APA arti Mayday (Hari Buruh) bagi mahasiswa? Di saat aktivisme buruh semakin menunjukkan kekuatannya, dan di saat moda produksi kapitalisme semakin merambah ranah-ranah kehidupan kita, persinggungan antara mahasiswa dan buruh semakin kentara.
Di Indonesia, seperti juga belahan dunia lain, hari buruh diperingati setiap tanggal 1 Mei. Namun, sehari setelahnya, Indonesia juga memperingati hari pendidikan nasional yang, seperti hari buruh, menjadi ajang konsolidasi gerakan mahasiswa untuk berdemonstrasi. Dua hari yang bersebelahan ini seperti menjadi ‘hari raya;’ Buruh merayakan Mayday dengan demonstrasi pada tanggal 1, sementara keesokan harinya, mahasiswa juga menggelar aksi-aksi demonstrasi.
Persoalannya, pada dua ‘hari raya’ di atas, kita melihat sebuah fenomena yang agak ironis: tuntutan yang diajukan di dua perayaan tersebut seringkali tak jauh berbeda. Buruh menuntut isu-isu yang berbasis pada kesejahteraan hidup mereka, sementara mahasiswa juga sama. Ironis, sebab kondisi demikian membuat gerakan rakyat menjadi terfragmentasi; tidak pernah ada titik singgung yang mempertemukan kepentingan masing-masing, apatah lagi kata-sepakat untuk tujuan bersama yang lebih besar.
Hal ini sebetulnya problematis: Sebab, dengan tren kapitalisme global yang semakin menunjukkan adanya konvergensi antara ‘kerja’ dan ‘pengetahuan,’ logika gerakan buruh dan mahasiswa justru bergerak ke arah yang berlawanan. Sehingga, model-model perlawanan kedua jenis gerakan ini seringkali terlokalisasi. Konsekuensinya, kapitalisme dengan begitu hegemonik berhasil melemahkan perlawanan-perlawanan yang dibangun baik oleh mahasiswa maupun buruh.
Tulisan ini akan beranjak dari problem tersebut untuk memberikan penjelasan, mengapa gerakan buruh dan mahasiswa, paling tidak, harus mempertemukan kepentingannya dalam satu kepentingan bersama. Hal ini penting agar peringatan Mayday dan Hari Pendidikan Nasional tidak sekadar menjadi perayaan para aktivis serikat atau pergerakan mahasiswa, tetapi juga mampu menjadi kekuatan (baca: subjek) yang efektif untuk menghadapi perkembangan kapitalisme yang kian hebat. Tulisan ini akan memulai dari perkembangan ekonomi-politik kapitalisme di Indonesia saat ini.
Konvergensi ‘Kerja’ dan ‘Pengetahuan’
Untuk menjelaskan ‘makhluk’ yang bernama kapitalisme saat ini, kita mesti terlebih dulu memetakan bagaimana ia berkembang dan bertransformasi menjadi sebuah kekuatan di Indonesia. Analisis Prof. Richard Robison dalam karya klasiknya, Indonesia: The Rise of Capital dan analisis bersama Prof. Vedi Hadiz dan Richard Robison dalam karyanya yang lain, Reorganising Power in Indonesia, dapat menjadi pengantar untuk memetakan kondisi ini.
Mengutip dua karya di atas, kita bisa memetakan perkembangan kapitalisme di Indonesia menjadi tiga babakan: Pertama, fase industrialisasi (1967-1980an) yang mentransformasikan ‘petani’ menjadi ‘buruh’ dan mengonsolidasikan basis-basis produksi; kedua, fase liberalisasi sektor jasa dan finansial(1980an-1998) yang melahirkan jenis ‘buruh’ baru yakni kaum borjuis-upahan, mereka yang dalam banyak literatur disebut ‘kelas menengah’; dan ketiga, fase ‘negara neoliberal’ di mana semua sektor kehidupan di-incorporate dalam logika ekonomi pasar, dan menyebabkan sektor-sektor produksi menjadi konvergen dengan basis-basis pengetahuan. Kondisi ini menyebabkan kampus menjadi salah satu basis terpenting untuk menciptakan para buruh berpendidikan.
Fase pertama ditandai oleh masuknya perusahaan-perusahaan modal asing ke Indonesia (melalui paket UU PMA) dan konsolidasi kembali kapitalisme setelah tercerai-berai di era Demokrasi Terpimpin. Era penanaman modal asing ini, menurut Robison (1987), ditandai oleh rehabilitasi basis-basis industri di Jawa Barat dan Jawa Timur, serta modernisasi pertanian. Negara, pada era ini, menginvestasikan anggarannya untuk membangun basis industri dan proyek-proyek pertanian, yang dapat kita baca sebagai upaya untuk mengonsolidasikan kembali basis kapitalisme industrial. Agenda ini didukung oleh faktor oil-boom yang menyebabkan industri perminyakan menjadi primadona dan penghasil uang. Dalam catatan Robison, kapitalisme beroperasi dalam logika developmentalis yang menempatkan ‘negara’ sebagai alat utama untuk melakukan akumulasi kapital.
Namun, seiring dengan surutnya produksi minyak Indonesia di tahun 1980an, Indonesia terpaksa harus mengubah strateginya. Di era ini, mulai diperkenalkan liberalisasi sektor jasa dan keuangan yang beroperasi melalui perbankan dan deregulasi sektor riil dan moneter. Konsekuensunya, dengan munculnya investasi-investasi baru, mulai muncul kelompok baru yang sering disebut ‘kelas-menengah’. Pada era ini.Pasar Modal dan Pasar Saham menjadi trademark, juga perbankan yang membuat kapitalisme beroperasi pada logika investasi (Hadiz dan Robison, 2004). Akibatnya, monopoli negara pada urusan jasa harus harus di-privatisasi, menjadikan kapitalisme bergantung pada peredaran uang dan jasa, selain pada produksi dan buruh.
Tetapi ternyata era ini harus berhenti ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1997-1998. Dimulailah era baru kapitalisme: ‘neoliberal state.’ Bergantung pada doktrin good governance yang dipromosikan oleh IMF dan Bank Dunia, Indonesia mulai meliberalisasi tidak hanya sektor jasa dan keuangannya, melainkan hampir seluruh sektor kehidupannya. Hampir seluruh institusi publik yang tadinya dikelola pemerintah, termasuk institusi pendidikan tinggi, kesehatan, BUMN, perminyakan (Pertamina), dan institusi-institusi lain diprivatisasi. Seiring dengan hal tersebut, hambatan tarif dibuka dan mulailah liberalisasi perdagangan dibuka. Era ini mengintegrasikan kapitalisme dengan seluruh aspek kehidupan dan menjadikan setiap individu pada seting-sosial kapitalisme. Dengan kata lain, seluruh aktivitas kerja sekarang terintegrasi dengan kapitalisme, tidak hanya di level nasional, tetapi juga level global, sehingga membuat setiap individu akan menjadi bagian dari kapitalisme.
Perkembangan kapitalisme ini melahirkan beberapa konsekuensi bagi kaum buruh. Pertama, proses akumulasi-kapital tidak hanya dilakukan di pabrik, tetapi juga di berbagai tempat. Kita bisa sebut, misalnya, kampus, rumah sakit, Bank, sekolah, dan berbagai lokasi lain yang mana di dalamnya berlangsung proses komodifikasi. Logika awal akumulasi-kapital, sebagaimana diungkap Marx dalam Capital, selalu berlangsung dengan proses transfer Komoditas-Uang-Komoditas’-dst. Sebagai contoh, di kampus, kita lihat logika yang sama beroperasi pada pengetahuan: dengan proses liberalisasi pendidikan yang membuat biaya kuliah mahal, pengetahuan menjadi ‘komoditas’, yang mana ia akan ditransformasikan menjadi ‘pengetahuan/komoditas’ melalui uang (liberalisasi yang membuat pembiayaan pendidikan diserahkan ke pasar dan mahasiswa dan membuat biayanya luar biasa mahal).
Kedua, seiring berkembangnya waktu, ‘buruh’ tidak lagi didefinisikan hanya sekadar mereka yang bekerja di pabrik, tetapi juga mereka yang bekerja dalam proses komodifikasi. Ia bisa jadi para intelektual//pekerja kesehatan untuk mentransformasikan pengetahuan/kesehatan/saham menjadi sebuah komoditas baru. Perbedaannya dengan kaum buruh di pabrik adalah mereka dibayar dengan uang yang besar karena mengandaikan ada spesialisasi yang didapat melalui pengetahuan, sehingga tidak menyebabkan proses alienasi tidak terjadi dengan represi, melainkan justru dengan penikmatan-penikmatan (jouisasnce). Ini mungkin yang disebut oleh Zizek (2009) sebagai surplus-of-jouissance.
Ketiga, semakin konvergennya ‘kerja’ dengan ‘pengetahuan.’ Karena kapitalisme masuk pada semua lapis kehidupan yang dimungkinkan dengan adanya proses liberalisasi, ‘kerja’ sekarang membutuhkan keahlian-keahlian tertentu. Sebab, kapitalisme tidak lagi memproduksi barang yang sifatnya material, melainkan juga sesuatu yang ‘abstrak’ seperti pergeseran harga sahal di bursa efek. Artinya, di sini, kerja membutuhkan spesialisasi yang hanya bisa didapat melalui pengetahuan. Dengan demikian, kampus menjadi instrumen penting bagi penciptaan para buruh-spesialis yang siap sedia untuk menjadi bagian dari proses produksi kapitalisme dengan pengetahuan yang ia miliki. Itulah sebabnya, dalam dokumen Country Assistance Strategy Bank Dunia yang baru, interkoneksi antara ‘perguruan tinggi’ dengan ‘dunia industri’ menjadi capaian yang harus dituju oleh institusi pendidikan tinggi ke depan.
Mahasiswa: Buruh Masa-Depan
Apa artinya hal-hal tersebut bagi mahasiswa? Kita bisa menyimpulkan, sebetulnya, bahwa mahasiswa adalah para buruh masa-depan. Dengan semakin konvergennya ‘kerja’ dan ‘pengetahuan’, maka mahasiswa dituntut untuk dapat comply dengan kebutuhan industri. Kampus menjadi sarana penting untuk menciptakan tenaga kerja yang terdidik, yang dapat men-sustain-kan moda produksi kapitalisme di masa yang akan datang.
Hal ini, disadari atau tidak, sebetulnya memberikan implikasi penting bagi gerakan mahasiswa dan gerakan buruh saat ini. Dengan posisinya sebagai ‘buruh masa-depan’, maka mahasiswa sebetulnya harus sadar bahwa kepentingan buruh saat ini adalah kepentingannya di masa yang akan datang. Ketika mahasiswa lulus, dalam profesi apapun ia bekerja, ia harus sadar bahwa ia adalah ‘buruh’. Kesadaran atas subjektivitasnya inilah yang, menurut Zizek (2009) akan menjadi salah satu fondasi dari resistensi yang ia bangun pada konstruksi bangunan yang bernama kapitalisme.
Jika mahasiswa adalah ‘buruh masa-depan,’ maka sudah selayaknya gerakan mahasiswa saat ini mengambil posisi yang inheren dengan gerakan buruh. ‘Subjek’ mahasiswa saat ini, dalam relasi produksi kapitalisme kontemporer, adalah buruh-di-masa-depan; Ia harus mengidentifikasikan dirinya dengan melihat ‘buruh’ sebagai cermin -jika menggunakan terminologi Lacanian- dan menjadikan buruh sebagai penanda-utamanya. Subjek mahasiswa adalah subjek yang berkekurangan, dan ketika ia berhadapan dengan ganasnya alam kapitalisme, ia harus menutup lubang tersebut dengan hasratnya. ‘Hasrat’ tersebut kemudian melahirkan sistem penandaan -bahasa- yang dijangkarkan oleh sebuah penanda-utama tertentu. Jika logika ini dipakai, dengan menjadikan ‘buruh’ sebagai penanda-utama, seluruh bahasa gerakan mahasiswa akan berorientasi pada relasi produksi kapitalisme yang menyertakan buruh sebagai penanda utamanya, mengintegrasikan gerakannya dengan ‘gerakan buruh’ saat ini.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah buruh sendiri saat ini sadar dengan posisinya pada relasi produksi kapitalisme? Di sini yang menjadi catatan kita. Jika buruh sendiri memahami subjektivitasnya sebagai bagian penting dari relasi produksi kapitalisme, maka identifikasi buruh terhadap dirinya sendiri bukanlah sesuatu yang parsial, dalam arti ia hanya memikirkan bagaimana cara menaikkan upah minimum atau jaminan sosial, tetapi juga ‘sesuatu’ yang lebih luas dari itu: bagaimana membangkitkan kesadaran bahwa ‘semua orang yang bekerja’ adalah buruh dan dengan demikian semua kepentingan masyarakat Indonesia yang berada dalam relasi produksi kapitalisme adalah kepentingan buruh juga. Di sini, kita bisa melihat celah konvergensi gerakan mahasiswa dan gerakan buruh: seluruh isu yang berkaitan dengan mahasiswa, karena ia adalah buruh masa-depan, adalah isu yang bersinggungan dengan kepentingan buruh sendiri.
Mari kita lihat secara lebih clear. Mengapa buruh penting bagi mahasiswa dan juga sebaliknya? Pertama, sebagamana saya katakan di atas, mahasiswa adalah buruh masa-depan. Oleh sebab itu, gerakan buruh seharusnya melihat ‘mahasiswa’ sebagai basis perkaderan. Merekalah yang di masa depan akan menggantikan para buruh dalam bergerak. Sehingga, aktivitas perkaderan buruh semestinya juga dilakukan di kampus-kampus. Mahasiswa harus dibangkitkan kesadarannya bahwa ia adalah calon penerus para buruh; dan dengan demikian harus memahami logika buruh sebagai sebuah kelas tersendiri. Paling tidak, mahasiswa memahami relasi produksi kapitalisme bukan dari logika menara-gading, melainkan dari logika buruh sendiri. Ini akan membuat kesadaran mahasiswa sebagai buruh tumbuh, dan ia akan mampu menentukan subjektivitasnya di masa depan.
Kedua, buruh memerlukan pengetahuan. Terutama, pengetahuan mengenai relasi produksi kapitalisme sekarang ini secara lebih objektif. Dengan demikian, buruh akan mampu memetakan strateginya untuk menghadapi para pemodal yang, sekarang, tidak hanya menekan mereka secara represif, tetapi juga mengakomodasi kepentingan parsial buruh dalam logika yang hegemonik. Hal ini disediakan oleh mahasiswa dalam proses ia belajar di kampus. Dengan demikian, gerakan mahasiswa memiliki satu hal yang membuat ia membedakan diri dari gerakan buruh: basis pengetahuan. Jika pengetahuan tersebut didedikasikan kepada buruh, dalam arti ia menjadi salah satu basis pengorganisasian buruh, gerakan mahasiswa akan mendapatkan relevanasinya.
Ini bukan berarti gerakan mahasiswa harus ikut dalam satu gerakan yang dikonstruksi oleh kaum buruh. Melainkan, di sini, keduanya harus memahami subjektivitasnya masing-masing. ‘Subjek’ buruh adalah berbeda dengan ‘Subjek mahasiswa’ -mahasiswa tentu saja berbeda dengan buruh dalam arti ia tidak memenuhi kriteria untuk menjadi ‘subjek’ buruh, tetapi keduanya dipersatukan dalam satu penanda-utama yang sama. Ini berarti, gerakan mahasiswa harus paham dan ambil bagian dalam gerakan buruh, dan begitu juga sebaliknya: gerakan buruh juga turut ambil bagian dalam pengorganisasian mahasiswa.
Artinya, jika kedua subjek sudah memahami subjektivitasnya, kita akan sampai pada satu kesimpulan bahwa sebetulnya, perjuangan-kelas masih relevan. Transformasi kapitalisme tidak lantas berimplikasi pada peleburan kelas-kelas: ia justru mempertegas ‘kelas.’ Zizek (2009) di sini benar, ketika ia berpendapat bahwa modus kapitalisme yang berbasis pada finansial sejatinya tidak berbeda dengan kapitalisme industrial, dalam arti yang berbeda hanyalah bentuk-nya; logikanya tetap sama. Subjek yang dilahirkan dari kapitalisme, tetap akan mengarah pada dua pilihan yang antagonistik: ‘borjuis’ atau ‘proletariat’ (sebagaimana diktum Marx dalam The Communist Manifesto). Namun, yang kemudian membuat keduanya tampak kabur adalah hal-hal yang mengalienasi subjek. Buruh tetap buruh, hanya saja ia dialienasi oleh penikmatan-penikmatan yang diberikan oleh modus kapitalisme baru kepadanya. Tetapi, jika seorang buruh sadar akan posisi ‘kelas’-nya, dalam artian ia sadar dari fantasi ideologis yang dikonstruksi oleh kapitalisme kontemporer, maka ia hanya akan memandang ‘Yang-Lain’ sebagai borjuis. Hal yang sama, terjadi, dalam konteks mahasiswa sebagai buruh masa-depan
Buruh Masa-Kini dan Buruh Masa-Depan, Bersatulah!
Kondisi semacam ini hanya bisa kita konkretkan dalam bentuk gerakan, jika baik mahasiswa dan buruh, menyadari subjektivitasnya. Kesadaran kelas, meminjam Lukacs, menjadi sangat relevan di era kapitalisme kontemporer. Selama buruh hanya mengidentifikasikan dirinya pada batas-batas yang diberikan oleh Serikat, dalam artian keanggotaan yang bersifat sangat sempit, maka buruh akan susah memahami perjuangan mahasiswa. Begitu juga, jika mahasiswa hanya mengidentifikasikan dirinya pada parameter yang diberikan oleh organisasi mahasiswa, ia tidak akan paham mengapa buruh berjuang. Yang harus dilakukan keduanya, untuk mendapatkan gambaran tentang ‘diri,’ adalah menempatkan posisi mereka dalam relasi produksi kapitalisme sekarang, dan meletakkan dirinya pada logika antagonisme yang disandarkan pada ‘ekonomi-politik’ produksi kontemporer.
Itulah sebabnya, di momentum Mayday dan Hardiknas ini, saya berpendapat bahwa mahasiswa dan buruh harus kembali pada proses identifikasinya yang mendasar. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa dan (dan juga buruh) harus kembali pada tiga hal penting: perkaderan, pengorganisasian, dan pengetahuan. Ketiga hal inilah yang menjadi ‘senjata’ kita untuk melawan kapitalisme kontemporer.
Maka, sebelum terlambat: saya ucapkan Selamat Hari Buruh bagi buruh masa-kiniu dan buruh masa-depan! Semoga tetap konsisten melawan kapitalisme.***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Mahasiswa Hubungan Internasional (HI), UGM, Yogyakarta
Kepustakaan:
Bracher, Mark. (2005). Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Lacan, Jacques. (1977). Ecrits: A Selection. New York: Tavistock.
Robison, Richard. (1987). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox.
Robison, Richard dan Vedi R Hadiz. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.
Zizek, Slavoj. (1989). The Sublime Object of Ideology. London: Verso.
Zizek, Slavoj. (2009). First as Tragedy, Then as Farce. London: Verso.