Daftar Isi Edisi Ini:
PADA 11 Juni lalu, harian berbahasa Inggris, Jakarta Globe, memuat berita cukup mengejutkan, Indonesia’s Universities Fall Behind the Rest of Asia: Report. Dalam berita itu dilaporkan bahwa ranking universitas-universitas di Indonesia terus merosot dari tahun ke tahun dalam posisi 100 universitas terbaik di dunia, dibandingkan dengan universitas di Hongkong, Cina, Korea Selatan, dan Singapura.
Disebutkan bahwa hanya Universitas Indonesia yang sanggup bertahan di posisi 100 universitas terbaik, tepatnya berada di ranking ke 64, sementara posisi kedua diisi oleh Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni di urutan ke 129. Tapi, kalau dilihat dari konsistensi per tahun, maka posisi UI dan ITB justru semakin memburuk. UI pada tahun 2009 hingga 2011, selalu berada di posisi 50 besar, tapi sejak tahun 2012 posisinya melorot ke urutan 59. Sementara posisi ITB, walaupun tetap di bawah peringkat 100, tapi posisinya pada 2012 masih lebih baik, yakni di urutan 113.
Tentu penurunan peringkat universitas-universitas di Indonesia, patut mendapat perhatian. Ada banyak jawaban yang bisa dikemukakan, kenapa prestasi dua perguruan tinggi terbaik itu terus memburuk. Salah satunya, seperti kita tahu, sejak reformasi bergulir, beberapa universitas besar dan terbaik di Indonesia, khususnya UI, ITB, dan UGM, telah mengalami proses privatisasi. Universitas bebas mencari dan kemudian mengelola uangnya sendiri, tanpa campur tangan dari pemerintah. Ide di balik proyek ini tentu saja, telah kita hapal di luar kepala, intervensi negara adalah buruk, serahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya, universitas lalu berlomba-lomba menjajakan dirinya kepada pasar, yakni kepada para kapitalis yang sanggup menggelontorkan segepok uang ke kas universitas. Tapi, agar bisa menarik minat inverstor ini, maka universitas juga harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar, dimana ilmu pengetahuan dan metodologi pembelajaran harus menyesuaikan diri dengannya.
Di sisi lain, karena universitas telah bersalin rupa menjadi lembaga swasta, maka ia pun bekerja dengan logika kapital, bagaimana mengeruk keuntungan setinggi-tingginya dengan biaya sekecil-kecilnya. Maka berbagai cara ditempuh, mulai dari jual beli gelar kehormatan, para pengajar yang lebih suka menjadi konsultan, gaji dosen dan staf pegawai yang sangat rendah, beban kerja mengajar yang sangat tinggi (dimana satu dosen bisa mengampu delapan kelas), hingga biaya masuk perguruan tinggi yang harganya selangit. Sementara, hal-hal yang menyangkut pengadaan perpustakaan berkualitas dengan buku-buku dan jurnal-jurnal akademik terbaru, bukan perhatian utama. Kegiatan-kegiatan akademik, seperti konferensi ilmiah bermutu juga sangat jarang dilakukan. Para intelektual itu lebih senang berbicara kepada wartawan. Plagiarisme, sebagai hal terlarang pun sudah menjadi hal biasa. Kompetensi tenaga pengajar pun tidak jelas ukurannya. Jika publikasi ilmiah merupakan ukuran, maka mayoritas para pengajar di universitas-universitas di Indonesia sangat kurang memberikan kontribusinya dalam hal karya akademik. Prof Mien A Rifa’i, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dari Pusat Penelitian Nasional Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pernah mencatat bahwa dibandingkan dengan koleganya di Asia Tenggara, tingkat produktivitas karya ilmiah ilmuwan Indonesia ada di posisi paling buntut. Ilmuwan Singapura, misalnya, menulis sekitar 10.000 artikel per tahun, Thailand 5.500, dan Malaysia 3.500. ‘Adapun Indonesia belum mencapai 1.000 artikel per tahun,’ ujarnya.
Sedikit fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan privatisasi perguruan tinggi itu, tidak membuat universitas-universitas kita bertambah baik mutunya. Birokratisme dan senioritas personal, ternyata tak mampu dihancurkan oleh mekanisme pasar. Yang berubah, para profesor itu kini jadi lihai mencari dana.
Tapi, walapun kondisi universita kita carut-marut, harus diakui bahwa untuk pengembangan ilmu pengetahuan, tempat terbaik masih universitas. Dengan sumberdaya yang luar biasa besar, maka sebuah pembalikkan radikal dari orientasi universitas harus dilakukan. Universitas harus menjauhkan dirinya dari keinginan menjadi organisasi berorientasi profit. Universitas harus kembali menjadi lembaga untuk mendidik dan mencerdaskan rakyat. Untuk itu, ia harus dibiayai oleh negara, harus diberikan otonomi dalam hal keilmuan (bukan otonomi dalam soal mencari dan mengelola keuangan), harus memiliki standar akademik yang diakui oleh komunitas akademis sendiri, dsb., dst.
Left Book Review (LBR) edisi ini, didedikasikan untuk mendorong perubahan radikal orientasi universitas di Indonesia. Dalam edisi ini, LBR menurunkan review Coen Husain Pontoh terhadap tiga buku yang membahas tentang sistem kesehatan Kuba. Universitas di Indonesia, patut bercermin pada kasus Kuba ini, bahwa bagaimana sebuah lembaga pendidikan yang tidak berorientasi profit seperti sekolah kedokteran Kuba, bisa mencetak tenaga-tenaga medis dari semua tingkatan yang berkualitas tinggi. Review buku lainnya ditulis oleh Fildzah Izzati, yang mengulas buku karya Purnawan Basundoro, tentang pertarungan memperebutkan ruang kota. Review Fildzah ini sangat relevan bagi mereka yang tertarik dengan studi perkotaan, khususnya dari tilik pandang ekonomi-politik. Seperti biasanya, LBR juga memuat wawancara dengan DR. Dede Oetomo, seorang intelektual-aktivis yang sangat gigih memperjuangkan hak-hak kaum minoritas seksual, khususnya kelompok LGBTIQ. Terakhir, adalah sebuah pembacaan ulang M. Zaki Hussein atas karya klasik Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific. Melalui pembacaan ini, Zaki mengantarkan kita pada pemahaman tentang Sosialisme Ilmiah yang dimaksud oleh para pendirinya: Karl Marx dan Friedrich Engels.
Pada akhirnya, kami mengucapkan selamat membaca.
¶