Sore itu sudah lewat pukul lima, tanggal tiga bulan lima, seminar ‘The Urban Project: Design with/by/for People – Design and Participation in Urban Development’ masih berjalan dengan seru di KU Leuven, Belgia. Padahal, besok hari Sabtu. Biasanya para kolega dan mahasiswa sudah berangkat berakhir pekan, pulang ke kota dan desanya masing-masing, atau sekedar menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat. Apalagi cuaca sedang bagus. Tapi ruangan auditorium masih lumayan penuh.
Presentasi terakhir dibawakan oleh Pedro Arantes, seorang arsitek dan penggiat komunitas dari São Paulo. Saya sudah terkantuk-kantuk, setelah sebelumnya menyimak banyak uraian soal ideologi dan pembangunan ruang kota dengan banyak contoh ‘urban renewal’[1] dari Amerika Serikat dan Eropa. Pedro membawakan studi kasus Brazil, negara yang sejak pertengahan abad 20 sudah terkenal dengan sistem perumahan rakyat yang relatif baik. Ketika presentasinya dimulai, saya optimis akan tertidur, sebab cerita soal Brazil rasanya tidak terlalu baru bagi para lulusan sekolah arsitektur di Indonesia. Bagi generasi saya yang lahir tahun ’80-an, konsep rumah rakyat hanya menjadi jargon. Di Indonesia, ‘rusun untuk rakyat’ sering kali merupakan cerita buruk.
Entah pada slide keberapa, Pedro bicara soal cara meyakinkan masyarakat untuk mengelola sendiri proyek pembangunan rumah susun (rusun) pemerintah dan tidak mengandalkan pengembang dan kontraktor swasta. Dia menjelaskan apa itu ‘nilai guna’ (‘use value’) dan ‘nilai tukar’ (‘exchange value’). Sontak saya terbangun. Baru kali ini saya mendengar arsitek bicara teori Marxis. Saya pun membayangkan, bagaimana dia bisa menjelaskannya kepada masyarakat. Ia masih muda, tapi tampak sangat percaya diri dengan keyakinan ideologinya, dan tentu saja profesinya.
***
The military regime in Brazil lasted twenty years, and was brought down by social forces that had developed during that period. The acceleration of industrialization, albeit run for the most part by foreign companies, ultimately led to an increasingly strong and well-organized working class, as was the case in the automobile industry. (…)
(…) At the end of the 1970s, new characters were coming onto the scene: the social movements on the outskirts of São Paulo, many led by women, campaigning for crèches, housing, healthcare, transport and sanitation. The space of daily life became a political forum, and there was increased debate between social classes, on matters ranging from demands for fairer salaries and working conditions to campaigns for citizens’ rights. (…)
(Rezim militer di Brazil berlangsung selama dua puluh lima tahun, dan dilengserkan oleh kekutan-kekuatan sosial yang berkembang selama kurun waktu tersebut. Kendati sebagian besar dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, percepatan proses industrialisasi berujung pada kelas pekerja yang semakin kuat dan terorganisir dengan baik, demikian pula yang terjadi dalam industri otomobil […].
[…] Pada akhir tahun 1970-an, sosok-sosok baru bermunculan: gerakan sosial di pinggiran kota São Paulo–banyak diantaranya dipimpin oleh perempuan–berkampanye menuntut pembangunan tempat perawatan anak, perumahan, pelayanan kesehatan, transportasi, dan sanitasi. Ruang-ruang keseharian menjadi forum politik, yang berurusan dengan tuntutan-tuntutan untuk upah dan kondisi yang lebih layak, hingga kampanye hak-hak warganegara.)
(Pedro Arantes, 2013)
Selain berkarya sebagai arsitek dan mengajar di salah satu sekolah arsitektur, Pedro Arantes adalah koordinator sebuah lembaga bernama ‘Colectivo USINA’, sebuah lembaga kolaborasi berbagai profesi, mulai dari arsitek, insinyur sipil, ahli tata kota, pengacara, sosiolog, seniman sampai analis sistem. Sebelum secara legal terbentuk pada tahun 1990, dalam 1980-an, beberapa anggotanya secara terpisah (secara kolektif atau individual) bekerja sama dengan gerakan sosial masyarakat Brazil untuk menyelesaikan permasalahan permukiman bagi masyarakat miskin kota. Para pengajar sekolah arsitektur dan mahasiswanya sangat aktif terlibat, tidak hanya meneliti, tapi juga mendorong pemahaman bahwa kebutuhan masyarakat akan hunian tidak hanya berupa rumah, tetapi juga sarana umum seperti tempat bermain, sarana olahraga dan pusat kebudayaan komunitas. Selama satu dekade, pengetahuan teknis desain dan konstruksi bangunan alternatif yang lebih efektif dan efisien (dalam artian sesuai kebutuhan masyarakat dan relatif lebih murah), serta pengalaman solidaritas kaum profesional untuk berkolaborasi dengan masyarakat miskin dan kelas pekerja pun terakumulasi. Keterlibatan para peneliti dan pengajar universitas bukanlah tanpa persoalan. Akibat krisis anggaran, tenaga pendidikan juga saat itu harus menghadapi pemecatan dan pengurangan dana penelitian. Untungnya, kematian satu inisiatif terus diikuti oleh kemunculan inisiatif baru sehingga gerakan kolaborasi untuk habitat yang humanis tersebut terus bergulir. Perlu dicatat, bahwa gerakan sosial (politik) perumahan di Brazil ini juga banyak dipengaruhi oleh gerakan serupa di Uruguay (Pedro Arantes, 2013).
In the 1980s, architects and organized masses came together, thereby accomplishing what had been talked of in the years before the military coup. Although this did nothing to alter the traditional connection between architects and dominant classes, it did open up the possibility that some architects by acting alongside the housing movements and the people of the hidden city might question the profession’s elitism.
(Pada tahun 1980-an, arsitek dan massa yang terorganisir bergerak bersama sehingga menuai kesuksesan atas apa yang telah dibicarakan pada tahun-tahun sebelum kudeta militer. Meskipun tidak berhasil mengubah hubungan tradisional antara arsitek dan kelas-kelas dominan, hal ini membuka suatu kemungkinan dimana para arsitek–dengan bertindak bersama-samagerakan perumahan dan penduduk pelosok kota–bisa mempertanyakan elitisme profesinya.)
(Pedro Arantes, 2013)
Pendekatan pembangunan seperti yang diperkenalkan oleh embrio-embrio USINA kemudian diadopsi untuk pertama kali sebagai kebijakan publik oleh pemerintah kota São Paulo periode 1989-1992, yang saat itu dikuasai oleh Partido dos Trabalhadores (Partai Pekerja). Setelah resmi berdiri, USINA terlibat banyak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah metropolitan São Paulo. Mereka menyebarkan gerakan membangun secara kolektif, dengan kemampuan swadaya dan solidaritas dari komunitas. Mereka mengupayakan transfer teknologi konstruksi bangunan bertingkat sedang (4-8 lantai), seperti kursus untuk tukang bangunan dan keahlian mengelola konstruksi berskala relatif besar, sambil terus melakukan inovasi desain dan konstruksi. Tidak lupa, mereka juga meneliti masalah-masalah sosial dalam membangun dan berhuni secara kolektif. Sampai sekitar tahun 2007, USINA telah bekerja bersama sekitar 15 organisasi gerakan sosial masyarakat (termasuk koperasi-koperasi perumahan rakyat) yang secara langsung telah membawa keuntungan bagi sekitar 5000 keluarga. Salah satu keterlibatan mereka di lapangan adalah memfasilitasi komunitas dalam pembangunan rusun rakyat yang didanai oleh pemerintah Brazil.
[…] In just one decade, the PT [Partido dos Trabalhadores] became the biggest left-wing party in the Western world (in terms of numbers of votes and membership), winning local council elections in several state capitals and losing the presidential election of 1989 by less than 5 per cent of the total vote. As we shall see, it was only under those councils that were run by the PT, that pioneering experiments by militant architects in alliance with social movements had any chance of becoming public policy, and this was particularly so in São Paulo, where the PT won the local elections in 1988. […]
(Hanya dalam satu dekade, PT (Partido dos Trabalhadores) menjadi partai sayap-kiri terbesar di dunia Barat (dalam hal jumlah suara dan keanggotaan), partai itu memenangkan pemilihan dewan dalam sejumlah ibu kota dan kalah tipis dalam pemilihan presiden pada tahun 1989, yakni sebesar 5% dari total suara. Seperti yang akan kita lihat, hanya melalui dewan-dewan yang dipimpin oleh PT-lah eksperimen dari para pelopor arsitek militan yang bergabung dalam gerakan sosial punya peluang untuk menjadi kebijakan publik. Hal ini terutama terjadi di São Paulo, dimana PT memenangkan pemilihan daerah pada tahun 1988.)
(Pedro Arantes, 2013)
Dalam konteks Amerika Latin, komunitas yang membangun rumahnya sendiri bukanlah hal baru. Kampung-kampung di perkotaan Brazil selalu dibangun melalui upaya masyarakat, namun umumnya inisiatif ini dikategorikan sebagai ‘pemukiman kumuh’ (slum), karena rumah-rumah individual tersebut tidak dilengkapi dengan sarana ruang publik dan infrastruktur yang memadai. Hal baru yang dicapai oleh masyarakat bersama USINA adalah hasil akhir berupa apartemen kolektif yang kualitasnya sangat baik, jauh lebih baik daripada rusun rakyat lain yang dibangun pemerintah Brazil melalui pengembang dan kontraktor swasta (Pedro menyebut mereka the capitalists). Dalam presentasinya, Pedro memberikan satu contoh secara detil, sebuah pembangunan pemukiman Projeto Habitacional Vila Monte Sion – di Suzano, aglomerasi urban di pinggiran São Paulo. Lihat http://www.usinactah.org.br/index.php?/s/vlmontesimon/ untuk beberapa ilustrasi.
Dalam pertemuan-pertemuan antara USINA dan komunitas, para arsitek melakukan simulasi pembuatan denah rumah, dengan menempatkan miniatur perabot rumah tangga seperti meja, kursi, dan perlengkapan dapur di atas denah. Denah ini memiliki ukuran standar rusun pemerintah yang berskala sama dengan miniatur-miniatur perabot tersebut. Komunitas pun dapat membayangkan bahwa rusun pemerintah yang didesain pihak swasta mempunyai luasan yang terlampau kecil untuk kebutuhan keluarga mereka. Luas satu unit rusun rakyat yang dibangun pemerintah melalui pengembang dan kontraktor swasta hanyalah 35m2. Setelah itu, masyarakat pun diajak membayangkan kualitas gedung dan lingkungan apartemen mereka. Bangunan rusun yang didesain oleh pihak swasta umumnya bertingkat tinggi, seragam dan monoton, tanpa taman dan fasilitas olahraga (coba bandingkan dengan rusun Kalibata City). USINA menawarkan desain alternatif, dengan ketinggian beragam (namun relatif lebih rendah sehingga dapat dicapai dengan tangga dan bukan elevator), namun tetap berkepadatan tinggi dan menyisakan lahan untuk taman dan fasilitas umum seperti sarana olahraga, fasilitas penitipan anak, kios komunitas dan ruang serbaguna. Bahkan, dalam desain yang ditawarkan USINA, ukuran setiap unit dapat mencapai 65m2. Bukan sulap dan bukan sihir!
Mengapa ukuran setiap unit dapat lebih besar? Yang pertama, dana yang dialokasikan oleh pemerintah untuk perumahan rakyat seluruhnya diterima oleh masyarakat. Tidak ada porsi yang diambil sebagai keuntungan pengembang dan kontraktor swasta. Kemudian, dengan inovasi desain, penghematan struktural dapat dicapai (struktur bangunan ketinggian sedang, sekitar 4-8 lantai, lebih murah daripada bangunan tinggi), sementara lahan yang tersedia dapat dihemat untuk area hijau (dibandingkan dengan jarak antara bangunan tinggi, jarak antara bangunan ketinggian sedang dapat lebih kecil atau bahkan ditiadakan). Dalam beberapa proyek, mereka juga menawarkan model desain bangunan dengan atap datar yang dapat difungsikan sebagai teras dan taman bersama di atas atap. Keuntungan lain, muncullah entitas-entitas bisnis kecilyang dimiliki oleh masyarakat yang mampu menyediakan jasa konstruksi bangunan ketinggian sedang yang berkualitas baik. Sebagai catatan, tenaga kerja untuk proyek apartemen yang didampingi USINA kebanyakan tidak dibayar karena dilakukan oleh dan untuk para penghuni; masing-masing keluarga harus menyediakan 16 jam kerja setiap minggu. Berikut adalah beberapa lembar kutipan presentasi Pedro Arantes di KU Leuven.
Lihat juga proyek-proyek USINA yang lain, seperti Comuna Urbana D. Helder Câmara – Jandira [hyperlink: http://www.usinactah.org.br/index.php?/s/–comuna-urbana-d-helder-camara/], sebuah kompleks hunian dengan taman dan teater terbuka (amphitheatre). Lihat juga di sini [hyperlink: http://www.visibleproject.org/preview/projects/Graziela_Kunsch.php#] mengenai cerita seniman yang ikut berkolaborasi dengan USINA.
USINA berprinsip bahwa dana untuk aktivitas dan model pembangunan mereka akan selalu didanai hanya oleh dana publik, dan tidak tergantung kepada lembaga donor asing. Secara umum, untuk setiap proyek pembangunan rusun rakyat yang didampingi USINA, sekitar 4% dari dana total adalah untuk menghasilkan dokumen gambar kerja teknis, dan sekitar 6% untuk bantuan teknis dan sosial dari USINA (saya menduga bahwa di luar aktivitas bersama USINA, para anggotanya juga bekerja secara profesional di sektor profit, sehingga 6% ini bukan berupa honor melainkan hanyalah biaya operasional selama proyek berjalan). Menurut situs USINA, total nilai satu unit rumah (di luar harga tanah yang umumnya disediakan pemerintah dengan subsidi 100%) sekitar $12,000 – 15,000 Dolar Amerika atau sekitar Rp 130 juta. Sebagian dari harga bangunan ini harus dibayarkan kembali kepada pemerintah dengan bunga yang sangat rendah. Sebagai catatan, tanah tetap dimiliki oleh pemerintah. Menurut the Economist, dalam skema pinjaman lunak pemerintah Brazil untuk perumahan rakyat, rata-rata rumah tangga harus membayar cicilan yang lebih rendah daripada harga sewa jika mereka harus mengontrak.
Tentu membangun hunian kolektif oleh dan untuk masyarakat memakan waktu yang lebih lama, karena melibatkan banyak sekali pertemuan, pengambilan konsensus yang tidak bebas dari konflik, dan harus didahului oleh serangkaian pelatihan teknis. Namun, banyak sekali keuntungan yang kemudian diterima masyarakat. Secara tidak langsung, melalui replikasi oleh lembagai lain, pendekatan pembangunan seperti ini telah menguntungkan sekitar 25,000 keluarga. Tentu dapat dibayangkan bahwa konsep pembangunan ini tidak dapat berhasil tanpa dukungan banyak sekali tenaga profesional seperti arsitek, ahli teknik sipil dan perencana kota; tidak kalah pentingnya pula tukang batu, tukang kayu, tukang pipa air dan tenaga gali. Tentunya, yang paling mendasar, konsep seperti ini membutuhkan masyarakat yang terorganisasi baik dan solid yang disertai oleh mediasi dan negosiasi politik dengan dan di dalam pemerintahan.
***
Cerita sukses ini adalah buah dari perjuangan banyak kelompok selama beberapa dekade. kerja bersama. Solidaritas dalam berkota, bukanlah hasil kerja semalam. Dalam presentasinya, Pedro bercerita bahwa masyarakat yang bekerja bersama USINA umumnya sudah meninggalkan budaya individualistis. Komunitas Suzano yang mereka bantu, misalnya, sudah terbiasa hidup berkelompok dengan penuh solidaritas, dengan binaan gereja berhaluan teologi pembebasan di Brazil.
Model pembangunan seperti ini banyak menerima tantangan. Secara internal, organisasi-organisasi masyarakat yang merupakan tonggak dalam model ini dapat melemah. Secara eksternal, banyak pihak tidak menyukai kemandirian masyarakat. Pedro bercerita bahwa kemenangan Partai Pekerja memang melahirkan banyak kebijakan publik yang berpihak pada rakyat kecil, seperti anggaran perumahan rakyat yang cukup besar[2]. Misalnya, dalam Program ‘My House My Life’ tahap kedua saja, pemerintah federal menganggarkan 44.2 milyar Dolar Amerika[3]. Ironisnya, dari total pembangunan perumahan yang didanai anggaran pemerintah, hanya 1% saja yang dilakukan sendiri oleh masyarakat; sebanyak 99% tetap menggunakan jasa kontraktor dan pengembang swasta yang banyak melakukan praktik suap kepada para petinggi Partai Pekerja!
Perjalanan rakyat Brazil untuk menciptakan kota yang humanis masih panjang. Apalagi untuk Rakyat Indonesia. Jika mereka tidak pernah lelah, kita harus memulai. Tulisan ini sekadar menjadi penggelitik bahwa ada banyak model pembangunan alternatif menuju kota yang humanis, asalkan masyarakat mau dan mampu mengorganisir dirinya dan berkarya bersama.
Leuven, Mei 2013, dari berbagai sumber.
*Prathiwi sedang mempelajari model kebijakan pengelolaan air limbah domestik dan penyediaan infrastruktur sanitasi dasar. Ia memobilisasi teori kritis untuk menganalisis ‘kota informal’, ‘sektor informal’, dan kampung kota Jakarta. Dapat dihubungi melalui prathiwi.putri@gmail.com atau http://berkota.wordpress.com/.
[1] Secara singkat, konsep pembaharuan kota (urban renewal) dibuat oleh negara-negara maju untuk memperbaiki area-area kumuh yang kebanyakan diisi oleh apartemen kelas pekerja dan/atau kaum imigran. Bentuknya dapat berupa pembangunan hunian baru yang lebih moderen disertai jaringan infrastruktur canggih, transportasi cepat dan taman-taman kota. Dalam banyak kasus, perbaikan lingkungan ini ternyata membuat para pekerja dan komunitas lama terusir keluar dari area tersebut. Kawasan lama tapi baru itu menjadi sangat menarik bagi kelas menengah yang mampu membayar lebih. Lihat tulisan-tulisan Jane Jacobs (ada referensi spesifik?). Lihat juga pengalaman Kampung Improvement Programme (KIP) di Indonesia yang berujung serupa.
[2] Lihat juga http://www.global-labour-university.org/fileadmin/GLU_Working_Papers/GLU_WP_No.9.pdf. Lihat juga http://www.eadi.org/fileadmin/Documents/Events/General_Conference/2008/paper_Malard.pdf untuk sejarah kebijakan publik Brazil terkait perumahan rakyat dan contoh model program kredit perumahan rakyat.
[3] Bandingkan dengan dana publik Indonesia untuk perumahan tahun anggaran 2007-2013 yang hanya sekitar 150 trilyun Rupiah atau sekitar 15 milyar Dolar Amerika. Angka ini adalah nilai total, yang berarti terbagi-bagi lagi menjadi banyak komponen anggaran.