petani menggarap sawah
mencari seuli padi
sisa pembagi
dari tuan-tanah keji
bagi hasil sungguh adil
tuan-tanah kerdil
merampok seluruh hasil
rongga dada meronta
bangun tegakkan kepala
kiprah menggarap sawah
butir-butir padi di teliti
panen raja mengetam padi
hasil dibagi adil!
muka muram durja
tuan-tanah murka
mengepung dengan senjata
peluru menembus disawah
darah tertumpah merah
kutundukkan kepala
untukmu pahlawan
pahlawan tani boyolali
Jakarta, Desember 1964
Dalam “Ziarah ke Makam Usani”, penyair memuji Usani, seorang wanita pejuang komunis yang mati dalam perjuangannya membela kepentingan kaum buruh dan tani. Kematian Usani memberi inspirasi bagi sahabat-sahabatnya yang masih hidup untuk berjuang melawan ‘lima jahat’, yaitu Malaysia, kabir, tujuh setan desa, imperialis AS, dan kaum Revisionis. Puisi ini tampaknya mewakili pandangan D. N. Aidit tentang puisi, baik dari aspek formal maupun tematis. Puisi itu dikemukakan secara lengkap berikut ini.
Ziarah ke Makam Usani
Langit seperti muram
Mentari tertutup mendung, keabu-abuan
Angin meniup sepoi
Pohon bambu, rindang menghijau
Burung-burung berterbangan, diam
Terasa senyap suasana alam
Kawan demi kawan datang
Menziarahi makam
Usani, wanita pejuang komunis
Pembela setia buruh dan tani;
Ia mati dalam mengabdi
Proletariat kesayangan sejati
Tanah merah pekuburan dicacaki
Nisan bambu tegak-tegak
Laksana tekad hati usani
Mengibarkan tinggi-tinggi, panji PKI
Semua kawan tunduk berdiri
Duka cita menyayat hati
Airmata mengalir, butir demi butir;
Dan semua berjanji
Akan nyalakan api-juang usani
Mengganyang si-lima jahat
“Malaysia”, kabir, 7 setan desa, imperialis AS dan
Revisionis
Usani pergi, api-juangnya nyala abadi
PKI mekar harum mewangi
Jakarta, 18 Juli 1965
Harian Rakjat, 25 Juli 1965
Tugas Partai Komunis
Tema yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban partai terungkap dalam puisi “Tugas Partai” (Harian Rakjat, 4 Juli 1965), “Sepeda Butut”, “Sekarang Ia Sudah Dewasa” (Harian Rakjat, 22 Mei 1955), “Kidung Salahurus”, dan “Hanya Inilah Jalannya” (Harian Rakjat, 12 Februari 1955).
Puisi “Tugas Partai” ditulis untuk memperingati ulang tahun ke-45 PKI. Dalam puisi ini, Aidit mengungkapkan komitmennya menerima tugas dari partai: “ku-emban erat/ku-pegang ketat/ku’kan sampaikan sepenuh jiwa/kepada rakyat pekerja, di desa dan kota”. Dalam puisi ini, terlihat dua komitmen Aidit: dua panji berdampingan/merah putih dan PKI, melambai menghias angkasa/” tetapi juga komitmen bahwa “Marxisme-Leninisme api abadi.” Dalam puisi ini, terlihat keinginan penyair untuk menanamkan kecintaan masyarakat pada PKI dan ideologinya.
Tugas Partai
hatiku riang gembira
menerima tugas partai
membawa berita bahagia
ulang tahun empat-lima PKI
ku-emban erat
ku-pegang ketat
ku’kan sampaikan sepenuh jiwa
kepada rakyat pekerja, didesa dan kota
tugas dirimu partai
segala cuaca melanda
terik matahari, gelap gulita malam, dan…
embun pagi membasah tubuh
aku datangi desa demi desa,
gubuk demi gubuk,
kawan demi kawan,
rombongan demi rombongan
ku-sampaikan undangan partai
ku-ceritakan berita acara
semua kawan senyum tawa
tekad bulat penuh semangat
jarak jauh ‘kan ditempuh
semua jalan menuju senayan
setan-setan penghalang ‘kan diganyang
untuk partai dan revolusi
pria dan wanita, berbaris tegap menatap
dua panji berdampingan
merah putih dan PKI, melambai menghias angkasa
derap langkah bersuka ria
maju, maju, maju terus, menuju rapat perkasa PKI
PKI anak zaman melahirkan zaman
Marxisme-Leninisme api abadi
Jakarta, Mei 1965
Harian Rakjat, 4 Juli 1965
Puisi “Sepeda Butut” merekam perjalanan dan perjuangan Aidit yang setiap hari selalu ditemani sepeda bututnya “Sepeda bututku/tiap hari membantu/mengabdi cita mulia/kebebasan rakyat pekerja”. Sekalipun hanya dengan sepeda bututnya yang setia, Aidit yakin bahwa upayanya akan berhasil: “kuyakin sepenuh hati/Rakyat pekerja bebas pasti/PKI pemimpin sejati/sepeda bututku turut berbakti.”
Sepeda Butut
Sepeda bututku
tiap hari membantu
mengabdi cita mulia
kebebasan rakyat pekerja
semua derita ku-terima
dengan senyum gembira
hidup sekali mengabdi
bukan menanti mati
panji merah menjiwai
ku-yakin sepenuh hati
Rakyat pekerja bebas pasti
PKI pemimpin sejati
sepeda bututku turut berbakti
Jakarta, Oktober 1964
Sama seperti dalam puisi “Tugas Partai”, puisi “Kidung Dobrak Salahurus” juga bertujuan menanamkan kecintaan masyarakat terhadap PKI.
Kidung Dobrak Salah Urus
Kau datang dari jauh adik
dari daerah banjir dan lapar
membawa hati lebih keras dari bencana
selamat datang dalam barisan kita.
Di kala kidung itu kau tembangkan
bertambah indah tanah Priangan
sesubur seindah Priangan manis
itulah kini Partai Komunis.
Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
biar tukang-tukang salahurus mengerti
benci Rakyat dibawa mati
cinta Rakyat pada PKI
Rakyat yang menderita akibat banjir dan bencana kelaparan memercayakan nasibnya pada Partai Komunis Indonesia karena birokrasi pemerintahan yang berjalan hanyalah “tukang-tukang salah-urus” yang “benci Rakyat dibawa mati.” Sebaliknya, PKI digambarkan “sesubur seindah Priangan manis.”
Puisi “Hanya Inilah Jalannya” merupakan sebuah ekspresi keyakinan penyair akan kebenaran jalan perjuangan politik yang dipilihnya melalui PKI. PKI merupakan “hasil pemikiran putera-putera dunia yang terbaik,” sehingga “aku akan sumpah setia pada ajarannya.” Penyair begitu yakin, “kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini/di mana tak ada sepatu usang/di mana tak ada lumpur membenam/di mana tak ada teratak bocor/tapi hanya inilah jalannya.” Kesejahteraan yang akan dicapai di masa depan hanya bisa dicapai melalui jalan partai yang dianutnya, yaitu PKI. Keyakinan seorang pemimpin yang seperti inilah yang telah membawanya menjadi seorang pemimpin yang berhasil membawa partainya menjadi salah satu partai terbesar pada zamannya.
Hanya Inilah Jalannya
sepatu setengah usang membenam dalam lumpur
menuju teratak,
air menetes dari atap
membasahi kekayaanku yang paling berharga,
pengalaman jerman, inggeris, perancis, rusia dan tiongkok
dan banyak lagi
hasil pemikiran putera-putera dunia yang terbaik.
*
temanku nyenyak kembali sesudah membuka pintu,
kesunyian diluar membantuku
makin dulu makin jauh tenggelam,
ingat aku akan sumpah tetap setia pada ajarannya
kokok ayam jantan tak mengagetkan,
siang dan malam sama saja,
jalan yang ditunjukkannya selamanya terang.
*
kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini
di mana tak ada sepatu usang,
di mana tak ada lumpur membenam,
di mana tak ada teratak bocor,
tapi hanya inilah jalannya.
Malam, 27 Januari 1955
Harian Rakjat, 12 Februari 1955
Antaeus dan Ramalan Kejatuhan PKI
Puisi “Sekarang Ia Sudah Dewasa” ditulis untuk menjambut ulang tahun ke-35 PKI. Dalam puisi ini, penyair mengisahkan bahwa PKI lahir “dengan kesaktian klas termaju” yang “tahan taufan/dan tak tidur karena sepoi/”. Setelah 35 tahun, PKI “menyusup di hati Rakyat/lebih dalam dari laut Banda/”. Yang menarik dari puisi ini adalah Aidit mengibaratkan PKI sebagai “Antaeus, anak Poseidon, yang setia pada bumi”.
Sekarang Ia Sudah Dewasa
menjambut ulang tahun ke-35 PKI
35 tahun yang lalu
Ia lahir
dengan kesaktian
klas termaju,
sebagai anak zaman
yang akan melahirkan zaman.
Ia tahan taufan
dan tak tidur karena sepoi.
Ia menyusup dihati Rakyat
lebih dalam dari laut Banda.
Ia menghias hidup
lebih indah dari sunting cempaka.
Ia dihidupkan oleh hidup,
tahun teror dan provokasi
Dulu, sekarang dan nanti.
Ia Antaeus, anak Poseidon
yang setia pada bumi.
Ia anak zaman yang akan melahirkan zaman
Sekarang ia sudah dewasa.
Jakarta, 21 Mei 1955
Harian Rakjat, 22 Mei 1955
Dalam mitologi Yunani, ada seorang tokoh legendaris bernama Antaeus, seorang raksasa kesatria yang tak terkalahkan. Jika kalah dalam berperang, ia justru bertambah kuat. Ayahnya Poseidon adalah Dewa Laut, ibunya, Gaea adalah Dewi Bumi. Antaeus memiliki satu kelebihan yang tak dimiliki oleh para kesatria Yunani lain. Selama ia setia dan tetap menginjak bumi, maka bumi akan memberinya kekuatan. Suatu ketika Antaeus bertemu dengan musuh yang kekuatannya sepadan yang bernama Heracles atau yang lebih dikenal sebagai Hercules. Ia putra Zeus, Dewa Langit dan Petir, sedangkan ibunya adalah Alcmene. Karakter Hercules digambarkan sebagai seorang pahlawan dengan kekuatan yang besar dan juga tak terkalahkan. Hercules mengetahui kekuatan sekaligus kelemahan lawannya. Kekuatannya Antaeus datang dari tanah dan bumi. Kelemahannya ketika terpisah dari tanah dan bumi. Maka ketika dua jagoan dalam mitologi Yunani ini bertemu, terjadilah pertarungan terakhir bagi Antaeus. Jurus terakhir yang digunakan oleh Hercules adalah mengangkat Antaeus di atas dua pundaknya dan tak diturunkan lagi. Perlahan tetapi pasti, Antaeus kehilangan kekuatannya. Perlahan tetapi pasti, Antaeus menjadi tak berdaya, ia hanyalah seonggok raksasa besar yang tak mampu berbuat apa-apa. Sebabnya, Antaeus terpisah dari tanah yang selama ini memberinya kekuatan. Ketika terjadi pertarungan gulat yang sangat hebat antara Antaeus dan Hercules, dengan strategi itu, pertarungan diakhiri dengan kekalahan Antaeus.
D. N. Aidit mengagumi tokoh Antaeus, terutama karena kesetiaan tokoh ini pada bumi yang dipijaknya. Aidit menginginkan PKI benar-benar membumi sehingga dicintai oleh semua kalangan. Pilihan Aidit pada Antaeus di tahun 1955 sepertinya meramalkan pula kejatuhan PKI dari kesatria lainnya, Hercules. Di tahun 1965, Hercules (tentara Angkatan Darat yang dipimpin oleh Soeharto), dengan siasatnya yang jitu mengalahkan dan mengenyahkan Anteus (PKI). PKI dipropagandakan sebagai pengkhianat, pelaku penculikan tujuh jendral dan membantainya dengan kejam dan pengecut di Lubang Buaya. PKI pun lenyap dari muka bumi Indonesia. Anak cucu dan keluarga orang-orang PKI yang tidak bersalah pun harus menerima hukuman: menerima tanda selar (stigma) “Organisasi Terlarang” (OT).
Anteus, sebagaimana juga partai PKI yang dipimpin Aidit, akhirnya mengalami nasib yang sama: jatuh dan tamatlah riwayatnya secara sangat tragis dari bumi Indonesia. Hal itu, tanpa disadari, telah diramalkan sendiri oleh Aidit melalui puisinya “Sekarang Ia Sudah Dewasa” yang ditulis Aidit untuk menjambut ulang tahun ke-35 PKI.
Kesimpulan
Karya-karya sastra, khususnya puisi, dalam kurun waktu sepuluh tahun menjelang terjadinya Tragedi 1965, yaitu 1955—1965, menunjukkan salah satu ciri yang jelas, yaitu keterlibatan sosial serta identifikasi dengan kaum yang miskin dan menderita. Kemiskinan dan penderitaan memang begitu menyolok mata. Tanggapan terhadap kemiskinan dan penderitaan itu dilakukan, baik oleh penyair-penyair Lekra maupun yang bukan Lekra.[vii] Karya-karya sastrawan Lekra lebih dominan dalam periode ini.
Sesuai dengan keyakinan seniman-seniman Lekra seperti yang tertuang dalam Mukadimah Lekra (1950), seni bagi kelompok ini merupakan sarana perjuangan ideologi.[viii] Seniman—tak berbeda dari politisi, ilmuwan, pekerja—terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan rakyat dari penindasan kelas yang berkuasa.
Dalam konteks bersastra seperti inilah penilaian kaum liberal (Barat) yang menuntut adanya ‘nilai estetika’ menemukan jalan buntu. Dengan kacamata estetika liberal, seperti dilakukan Teeuw (1989: 30—6), maka puisi-puisi Aidit adalah cerita-cerita atau sajak-sajak sederhana, yang ditulis dengan bahasa yang gampang dipahami, dan melukiskan gambaran yang mengibakan ‘korban’ apa saja yang sebagian besar klise. Misalnya, petani miskin, buruh tani, atau gadis tak berdosa yang dengan keji diperdayakan dan dikhianati oleh bos yang kapitalis, atau perempuan pekerja yang miskin dan buruh kasar yang tertindas dan dibayar rendah. Getaran tertinggi yang dapat dirasakan dari puisi-puisi Aidit adalah perasaan ‘simpati’, semangat berjuang, dan keyakinan utopis tentang masa depan yang lebih baik. Puisi-puisinya juga mengagungkan tindakan partai dan habis-habisan bermadah tentang kehebatan negara-negara komunis (bdk. Teeuw, 1989: 30—6). Dengan motivasi dan latar belakang yang seperti ini, Teeuw menilai bahwa “ideologi Marxisme kehilangan sisa kredibilitas atau kepercayaan yang masih ada sebagai suatu asas artistik (artistic creed)”.
Saya berpandangan, puisi-puisi Aidit dan sastrawan Lekra lainnya perlu dipandang sebagai karya yang menjadi saksi sejarah yang khusus, yang memiliki kaitan dengan masalah-masalah sosial, ataupun dipengaruhi oleh fenomena-fenomena sosial (bdk. Foulcher, 1986: 3—4). Dengan kata lain, karya-karya itu merupakan formasi diskursif dalam kaitannya dengan formasi-formasi diskursif zamannya dan membentuk episteme tersendiri. Dalam konteks inilah terbaca dengan jelas ideologi realisme sosialis yang menuntut karya-karya sastra menjadi alat (ideologi) yang berguna bagi manusia. Meminjam pandangan Horatius, karya-karya Aidit lebih menekankan kegunaan (utile) daripada keindahannya (dulce). Membaca karya-karya Aidit, kita mendengarkan dengan jelas geliat zamannya.
D. N. Aidit menciptakan puisi-puisinya sebagai seorang pemimpin partai besar (PKI) dengan konsep berpuisi yang jelas (politik sebagai panglima). Lingkungan sosial-budaya pada periode 1955—1965 diwarnai oleh pertentangan ideologi antara kelompok yang pro-Barat dan pro-Timur, yang diwarisi dari polemik kebudayaan pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan. Kegagalan diplomasi Indonesia melalui KMB membuat beberapa politisi dan seniman mendirikan Lekra. Periode 1950—1965 merupakan sebuah periode yang secara ekonomi dan politik terdapat kontradiksi yang intens dalam jantung kehidupan budaya Indonesia (Foulcher, 1986: 1—3). Dalam bidang kebudayaan, terjadi perdebatan tajam dan panjang antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950—1965) dengan kelompok Manifest Kebudayaan (Manikebu) (1963) yang mengusung paham ‘humanisme universal’. Dalam perkembangannya, lingkungan sosial-budaya sangat didominasi oleh kekuatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950—1965) dengan ideologi ‘politik sebagai panglima’ dan menganut paham ‘realisme sosialis’.
D. N. Aidit tidak hanya seorang tokoh kiri, melainkan lebih dari itu dia merupakan pimpinan tertinggi PKI, sebuah partai yang kemudian menjadi partai terlarang di Indonesia. Karena itu, hampir semua informasi, berita, ataupun kontribusi orang-orang kiri itu dianggap tidak berguna dan acapkali tidak dibicarakan secara terbuka, termasuk Aidit. PKI, yang sejak awal ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pun selalu dicurigai sebagai ‘pengkhianat bangsa’ yang hendak membangun sebuah negara tersendiri dengan asas dan tujuan yang berbeda.
D.N. Aidit memiliki dua wajah (Zulkifli, 2011), wajah politik yang garang dan wajah sastra yang humanis. Puisi-puisi Aidit, selain menjadi alat menyampaikan visi dan perjuangan politiknya, mengandung pula elemen-eleman estetis kemanusiaan yang dapat dinikmati oleh para pencinta sastra. Visi kerakyatan, antikolonialisme, imperialisme, feodalisme mewarnai karya-karya tokoh politik tersebut.
Wajah humanis D. N. Aidit terlihat jelas dalam beberapa puisinya yang menggugah pemikiran dan menyentuh perasaan. Aidit sangat tersiksa menyaksikan kematian Lumumba. Dalam “Kidung Dobrak Salah Urus”, Aidit menaruh perhatian yang sangat intens terhadap rakyat dari daerah bencana banjir dan lapar. Aidit tidak bisa menerima dan memahami mengapa rakyat dari sebuah daerah yang seindah dan sesubur Priangan dapat menderita banjir dan lapar. Karena itu, ia menyerukan “dobrak salah urus”. Logika di balik puisi itu adalah bahwa bencana yang dialami rakyat disebabkan karena pemerintahnya salah mengurus kepentingan rakyatnya. Sebagai ketua CC-PKI yang bergerak dalam bidang politik, kenyataan itu memberi alasan baginya untuk mengajar rakyat mencintai dan mendukung PKI.
Bacaannya yang luas terhadap mitologi Yunani membuat Aidit memahami betul tokoh-tokoh yang sangat dikenal dalam mitologi tersebut. Ia pun memilih Dewa Antheus, dewa yang kemudian dikalahkan Hercules. Aidit, dengan naluri humanistiknya, tanpa sadar telah meramalkan kejatuhan Antheus (PKI) oleh Hercules (TNI). Pasca-tragedi 1965, Dipa Nusantara Aidit bersama PKI-nya menghilang untuk selama-lamanya dari bumi Nusantara ini.***
Daftar Pustaka
Barker, Chris, Cultural Studies, Theory and Practice. London: Sage Publication, 2000.
Foucault, Michel, The Archeology of Knowledge. New York: Pantheon Books, 1972.
____________, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault.
Diterjemahkan dari Aesthetic, Method, and Epistemology: Esential Works of Foucault 1954—1984 karya Paul Robinow. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Foulcher, Keith, Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian “Institute of Peoples Culture” 1950 – 1965. Victoria: Monash University Press, 1986.
___________, “Menciptakan Sejarah: Kesusastraan Indonesia Kontemporer dan Peristiwa-peristiwa 1965” dalam Robert Cribb The Indonesian Killings: Pembantaian di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: MataBangsa bekerja sama dengan Syarikat Indonesia, 2004.
Hindley, Donald, “Review 41 The Communist Uprisings of 1926—1927 in Indonesia: Key Documents” dalam The Journal of Asian Studies (pre-1986); May 1962; 21, 3; ABI/INFORM Research, 1962.
Piliang, Yasraf Amir, “Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam Serangan Postmodernisme” dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif (ed. Alfathri Aldin). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2006.
Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c.1300, Second Edition. London: MacMillan, 1993.
Razif, “Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan”. Diunduh dari http://www.fortunecity.com/millennium/oldemill/498/selectedworks/B-Liar3.html tanggal 17 Agustus 2010, 2010.
Rosidi, Ajip, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1973.
Sulistyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966). Jakarta: Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2000.
Sumardjo, Jacob, Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.
Taum, Yoseph Yapi, “Pengarang Ambang dan Kedudukannya dalam Penelitian Sastra” dalam Horison Nomor 11 Tahun XXVIII, Edisi November. Jakarta: Yayasan Indonesia, 1993.
Taum, Yoseph Yapi, Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme, Semiotik, Resepsi, Dekonstruksi. Ende: Nusa Indah, 1997.
Teeuw, A., Sastra Baru Indonesia. Ende: Percetakan Arnoldus, 1978.
_______, Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
_______, “Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan” (dua karangan) dalam BASIS No. XXXVII-11 dan XXXVIII-12. Yogyakarta: Andi Offset, 1988a.
_______, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya – Giri Mukti Pasaka, 1988b.
Van der Kroef , Justus M. “Interpretations of the 1965 Indonesian Coup: A Review of the Literature” in Pacific Affairs, Vol. 43, No. 4, (Winter, 1970-1971), pp. 557-77. Pacific Affairs, University of British Columbia, 1977.
Wikipedia, Antaeus. Dikunjungi pada 20 Juli 2011 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Antaeus, 2013.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan, Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba, 2008.
Zulkifli, Arif, Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Kompas Gramedia (KPG) (Seri Buku Tempo Orang Kiri Indonesia), 2010.
**Keterangan: tulisan ini pernah dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Kebudayaan, Sintesis, Volume 7, No.1, Maret 2013, hlm. 1-13
[i] Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Volume 7 No. 1, Maret 2013. Jurnal itu milik Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Terima kasih kepada Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum yang mengizinkan penerbitannya di sini. Pengeditan dilakukan dalam koridor yang semata teknis, disesuaikan dengan format Lembar Kebudayaan IndoProgress (LKIP).
[ii] Tentang sisi sebagai pejuang nasional, persahabatan, pernikahan, keluarga, dan peranan Aidit dalam bidang politik, baca Arif Zulkifli, Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Kompas Gramedia (KPG) (Seri Buku Tempo Orang Kiri Indonesia), 2010.
[iii] Buku dan serial yang ditulis Aidit antara lain: Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia, dari Tahun 1905 sampai Tahun 1926 (1952); Perdjuangan dan Adjaran-adjaran Karl Marx (1952); Menempuh Djalan Rakjat: Pidato untuk Memperingati Ulangtahun PKI jang ke-32 – 23 Mei 1952 (1954); Tentang Tan Ling Djie-isme: Referat jang Disampaikan pada Kongres Nasional ke-V PKI (1954); Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia: (Pidato sebagai laporan Central Comite kepada Kongres Nasional ke-V PKI dalam bulan Maret 1954 (1955); Pertahankan Republik Proklamasi 1945!: Perdjuangan untuk Mempertahankan Kemerdekaan Nasional, Perdamaian dan Demokrasi Sesudah Pemilihan Prlemen (1955); Menudju Indonesia baru: Pidato untuk Memperingati Ulang-tahun PKI jang ke-33 (1955); Perjuangan dan Adjaran-adjaran Karl Marx (1955); Revolusi Oktober dan Rakjat2 Timur (1957); 37 tahun Partai Komunis Indonesia (1957); Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia: (Soal² Pokok Revolusi Indonesia) (1958); Sendjata Ditangan Rakjat (1958); dan Kalahkan Konsepsi Politik Amerika Serikat (1958). Daftar ini masih perlu dilengkapi lagi.
[iv] Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno, apa yang terjadi pada tahun 1948 itu disebut sebagai “Peristiwa Madiun 1948” tetapi oleh pemerintahan Orde Baru istilahnya diubah menjadi “Pemberontakan Madiun 1948.”
[v] Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihancurkan tetapi tidak dilarang tahun 1948, muncul kembali di tahun 1951 dengan kepemimpinan dari kalangan kaum muda: Aidit, Lukman, Nyonto, dan Soedisman. Sejak awal, Aidit menekankan bahwa Marxisme merupakan pedoman untuk bertindak, bukan dogma yang harus diikuti dengan kaku (Ricklefs, 2004: 478). Kepemimpinannya membawa suatu pragmatisme baru bagi PKI yang memungkinkan partai ini segera menjadi salah satu partai politik terbesar. Perkembangan pesat PKI itu, menurut Van der Kroef (1965: 357), juga disebabkan karena selama tahun 1961—1962 PKI sangat vokal mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan militeristik yang sangat membatasi aktivitas politik. Partai ini bahkan menjadi partai komunis terbesar di seluruh dunia, di luar RRC dan Uni Soviet.
[vi] The Three Musketeers adalah judul novel tenar tentang petualangan tiga orang pemuda di tengah-tengah pergolakan politik Prancis pada abad pertengahan. Tiga pemuda itu bernama Athos, Porthos, dan Aramis.
[vii] Menurut Teeuw (1989: 11), sajak-sajak tanggapan terhadap masalah kemiskinan dari penyair non-Lekra berbeda dengan sajak-sajak Lekra yang mengusung ideologi ‘realisme-sosialis’. Sajak-sajak non-Lekra lebih mendalam, mengendap, dan ditulis dengan kesadaran bahwa penderitaan manusia bukan saja disebabkan oleh tindakan-tindakan buruk kaum politikus jahat, kaum kapitalis, dan kaum imperialis, tetapi bahwa kemiskinan tak terlepas dari peri hidup umat manusia, dan sebaliknya bahwa kebahagiaan pun tidak bergantung pada terwujudnya cita-cita tertentu belaka.
[viii] Hal ini berbeda dari perkembangan sastra sebelumnya, yang dikuasai oleh Kantor Bacaan Rakyat dari Pemerintah Hindia Belanda atau Balai Pustaka, yang dalam penerbitan-penerbitannya menabukan ideologi, agama, dan politik (lihat Teeuw, 1989: 31).
* Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Alamat surat elektronik: yoseph.yapi2010@gmail.com.