TAMPAKNYA, bulan madu antara Jokowi-Ahok dengan sebagian rakyat Jakarta mulai gersang. Satu per satu, keduanya mulai menemukan kenyataan bahwa program-programnya harus bertabrakan dengan kepentingan rakyatnya sendiri. Contoh terkini dan paling ramai diliput media adalah kasus penggusuran rakyat di bantaran Waduk Pluit, yang melibatkan tiga pihak: warga yang bermukim di waduk dan sekitar waduk; pemerintah DKI Jakarta, dan pihak Komnas HAM.
Sejauh pengamatan saya melaui media, Pemda DKI yang dituntut untuk menyelesaikan masalah banjir tahunan, berpendapat bahwa salah satu cara menanggulangi banjir adalah dengan mengembalikan fungsi dari waduk Pluit tersebut. Konsekuensinya waduk itu harus dikeruk, dan itu berarti penduduk yang mukim di wilayah itu harus dipindahkan. Tak ada toleransi bagi penduduk untuk tetap tinggal di waduk tersebut. Semua harus digusur tanpa kecuali. Jika tidak, program penanggulangan banjir pasti terhambat. Dengan visi Jakarta baru, pemindahan/penggusuran warga ini dibarengi dengan penyediaan rumah susun buat warga yang kena gusur.
Tapi program ini mendapat tentangan dari warga yang bakal tergusur. Banyak dalih kenapa mereka menolak digusur, dan ketika berhadapan dengan tembok kokok pemprov yang sudah ‘penggusuran harga mati,’ maka warga ini kemudian melapor ke Komnas HAM. Singkat cerita, Komnas HAM menuding bahwa ada pelanggaran HAM dalam proses pengerukan Waduk Pluit tersebut. Tak mau nama baik Pemprov tercemar, Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pun meradang. Seperti Jokowi, ia merasa heran kenapa mereka dituduh melanggar HAM oleh lembaga seperti Komnas HAM?
‘Ada yang bilang kita ini melanggar HAM. HAM yang mana? Wong kita pindahkan ke rusun kok, lengkap ada TV gratis, meja kursi gratis, tempat tidur gratis, kompor gratis, tinggal masuk. (Pelanggaran) HAM-nya yang mana? Masa melanggar HAM? HAM yang mana gitu lho,’ ujar Jokowi di Universitas Tarumanegara, Jakarta (detik.com, 16/05/2013).
‘Apa perlu saya kasih kuliah umum kepada mereka tentang arti HAM itu apa. Nanti kalau jadi kuliah umum, ya, saya jelaskan HAM itu apa kepada mereka,’ kata Basuki di Balaikota DKI Jakarta, (Kontan, 16/5/2013).
Saya ingin mendiskusikan debat ini, bukan pada hal-hal detail di lapangan, karena saya tidak tahu bagaimana keadaan di lapangan yang sebenarnya. Yang ingin saya soroti di sini, bagaimana dalam debat ini, baik Komnas HAM maupun Pemprov memiliki kesadaran historis yang terbatas. Dan ini berdampak pada strategi pembangunan Jakarta ke depan nantinya.
Masalah Urbanisasi
Dalam teori yang telah menjadi klasik, ada dua cara untuk menjelaskan mengapa orang bermigrasi dari desa ke kota, dari pinggiran kota ke pusat kota, dari negara miskin ke negara maju. Pertama adalah teori push factor, yang mengatakan bahwa urbanisasi terjadi karena terpaksa. Orang desa atau orang dari pinggiran kota terpaksa pindah ke kota (Jakarta), karena di desa tidak ada lagi pekerjaan yang bisa membuat kehidupan mereka bertambah baik. Kalau ada pekerjaan yang baik dengan pendapatan yang memadai di desa, maka mereka tidak akan pindah ke kota. Jadi mereka pindah karena didorong oleh keterpaksaan, oleh ketiadaan pilihan.
Teori kedua adalah teori pull factor, yang mengatakan bahwa orang bermigrasi ke kota karena adanya iming-iming kehidupan kota yang lebih baik dari kehidupan di desa. Jadi, pilihan untuk pindah ke kota, lebih merupakan pilihan yang sadar. Bukan karena kehidupan di desa tak lagi menjanjikan perbaikan hidup, tapi kota memberikan janji perbaikan hidup yang lebih besar lagi.
Tetapi, kedua pendekatan teoritik ini tidak bisa menjawab secara memadai kenapa orang mesti pindah ke kota. Kedua teori itu menjelaskan ‘kenapa orang bermigrasi ke kota (aspek mikro’), tetapi bukan menjelaskan ‘latar belakang/aspek makro’ dari kenapa orang bermigrasi ke kota. Untuk mengetahui aspek makronya, maka kita mesti melihat bagaimana kebijakan pembangunan secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih panjang. Tersebutlah cerita, ketika Orde Baru berkuasa, ideologi pembangunan kapitalistik yang dianut oleh rezim tersebut bertumpu pada tiga doktrin utama (trilogi pembangunan): pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Trilogi ini diadopsi untuk mewujudkan sebuah ide tentang ‘jalan menuju kemakmuran’ yang pernah ditempuh oleh negara-negara yang telah dikategorikan maju. Pertumbuhan ekonomi dilakukan melalui jalan modernisasi, yang diukur dari seberapa besar dan cepat pergeseran dari sumbangan sektor pertanian ke sektor industri. Pembangunan dikatakan maju, jika kontribusi sektor industri semakin besar dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian dalam pendapatan domestik bruto (PDB).
Karena itu, industrialisasi menjadi panglima. Investasi asing diundang masuk melalui penyediaan fasilitas dan insentif keuangan perbankan dan non-perbankan, pendirian pabrik-pabrik dipermudah, pembebasan lahan pertanian diperluas hingga ke daerah pinggiran dan pedesaan, dan di sektor pertanian revolusi hijau digalakkan yang menyebabkan terjadinya proletarianisasi pedesaan. JIka ada rakyat menolak tanahnya dipakai untuk ‘kepentingan umum,’ di situ kemudian stabilitas politik bicara. Karena itu, semua proyek modernisasi ini tidak berlangsung secara sukarela, tetapi melalui paksaan dengan menggunakan alat kekerasan negara seperti polisi, tentara, serta para preman yang dibina oleh negara.
Apa yang terjadi kemudian? Sesuai dengan hukum kapitalisme yang selalu berwatak uneven development (pembangunan yang tidak seimbang), yang terjadi kemudian adalah kota lebih maju dari desa atau desa menjadi tergantung pada kota; sektor pertanian menjadi sangat tergantung pada sektor industri; sebagian orang menjadi sangat kaya dan mayoritas tetap miskin atau menjadi semakin miskin. Akibatnya, bukan saja penduduk pinggiran atau pedesaan ini kehilangan tanahnya karena perluasan pabrik-pabrik, tapi lebih dari itu mereka kehilangan sumber penghidupannya karena sektor pertanian tak lagi menarik untuk ditekuni. Para ahli studi pembangunan menyebut mereka ini sebagai korban pembangunan. Tentu tak semua penduduk pedesaan ini jatuh miskin, sebagian kecil dari mereka mendapatkan keuntungan dari proses modernisasi yang berlangsung sangat pesat itu.
Dengan tingkat pendidikan dan sistem transportasi yang semakin baik, maka tingkat urbanisasi penduduk pedesaan, yang notabene adalah korban pembangunan itu, ke kota meningkat dari waktu ke waktu. Kota, ibaratnya, adalah gula yang mengundang para semut (penduduk pedesaan dan pinggiran) untuk beramai-ramai mengerubunginya. Mereka berjudi mengadu-nasib, membangun mimpi tentang kehidupan yang lebih baik di kota yang menjadi pusat perdagangan, industri, dan jasa. Tetapi, seperti juga sudah ditunjukkan oleh banyak sekali studi empiris, mayoritas penduduk pedesaan yang bermigrasi ke kota ini gagal mengisi peluang-peluang kerja formal yang tersedia di kota. Akhirnya mereka terlempar ke sektor informal yang tidak ada jaminan keselamatan kerja, karir, dan tingkat upah yang tetap. Sebagian dari mereka yang tidak tertampung di sektor informal ini pada akhirnya terjatuh ke dunia ‘hitam,’ menjadi preman atau penjahat kambuhan.
Karena bekerja di sektor informal, maka mereka otomatis tak bisa menyewa rumah dengan kualitas yang memadai, tidak mampu membeli tanah, sehingga tak ada pilihan lain kecuali menduduki sembarang tempat kosong yang ada di Jakarta: di pinggir sungai, di bantaran waduk, di bawah jembatan, di kolong jalan tol, dsb. Di sisi lain, banjir manusia ini tidak mampu lagi ditampung oleh daya dukung lahan dan ruang yang tersedia di kota. Bukan hanya mereka menduduki lahan kosong, tapi juga membangun pemukiman kumuh di atas lahan tersebut. Dan karena menduduki tanah-tanah yang bukan ‘miliknya’ itu maka mereka seringkali menjadi korban penggusuran dengan kekerasan, pemerasan, maupun intimidasi dari pejabat pemerintah yang menjadi kaki-tangan para kapitalis. Jadi para korban pembangunan ini, yang terusir dari desanya, kemudian di kota juga menjadi korban dari hukum formal yang ada.
Dengan demikian, kalau kita bicara urbanisasi dalam perspektif historis seperti ini, maka kita mesti menempatkan para migran itu sebagai korban, yang hak-haknya mesti dilindungi dan dipulihkan. Bukan mengkriminalisasi mereka karena telah menjarah atau menduduki tanah yang bukan haknya. Kita tidak bisa semena-mena menggunakan hukum formal kepada mereka, karena hukum formal itu tegak di atas sebuah sistem sosial yang timpang, diskriminatif, dan rasis. Dengan kata lain, kalau kita gunakan hukum formal semata, maka kita sebenarnya tengah mengekalkan sistem sosial yang timpang, diskriminatif, dan rasis tersebut. Ini jelas bertentangan dengan tujuan bahwa kita ingin memberdayakan mereka.
Lantas, apakah penduduk di bantaran Waduk Pluit itu tak usah dipindahkan karena mereka adalah ‘korban pembangunan?’ Saya tidak ingin mengatakan demikian. Membiarkan penduduk hidup di tempat-tempat kumuh, tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan yang baik tentu saja merupakan pelanggaran HAM yang serius. Tetapi, mengatakan penduduk tersebut melakukan pelanggaran HAM karena menduduki tanah negara, juga tidak benar. Sebab, sekali lagi, mereka ada di sana, menduduki tanah-tanah kosong itu sebagai akibat dari kebijakan negara yang salah di masa lalu.
Apa yang ingin saya kemukakan di sini, baik Jokowi-Ahok dan Komnas HAM harus sama-sama menyadari bahwa ada persoalan struktural dan kultural yang begitu besar dan rumit yang mereka hadapi ketika hendak memperbaiki Jakarta dan penduduknya saat ini. Dalam kasus bantaran Waduk Pluit ini, mereka harus menempatkan HAM dalam konteks ini, bukan dengan merapal teks-teks HAM dari buku atau hukum-hukum positif yang ada. Hambatan struktural dan kultural ini merupakan warisan dari sistem pembangunan kapitalistik yang dilakukan oleh rezim Orba. Dan sistem kapitalisme yang berbentuk neoliberal saat ini, masih menjadi model acuan pembangunan nasional. Dalam model ini, Jakarta hanya merupakan salah satu bab darinya. Dengan demikian, jika Jokowi-Ahok tetap mengunakan model pembangunan yang meniru ‘jalan menuju kemakmuran’ yang telah dicapai oleh negara-negara maju sekarang, maka keduanya pasti akan gagal. Atau, paling tidak, program Jakarta Baru mereka akan menelan ‘korban manusia’ yang sangat mahal.
Adakah jalan keluar? Tidak ada resep yang cespleng. Tapi baiklah saya ingin memaknai slogan ‘Jakarta Baru’ ini dengan positif, dan juga melihat beberapa program positif yang dilakukan oleh pasangan Jokowi-Ahok. Menurut saya, jika keduanya ingin program-programnya sukses, maka jalan terbaik adalah ‘semakin memperkuat kerjasama politiknya dengan rakyat.’ Jangan berharap bahwa tanpa dukungan rakyat, program kalian akan berjalan mulus. Jokowi, terutama Ahok, jangan bermimpi bahwa hambatan struktural dan kultural itu bisa mereka hadapi hanya dengan bersandar pada aparatus rezim lama. Tidak pernah ada sejarah dimana program-program populis berlangsung mulus tanpa dukungan rakyat yang kuat. Dan dukungan rakyat itu harus dibangun dan diorganisasikan, karena itulah kelemahan utama rakyat saat ini: tidak punya organisasi yang mandiri dan kuat. Kasus Anggaran Partisipatif di Porto Alegre, Brazil, bisa dijadikan contoh. Program Anggaran Partisipatif itu sukses dan diakui, termasuk oleh Bank Dunia, karena adanya dukungan luas dan kuat dari rakyat bawah yang selama itu terpinggirkan dari proses pembangunan. Tetapi, ketika program yang sama diterapkan di negara lain, misalnya, di kota Montevideo, Uruguai, program ini tidak berjalan mulus. Sebabnya, karena yang diadopsi hanya aspek teknisnya saja, sementara aspek partisipasi warga dihilangkan.
Sebaliknya, rakyat juga mesti sadar bahwa Jokowi-Ahok tidak bisa diharapkan terus berpihak pada kepentingan mereka. Jalan terbaik untuk memastikan bahwa Jokowi-Ahok tetap setia pada janji-janji politiknya, adalah rakyat sendiri mesti mengorganisir dirinya dengan baik. Yang saya bayangkan, warga di bantaran Waduk Pluit, misalnya, sudah harus mulai mengorganisir dirinya, kemudian membangun organisasi yang mandiri, belajar membangun tradisi demokrasi dalam organisasi tersebut, dan belajar merumuskan masalah dan menentukan program-program kerja yang terukur. Dengan begitu, mereka bisa datang atau meminta Pemprov DKI, untuk berdialog dengan lebih jelas dan tepat apa yang menjadi kehendaknya. Jika hanya mengharapkan terus kebaikan hati dari Jokowi, tapi tidak mau mengorganisir diri, itu sama artinya menyiapkan diri untuk menjadi korban dari kebijakan Jokowi-Ahok yang belum tentu berpihak pada kepentingannya.
Kasus bantaran Waduk Pluit seharusnya memberi pelajaran berharga pada kedua belah pihak, Jokowi-Ahok dan warga Jakarta, kini saatnya membangun kerjasama politik yang lebih baik, secara organisasional dan programatik.***
Penulis adalah editor IndoPROGRESS