PUISI-PUISI YOSEPH YAPI TAUM
TAK ADA MIMPI DI NEGERI INI
: Sondang Hutagalung
cakrawala memberinya sepotong rimba
sebagai arena merampas kembali kebebasannya
di kala senyum tersungging di bibirnya
mata itu menyeruak tengah malam
dan ia terusir sebagai pecundang
di kala lonceng gereja mendentangkan sebentuk harap
dan beduk masjid mendeburkan segenggam cinta
ketika dagunya terangkat menatap langit biru
mata itu menyerbu ke liang-liang jiwanya
menghempasnya ke jurang paling kelam:
“tak ada mimpi di negeri ini!”
maka ditatapnya berhala istana itu
jantungnya berdegub kencang, jantungnya sendiri
neraka itu membara memupus semua ilusi
di liang lahat, ia yakin, mata itu tak lagi mengejarnya
di kaki langit, rintik-rintik hujan menapaki bianglala
memberinya sepotong mimpi
yang telah hilang dari negeri ini
Yogyakarta, 12 Februari 2012
BALLADA MAWAR PUTIH
Kelasi itu datang dari kegelapan malam
di saat kapal hendak karam
di antara dua karang terjal terpendam.
Nahkoda ditahan lalu dibunuh dengan kejam.
Bahaya mengintai kapal rapuh
dalam gelisah samudra bergemuruh.
Ke arah empat penjuru mata angin,
dihembuskannya dusta beracun.
Cakrawala pun menahan nafas,
kerna kelasi menantang langit.
Ombak itu sia-sia menerpa karang.
Kelasi pun menjadi nahkoda,
saat malam mendengkur
dan bahaya mengintai di kesunyian.
Amboy! Bagai nabi,
samudra diteduhkan
belenggu diuraikan,
yang tua dan muda bertempik sorak,
“Pahlawan baru telah lahir,
di kelam malam tanpa bintang.
Dia lahir dari rahim
seorang wanita yang putus asa
untuk menegakkan hasrat laki-laki!”
Mawar-mawar semesta dipasanginya duri.
Tak boleh lagi ada liukan tarian harum bunga
dan nyanyian genjer-genjer di seantero jagat ini.
Inilah sabda sakti sang nakhoda.
Ketika fajar 1 Oktober 1965,
berlakulah hukum alam baru,
“kehormatan dan kehinaan
tergantung pada keturunan
kerna jika kau keturunan PKI
maka tidak ada matahari bagimu!”
Musim kemarau terasa sangat panjang.
Namun hari terpanjang adalah 27 Mei 1998.
Kembang-kembang mawar putih
menghiasi genit langit malam
menggoda kejantanan bumi
Nahkoda tua memuncak birahinya.
Tak tertahankan, di geladak kapal,
kembang-kembang mawar putih terkulai
dengan puting dan kelopak terbantun.
“kehormatan dan kehinaan
tergantung pada keturunan
kerna jika kau keturunan bangsa selir,
maka aku berhak atas puting dan kelopakmu!”
Di puncak birahinya, samudra menampar gelisah.
Nahkoda tua terjungkal di geladak.
Dalam sekarat, gairahnya terus meledek langit.
Ia pun tewas dengan hasrat lelaki sekeras taji.
Sumpah kembang-kembang mawar:
“Dia berhak mendapatkan sejuta tusukan duri,
kerna hanya itulah yang tersisa
dari kembang-kembang mawar.
Dan duri-duri itu menghunjam kejantanannya,
dengan dalam dan liar di alam kuburnya!”
Yogyakarta, 6 Agustus 2012
*Yoseph Yapi Taum pernah bekerja sebagai dosen di Universitas Timor Timur (1990- 1999) dan sekarang dosen di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2000 – sekarang). Ia adalah pengajar puisi dan penikmat tradisi lisan. Puisinya pernah dimuat dalam Sauk Seloka: Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012) dan Antologi Puisi Sebab Cinta (Elmatera, Yogyakarta, 2013).