Daftar Isi Edisi Ini:
- Sesat Pembangunan ala Bank Dunia di Asia Tenggara
- Hilmar Farid : Warisan Kunci Politik Orde Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial, dan Kultural!
- Menguak Mitos Negara Lemah Di Hadapan Pasar
ANTONIO Gramsci pernah berujar, ketika dunia lama tengah diterpa krisis dan dunia baru belum dapat berdiri, itulah masa untuk Sang Monster. Ya, sang monster adalah apa yang tengah kita hadapi sekarang. Atas nama penyelamatan diri dari krisis, dunia lama alias kapitalisme, harus berperilaku layaknya monster untuk mempertahankan dirinya sendiri. Eksploitasi masif massa rakyat pekerja, penghancuran total sumber daya alam, dan berbagai macam modus pencurian besar-besaran sumber daya publik adalah proses wajar dari kapitalisme sekarang. Layaknya monster, proses kerja kapitalisme ini bukan hanya mengancam bangunan sosial masyarakat modern, akan tetapi lebih besar dari pada itu, juga mengancam peradaban kemanusiaan yang sudah terbangun selama ini.
Namun, bukan berarti perilaku monster kapitalisme dengan sendirinya akan membantu kita untuk secara efektif melakukan perlawanan. Dalam praktiknya, monster kapitalisme kini dapat mewujud dalam bermacam-macam rupa. Dalam satu kesempatan, kapitalisme menampakkan diri dalam wajahnya yang paling brutal (dalam bentuk perampasan, penghancuran, perang, dll.). Akan tetapi, pada kesempatan lain, ia akan memanifestasikan dirinya dalam rupa yang ‘humanis’ (dalam bentuk kedermawanan, bantuan kemanusiaan, dll). Kontradiksi dalam kapitalisme menciptakan keberagaman dalam dirinya sendiri. Dasamuka inilah yang kemudian membuat perlawanan atas kapitalisme menjadi sangat sulit sekaligus rumit.
Dalam kerumitan situasi seperti ini, apa yang dapat dilakukan untuk menghadapi Sang Monster yang kompleks ini? Dalam hal ini, Marxisme sebagai proyek politik pengetahuan kelas proletar, memiliki dimensi kebenarannya sendiri. Komitmen Marxisme terhadap sains berasal dari argumen sederhana, sekaligus kuat, yang muncul di zaman pencerahan (aufklarung) bahwa nalar manusia mempunyai kapasitas mumpuni untuk memahami situasi, serumit apapun. Bagi Marxisme, nalar membuat upaya pembebasan total manusia menjadi sangat mungkin untuk dilakukan. Kemungkinan ini menjadi terbuka dikarenakan sains merupakan aktivitas intelektual sekaligus praktis yang sistematis untuk menyingkap perilaku dan struktur dari objek yang tengah diamati. Keberhasilan untuk menyingkap struktur akan membantu kita memperjelas situasi kompleks yang tengah kita hadapi, sekaligus membuka kemungkinan untuk intervensi dalam rangka mengubahnya. Suatu posisi yang optimistis akan kemungkinan untuk mengekang sekaligus menghancurkan Sang Monster.
Namun sebagaimana Marx kemukakan dalam Capital, tidak ada jalan mudah menuju sains (there’s no royal road to science). Ketidakmudahan ini dikarenakan masih dimungkinkannya kesalahan dalam penelusuran ilmiah yang tengah dilakukan. Oleh karena itu, sains bukanlah ide yang telah selesai, namun ia adalah kondisi dimana diskusi, perdebatan, bahkan kritik diharuskan untuk mengklarifikasi temuan dari sains itu sendiri. Tidak heran, jika sains hanya dapat dikembangkan ketika aktivitas ilmiah dilakukan secara terus-menerus sembari terbuka dan jujur akan keterbatasan yang tengah dihadapi.
Dengan prinsip inilah, Left Book Review (LBR) hadir. Upaya rutin kami untuk selalu menghadirkan diri di hadapan Anda adalah upaya sederhana untuk secara konsisten melakukan aktivitas ilmiah itu sendiri. Pada kesempatan kali ini, kami menyajikan review dari Iqra Anugrah terhadap buku karya Toby Carrol, Delusions of Development the World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. Melalui review ini, Iqra menuntun kita untuk menyobek selubung teori dan ideologi yang dibawa Bank Dunia dalam operasinya di kawasan Asia Tenggara. Review buku selanjutnya dari Coen Husain Pontoh, yang mengulas buku karya ilmuwan politik Leo Panitch dan Sam Gindin, The Making of Global Capitalism, yang membahas peran negara dalam ekspansi dan akumulasi kapital di tingkat global. Selanjutnya, kami hadirkan wawancara yang menarik dengan sejarawan Hilmar Farid, yang berbincang soal warisan Peristiwa 1965 dan kemungkinan-kemungkinan politik yang tersedia saat ini bagi pembangunan gerakan.
Pada akhirnya, kami mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan bagi yang melakukannya dan tetaplah terus membaca.
¶