SEJAUH ini perbincangan soal peristiwa politik di Mesir, masih belum banyak menyentuh konstelasi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi yang terlibat dalam pertarungan. Akibatnya, perbincangan itu kalau tidak bertolak dari perspektif politik yang abstrak, seringkali melihat pertarungan politik tersebut secara hitam putih. Yang pertama dominan di kalangan liberal, yang kedua merupakan wacana yang dilontarkan oleh kalangan Islam Politik.
Perspektif politik yang abstrak bertolak dari konsepsi demokrasi prosedural, yang menekankan proses pemilihan umum sebagai satu-satunya mekanisme transfer atau pergantian kekuasaan yang paling legitimatif sekaligus paling menjamin terwujudnya konsolidasi demokrasi. Legitimasi, dalam perspektif ini, bukan terutama berasal dari rakyat dalam konsep yang kabur, tapi dari rakyat yang pergi memberikan suaranya di kotak pemilu. Kotak suara, dengan demikian, adalah representasi paling sempurna dari konsep kedaulatan rakyat, sehingga itu segala upaya untuk menjatuhkan pemerintahan Mohamed Morsi dari kekuasaan yang diraihnya melalui pemilu yang sah, jujur dan adil merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi atau kedaulatan rakyat itu sendiri. Lebih-lebih jika pergantian kekuasaan itu dilakukan melalui kudeta militer. Bagi kalangan liberal, apapun kesalahan yang dilakukan Morsi selama berkuasa, ia harus diberi kesempatan untuk menyelesaikan pemerintahannya dan nanti rakyat yang menghukumnya dalam pemilu berikutnya. Kesimpulannya, masa depan demokrasi Mesir sangatlah murung.
Sementara itu dari kalangan Islam Politik di Indonesia, muncul dengan analisa hitam-putih yang simplistik dan konspiratif: bahwa Morsi, sebagai perwakilan Islam Politik, pasti akan dihalang-halangi oleh kalangan sekuler yang terdiri dari kalangan liberal, komunis, sosialis, militer, dan AS+Yahudi untuk menyelesaikan masa kekuasaannya sebelum periode kekuasaannya berakir. Dan karena Morsi adalah pemimpin yang lahir dari proses demokrasi dan dijatuhkan oleh sistem politik demokrasi, maka bagi kalangan Islam Politik (sebagaimana pandangan kaum liberal) segala usaha untuk menjatuhkan Morsi sebagai pemerintah yang sah (legitimate) adalah tidak sah (illegitimate). Namun sebagaimana tipikal kaum Islamis, kesimpulan politiknya tidak berhenti di situ. Kasus Morsi makin mengonfirmasi tesis mereka selama ini bahwa demokrasi di manapun tidak akan mengijinkan kalangan Islam untuk berkuasa dan menjalankan program-program politik dan ekonomi yang bernafaskan nilai-nilai Islam. Kesimpulannya, demokrasi tidak cocok dengan Islam.
Konstelasi kekuatan politik Mesir
Pasca jatuhnya Hosni Mubarak, terdapat empat kekuatan politik yang sangat berpengaruh di Mesir. Pertama, adalah kalangan militer yang terselamatkan dari keruntuhan Mubarak; kedua, pejabat-pejabat tinggi birokrasi pemerintahan Mesir serta kroni-kroni Mubarak yang disebut Feloul yang menggunakan Partai National Democratic (NDP) sebagai kendaraan politiknya; dan ketiga, kelompok Ikhwanul Muslimin, yang memiliki struktur dan jaringan organisasi yang luas, serta kepemimpinan politik dan ideologi yang jelas; serta keempat, adalah massa rakyat yang berasal dari berbagai aliran politik, organisasi, dan ideologi yang tumpah-ruah di Tahrir Square.
Tiga kelompok pertama adalah pemain lama dalam desain politik Mubarak dan secara institusi dan program-program politik adalah yang paling siap dalam proses politik pasca penggulingan. Sementara kekuatan rakyat, walaupun moral politiknya besar, tapi secara kelembagaan politik paling lemah: tidak punya kepemimpinan politik yang jelas, tidak punya struktur organisasi yang teratur dan luas, serta tidak memiliki program-program politik dan ekonomi alternatif yang solid. Akibatnya, pasca revolusi jilid I, kekuatan politik rakyat ini amat tidak siap dalam mengarungi pertarungan di medan elektoral. Mereka cukup puas telah sukses menjatuhkan Mubarak, tapi gelagapan ketika dihadapkan pada tantangan baru, demokrasi elektoral.
Demikianlah ceritanya, ketika pemilu dilangsungkan, IM sebagai kelompok yang paling tidak terkontaminasi kekuasan diktator dan korup Mubarak, mendulang suara yang sanggup mengantarkannya ke kursi kekuasaan. Tetapi, sekali lagi, IM hanyalah satu dari tiga kekuatan politik utama (dalam makna kelembagaan) pasca Mubarak, karena itu ia harus bisa membagi kekuasaannya dengan kalangan militer dan Feloul itu. Di sinilah, kita lihat bagaimana ketiganya, terutama IM dan militer, kemudian mengkhianati tuntutan revolusi jilid II.
Ketika Mohamed Morsi terpilih sebagai presiden melalui sebuah arena pemilu demokratis, ada begitu besar harapan yang membuncah padanya. IM sebagai kekuatan politik yang relatif marjinal posisinya di masa Mubarak, diharapkan bisa memenuhi tuntutan-tuntutan Revolusi Julid I: breed, freedom, and social justice. Bagi para pemerhati pergolakan di Mesir yang teliti, harapan besar ini sebenarnya terlalu berlebihan bahkan mustahil dilaksanakan Morsi, Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP), serta IM. Di sini, saya akan menunjukkan kolaborasi politik dan ekonomi dari IM dan Militer.
Kolaborasi politik
Ketika demonstrasi di lapangan Tahrir semakin membesar dan telah nampak bahwa Mubarak tidak bisa lagi dipertahankan, militer mulai melakukan kontak dan komunikasi politik dengan kelompok-kelompok Islamis Mesir, khususnya IM. Pada masa-masa dimana ketegangan memuncak pada bulan Februari 2011, beberapa anggota Dewan Penasehat IM bertemu dengan wakil presiden Jendral Omar Suleiman, dimana hasil dari pertemuan itu adalah IM sepakat untuk membersihkan Tahrir Square dari para demonstran. Sebagai imbalannya, militer akan membebaskan dua tokoh terkemuka IM dalam penjara, Khairat El-Shater and Hassan Malek.[1]
Pembicaraan antara IM, dengan militer, dalam hal ini Supreme Council of the Armed Forces (SCAF), berpokok pada soal bagaimana membangun sistem politik baru pasca Mubarak. Setelah Mubarak jatuh, militer semakin aktif mendekati kelompok Islam Politik untuk dijadikan sebagai sekutu politiknya. Misalnya, militer kemudian membebaskan Aboud and Tarek El Zomor yang dipenjara karena tuduhan hendak membunuh Presiden Anwar Sadat. Tak lama kemudian, Tarek al-Bishri dan anggota IM Sobhi Saleh, ditunjuk SCAF untuk mempersiapkan amandemen konstitusi. SCAF juga kemudian mengijinkan kalangan Islam Politik membentuk partai politik sebagai kendaraan politiknya.
Sebagai bagian dari konsesi politik tersebut, IM kemudian mulai memboikot aksi-aksi protes massa di Tahrir Square. Misalnya, mereka memboikot seruan aksi pendudukkan pada 8 Juli 2012 selama tiga minggu, yang menuntut agar Mubarak dan mereka yang bertanggung jawab atas terbunuhnya para pemrotes selama 18 hari pemberontakan pada 2011 agar dibawa ke pengadilan. Sebaliknya, IM malah menyerukan aksi massa pada 28 Juli di bawah slogan ‘The Friday of Unity.’ Tuntutan yang diserukan dalam aksi massa yang juga dikenal dengan nama ‘Friday of Kandahar,’ karena massa terbesar berasal dari kelompok Islamis, adalah ‘Negara Islam’ dan mendukung posisi ‘Militer’ sebagai lembaga negara penjamin konstitusi. Ketika militer mulai menggunakan aksi-aksi kekerasan terhadap para pemrotes pada November 2011, posisi IM memilih untuk tidak mendukung para pemrotes. Pada akhir Desember, tiga anggota IM malah memperkarakan tiga anggota Revolutionary Socialists, setelah mereka mengritik SCAF dalam pidato publiknya. Laporan itu berisi tuduhan bahwa ketiga anggota Revolustionary Socialists itu tengah berusaha untuk memprovokasi terjadinya kekacauan (chaos) di seluruh negeri.
Pada awal Januari 2012, protes kembali terjadi. Kali ini para demonstran menuntut agar militer segera melepaskan kekuasaan politiknya dan segera diserahkan kepada Dewan Rakyat, yang baru terpilih secara demokratik, yakni parlemen. Terhadap tuntutan ini, IM menolaknya dan menegaskan bahwa masalah SCAF akan diselesaikan secara bertahap sebagaimana yang terjadwal, dimana kekuasaan militer akan berakhir pada 30 Juni 2012. IM juga menolak untuk menjadikan perayaan 1 tahun Revolusi dengan melancarkan Revolusi Jilid II dan membangun dukungan untuk segera mengakhiri kekuasaan militer. IM menuduh upaya-upaya untuk melancarkan aksi gelombang kedua ini sebagai tindakan untuk memprovokasi kekacauan di seluruh negeri. Bahkan IM kemudian secara provokatif berdiri bersama-sama dengan tentara dari Central Security Forces (SCF), untuk memblokade massa yang hendak mengajukan tuntutannya kepada parlemen.
Pada 15 Januari 2012, harian Al-Dostor Al-Asli melaporkan bocoran rahasia mengenai adanya kesepakatan rahasia antara Pihak SCAF dan IM, dimana hasilnya adalah IM menjamin keamanan dari personel SCAF dan mendukung kandidat presiden yang bisa diterima militer dan IM. Tak berapa lama berselang, Ashraf El Sherif, ilmuwan politik dari the American University, Cairo, mengatakan bahwa telah terjadi kesepakatan mengenai pembagian kekuasaan antara IM dan SCAF. Bentuk kesepaktan itu antara lain, bahwa pihak militer dan lembaga-lembaga keamanan lainnya akan tetap mengontrol isu-isu kunci seperti kebijakan luar negeri, keputusan-keputusan strategis, kebijakan dan kepentingan ekonomi tingkat atas, sementara IM akan mendapat jatah di kementrian-kementrian pelayayan,[2] seperti pendidikan, pengadilan, dan televisi nasional.
Demikianlah, ketika Morsi terpilih sebagai presiden, kompromi dan kolaborasi dengan militer tetap dilanjutkannya. Memang ia memensiunkan dua orang jendral paling berpengaruh dalam militer Turki, yakni Hussein Tantawi, panglima Angkatan Bersenjata Mesir, yang berkuasa sejak 1991, dan Sami Anan, Kepala Staf Angkatan Bersenjata sejak 2005. Terhadap kedua jenderal ini, Morsi menolak untuk memenuhi tuntutan rakyat agar keduanya dibawa kepengadilan atas kejahatannya yang menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, selama aksi protes di Tahrir Square. Sebaliknya, Morsi malah memberikan pengampunan dan jaminan keamanan.[3]
IM dan neoliberalisme
Ketika gelombang aksi massa menentang kebijakan PM Turki Recep Tayyip Erdoğan makin membesar, muncul harapan agar gerakan itu bisa seperti gerakan massa di Tahrir Square pada 2011 yang sukses menjatuhkan Mubarak. Yang menarik, di Mesir ketika Morsi naik ke tampuk pemerintahan, para tokoh IM melihat masa depan mereka pada Turki di bawah kepemimpinan Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Sementara itu, di kalangan liberal Mesir, mereka juga ingin menempatkan militer Mesir seperti militer Turki pro-Kemalist, yakni sebagai penjaga demokrasi ketika kelompok Islamis berkuasa dan menerapkan Syariat Islam.[4]
Apa yang ingin dicontoh IM dari AKP Turki? Menurut Salam, IM melihat AKP sebagai partai Islamis sukses membawa Turki sebagai sebuah kekuatan ekonomi baru di Eropa dan dunia Islam khususnya. Selain itu AKP juga sukses menciptakan stabilitas politik dalam jangka panjang, dan berhasil membonsai kekuasaan militer Kemalis. Di atas semuanya, IM melihat AKP sebagai contoh hidup bagaimana sebuah perwakilan Islam Politik, sukses menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara sambil bergandeng mesra dengan demokrasi yang selama itu dicaci sebagai sistem yang kafir.
Tentu saja IM mengetahui dengan jelas bahwa AKP secara ekonomi menjalankan kebijakan neoliberal, melalui serangkaian privatisasi, liberalisasi ekonomi, pembatasan anggaran publik dan seterusnya. Namun, itu tidak menjadi soal bagi IM, karena sejak dekade 1990an, ketika Mesir mulai mengadopsi kebijakan neoliberal yang didesakkan oleh IMF dan Bank Dunia, IM tidak melakukan oposisi terbuka atas kebijakan tersebut, bahkan, sebagai bagian dari konsesi politik, IM kemudian diijinkan untuk terlibat dalam proses politik formal. Menariknya, akibat penerapan kebijakan neoliberal tersebut, yang menyebabkan kehidupan ekonomi rakyat semakin memburuk, IM melalui jaringan yayasan sosialnya (charity foundations) mampu memberikan pelayanan-pelayanan yang bersifat karitatif terhadap rakyat miskin. Melalui yayasan-yayasan sosial-ekonominya itu, IM sanggup memetik keuntungan politik yang luar biasa besar sehingga menjadikannya sebagai oposisi terbesar bagi kekuasaan negara.[5]
Dalam desain atau ideal Bank Dunia dan IMF, kebijakan neoliberal itu dimaksudkan untuk mengikis habis praktek inefisiensi ekonomi dan perburuan rente oleh Negara, yang dianggap sebagai warisan Nasserisme pro-Sovyet. Menurut Zahid, kebijakan privatisasi perusahaan negara tersebut berjalan lancar kecuali pada perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh militer. Dan cengkeraman militer Mesir di sektor ekonomi ini luar biasa besar, tidak hanya yang berkaitan dengan bisnis sektor keamanan tetapi juga sektor bisnis lainnya, seperti jual beli perumahan, pelayanan kebersihan, kafetaria-kafetaria, pemilikan pompa-pompa bensin, peternakan ayam, produksi bahan-bahan makanan, hingga produksi bahan-bahan plastik. Selain itu, kekuasaan ekonomi militer Mesir ini sangat kuat terutama di tingkat lokal di berbagai propinsi dan diperkirakan penguasaan ekonominya berkisar antara 25 sampai 40 persen dari keseluruhan ekonomi Mesir.[6]
Nah ketika IM berkuasa dengan ‘Model Turki,’ maka bukan saja kebijakan ekonominya tidak berbeda dengan kebijakan neoliberal di bawah Mubarak, tetapi kekuasaan bisnis militer ini pun tidak disentuhnya sama sekali. Pertarungan di tingkat kapitalis lokal hanya berlangsung di antara kroni-kroni Mubarak dengan para kapitalis di lingkaran elit IM.
Apa hasil dari kebijakan neoliberal Morsi ini? Sebuah jajak pendapat Baseera yang dilakukan untuk jaringan televisi Al-Hayat TV terhadap 2069 responden berusia antara 20-23 tahun pada Juli 2013, menunjukkan bahwa 13 persen menyatakan bahwa kondisi ekonomi membaik dibanding tahun sebelumnya, 22 persen mengatakan tidak ada perubahan, dan 63 persen berpendapat kondisi ekonomi semakin memburuk. Berkaitan dengan kinerja pemerintahan Morsi, lima persen responden mengatakan bahwa kinerja Morsi sangat baik melebihi yang mereka harapkan, 64 persen mengatakan sangat buruk, dan 15 persen mengatakan kinerja Morsi memang seperti yang sudah mereka perkirakan sebelumnya.
Lembaga poling lainnya, The Arab American Institute merilis hasil polingnya terhadap 5,029 responden, yang menunjukkan bahwa 70 persen responden mengatakan kondisi ekonomi sangat buruk. Ketika survey ditanyakan kepada pendukung Morsi, 98 persen mengatakan bahwa kehidupan mereka semakin membaik, sementara yang bukan pendukung Morsi 89 persen mengatakan bahwa kondisi ekonomi makin memburuk.[7]
Penutup
Kalau kita memperhatikan konstelasi kekuasaan politik di Mesir pasca Mubarak, maka sebenarnya tidak ada konflik yang substansial di antara IM-Morsi dengan Militer, karena keduanya ada dalam posisi saling bekerjasama dalam membangun sistem demokrasi parlementer berbasis kebijakan ekonomi kapitalisme-neoliberal. Karena itu, tidak cukup alasan untuk menjelaskan kudeta militer terhadap Mesir ini sebagai akibat dari konflik IM vs militer. Itulah sebabnya, adalah keliru jika para simpatisan IM mengatakan bahwa IM anti militer sehingga itu harus dikudeta. Kalaupun ada konflik di kalangan elite, itu terjadi di kalangan fraksi kapitalis berjubah berhadapan dengan kapitalis kroni dari kalangan Felou. Tetapi konflik-konflik ini pun tidak signifikan untuk menjelaskan kenapa Morsi harus terpental dari kursi kekuasaannya.
Penjelasan paling afdhol dari kejatuhan Morsi adalah adanya demo massal terbesar dalam sejarah itu. Krisis ekonomi Mesir di bawah Morsi, ternyata tidak bisa diselesaikan melalui slogan ‘Islam is the only solution,’ yang dikumandangkan IM sejak pendiriannya. Slogan itu memang cukup ampuh membuat massa menaruh kepercayaan pada IM ketika mereka tidak berkuasa, tepatnya ketika neoliberalisme mulai dianut Mesir pada dekade 1990an. Rakyat yang lapar, yang merasakan mahalnya segala jenis barang dan pelayanan publik, terbuka matanya bahwa Morsi tidak berbeda dengan Mubarak.
Lalu, bagaimana dengan masa depan demokrasi Mesir? Sudah jelas masa depan demokrasi Mesir tidak bisa diharapkan dari pemerintahan sementara saat ini, termasuk di dalamnya adalah kelompok liberal. Saya berpendapat, masa depan demokrasi Mesir tergantung pada dua hal: pertama, jika gerakan massa semakin mampu mengonsolidasikan dirinya secara politik, organisasi, dan program-program alternatif yang solid. Selama massa masih cair seperti saat ini, maka kemampuannya baru sampai pada menggulingkan fraksi kekuasaan yang tidak berpihak kepadanya untuk digantikan oleh fraksi kekuasaan yang lain. Gerakan rakyat sudah semestinya meninggalkan pola-pola gerakan yang tanpa kepemimpinan politik, organisasi, dan teoritik yang jelas jika mereka ingin menuntaskan revolusinya.
Kedua, demokrasi Mesir akan memberi harapan jika mereka memaknai demokrasi tidak berakhir di kotak suara. Selama demokrasi diukur dari kotak suara, maka selama itu pula demokrasi hanya melayani atau hanya menjadi kendaraan (bukan dibajak oleh) elite bisnis, militer, dan politik (baca: oligarki kapitalis). Demokrasi parlementer harus dibarengi dengan demokrasi partisipatoris, dimana rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan hidupnya day to day. Hanya melalui demokrasi partisipatoris maka ada jaminan bahwa kepentingan rakyat tidak dimanipulasi oleh para oligarki kapitalis tersebut.***
Coen Husain Pontoh, Editor IndoPROGRESS
[1] Wael Eskandar, Brothers and Officers: A History of Pacts, http://www.jadaliyya.com/pages/index/9765/brothers-and-officers_a-history-of-pacts. Diunduh pada 18 Juli, 21013. Lihat juga, Marwa Awad, Egypt army, Islamists in talks to resolve impasse, http://in.reuters.com/article/2012/06/22/egypt-election-bargaining-idINDEE85L0M120120622. Diunduh pada 18 Juli, 2013.
[2] Lihat Eskandar, Ibid.
[3] Gilbert Archar, Morsi and the Army: The Illusive Power, http://www.jadaliyya.com/pages/index/12712/morsi-and-the-army_the-illusive-power. Diunduh pada 18 Juli 2013.
[4] Lihat Hesha Sallam, Obsessed With Turkish Models in Egypt, http://www.jadaliyya.com/pages/index/12517/obsessed-with-turkish-models-in-egypt. Diunduh pada 18 Juli 2013.
[5] Lihat buku Mohammed Zahid, The Muslim Brotherhoo and Egypt’s Succession Crisis The Politics of Liberalisation and Reform in the Middle East, I.B. Tauris Publishers, London, NY, 2010.
[6] Zainab Abd-Maqd, The Army and the Economy of Egypt, http://www.jadaliyya.com/pages/index/3732/. Diunduh pada 18 Juli, 2013.
[7] Al-Ahram, ‘Egypt opinion polls reveal dissatisfaction with Morsi,’ http://english.ahram.org.eg/NewsContent/1/152/75491/Egypt/Morsi,-one-year-on/Egypt-opinion-polls-reveal-dissatisfaction-with-Mo.aspx. Diunduh pada 18 Juli, 2013.