KARL Marx pernah berujar, kata seorang kawan pada perbincangan semalam, kita hanya tahu produknya tapi tak pernah tahu bagaimana kerja memproduksinya. Omongan kawan ini, bukannya mengingatkan saya pada buku Marx tertentu, malah pada pengalaman bersama seorang Penjual Nasi Goreng dua atau tiga minggu lalu.
Malam itu, saya mendatangi Abang Nasi Goreng yang kerap mangkal di sudut gang dekat kamar sewaan. Sang Penjual Nasi Goreng sibuk tak terkira di tengah gerimis. Saya pun harus mengantri. Aktivitas berbaris ini memungkinkan Anda menjadi lebih dekat dengan Penjual Nasi Goreng, pun pula segala perangkatnya.
Coba tengok gerobaknya, menyimpan begitu banyak perkakas. Botol bekas aqua yang diahli-fungsikan menjadi botol minyak goreng, penyedap masakan di botol air mineral seukuran satu liter yang telah diinovasi, adalah contohnya. Dua wajan yang tentu saja sudah hilang warna putih keperakannya, pisau karatan, dan sendok goreng serwarna tanah. Tak lupa, sebuah kain serbet kecil multi fungsi.
Mengantri membuat kita punya waktu menatap lekat kepiawaian Penjual Nasi Goreng. Bau enak semakin menusuk hidung setelah lima atau enam pembeli beres dilayaninya. Sebuah payung yang diikatkan pada gerobaknya berfungsi menangkis gerimis. Saya memperhatikannya. Pipinya cekung petanda hidup yang keras. Lengannya kurus ringkih. Di atas kepala kecil kurusnya bertenggerlah topi berwarna kuning kumal. Tulisan partai berlambang pohon beringin menghiasinya. Tangannya yang kurus sigap membolak-balik nasi di wajan, menghancurkan bawang, mencacah daun sawi, menyendok garam dan penyedap masakan. Dengan cekatan ia memecahkan dan mengaduk telor mentah, dan sejurus kemudian kulitnya dilempar ke plastik sampah yang menggantung pada stang gerobaknya.
‘Sroooot!’ Tetiba ada sebuah bunyi datang dari Si Penjual Nasi Goreng tua; bunyi yang ditimbulkan oleh gerak otot penopang hidung yang berusaha memasukkan kembali ingus yang mulai meleleh. Seperti aktivitas demikian pada kita kebanyakan, tidak semua ingus bisa kembali ke rongga hidung. Ada yang tersisa. Menempel di bagian atas bibir, di kumis, atau nyiprat pada daging dinding lubang hidung bagian luar. Saking sibuknya, Penjual Nasi Goreng tua kita langsung saja melap hidung beringusnya dengan tangan kiri. Tangan itu lantas digesek-gesekkannya ke salah satu punggung gerobak, dekat tempat di mana ia mencacah daun sawi.
Seketika, saya mengutuki hujan di bulan Juni yang begitu inspiratif bagi Sapardi Djoko Damono. Pembaca nan budiman, Anda tak sulit bukan membayangkan perasaan saya yang sudah lapar itu? Bunyi ‘sroott’ yang memekakan itu kawan, berulang paling tidak lima sampai tujuh menit sekali. Setiap kali itu juga perutku nyilu.
Saya sempat berpikir, mengapa ia tak beristirahat saja di rumah? Ia akan cepat sembuh dan kerjanya tak dihiasi bunyi ‘sroottt’ yang cetar membahana. Ah, dalam hal kerja manusia memang sering kepala batu. Saya, misalnya, pernah memaksakan diri menglay-out majalah independen walau pun sedang tak enak badan. Yah, majalah independen kerap lebih seksi tinimbang dokter pria di rumah sakit.
Si Penjual Nasi Goreng mungkin memang ingin beristirahat. Namun ketika melihat daun pintu kamar rumah kontrakan, ia langsung menenggak panadol hijau dua ribuan dan menguatkan hati untuk berjualan. Uang sewa kontrakannya belum terkumpul dan sebulan lagi Lebaran. Tuntutan ekonomi nan nyata mendorongnya menenggap panadol dan dengan penuh heroik membenamkan topi kuning di kepalanya. Sedangkan saya, tadi barangkali hanya dituntut oleh emosi, hampir setara dengan perkara #MoveOn di twitter.
Namun demikian, kehigienisan dan tuntutan atas makanan sehat pun tak bisa dipandang sebelah mata. Dahulu ibu saya sering menasihati agar jangan sering jajan di luar rumah lantaran kebersihan makanannya hanya Tuhan dan sang penjual yang tahu. Tapi hal itu tak mungkin terjadi di Jakarta, yang entah bagaimana mengharuskan banyak orang makan di luar rumah. Dan 80 persen orang di Jakarta, termasuk saya, tak mungkin makan di restoran yang punya mekanisme pemeriksaan kesehatan bagi para pekerjanya enam bulan sekali.
Saya jadi teringat sebuah lelucon tentang pengayuh becak. Alkisah, calon penumpang minta diantarkan ke suatu tempat. Si pengayuh becak memberi tarif Rp 10.000,-. Si calon penumpang pandai menawar. Jadilah ia diantarkan ke tempat tujuannya dengan ongkos Rp 5.000,-. Becak dikayuh dengan begitu kencangnnya sampai hampir menyerempet mobil dan sepeda motor. Si penumpang mengomel. Meminta pengayuh becak untuk sedikit mau menggunakan rem becaknya. Dengan kalem, sang pengayuh becak menjawab, ‘Mbak, kalau pake rem ongkosnya yang saya bilang tadi, Rp 10.000,-. Kalau Rp 5.000,- ga termasuk rem.’
Begitulah. Jika isi kantong Anda hanya cukup untuk mengonsumsi nasi goreng, tabahlah ketika sang penjual asyik mencacah sawi pesanan Anda dengan menggunakan tangan yang barusan mengelap ingusnya. Toh, jikalau sakit, Anda pun hanya mampu beli Panadol atau ke Puskesmas terdekat kan; tak mungkin memeriksa lengkap di rumah sakit yang cukup terhormat dengan biaya berbilang juta. Jika nasib Anda sial karena diserang kanker atau sejenisnya lantaran asupan makanan yang tak higienis, anggap saja itu sebagai sakit kepala atau masuk angin. Isi kantong membatasi apa yang Anda konsumsi. Lebih jauh, ia menyumbang imajinasi tentang penyakit.
Ah, saya jadi teringat pada seorang kawan yang begitu getol berbicara tentang pentingnya asuransi. Menurutnya, asuransilah, bukan filsafat, yang memanusiakan manusia.***