In memoriam
SIAPA yang bisa melupakan peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984? Ini adalah salah satu kisah kelam mengenai kebrutalan militer Orde Baru, dalam menghadapi tuntutan massa. Dalam peristiwa berdarah tersebut, ratusan orang mati, hilang, dan ditangkap.
Ketika peristiwa itu terjadi, Marulloh baru berumur 16 tahun. Ia adalah murid sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Malam itu, bersama temannya, ia dalam perjalanan pulang menuju rumah, usai nonton bioskop di kawasan Tanjung Priok. Marulloh sama sekali tidak tahu, jika malam itu aksi protes warga Tanjung Priok dibubarkan tentara dengan brutal: ditembak, dipukul, dan ditangkap. Warga protes karena mendapat kabar ada tentara yang tak sopan masuk mushola tanpa melepas sepatu.
Tiba-tiba saja tentara bersenjata muncul dan berteriak menyuruh Marulloh berhenti. Karena terkejut, bukannya berhenti Marulloh dan temanya malah lari ketakutan. Namun, beberapa orang tentara sudah menutup jalan. Mereka terkepung. Marulloh dan temanya ditangkap. Ia digelandang ke dalam truk bersama puluhan warga lainnya.
Dalam gelap malam, truk melaju menuju rumah tahanan (Rutan) Guntur, di sekitar Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan. Guntur adalah tempat penyiksaan yang terkenal menyeramkan bagi para korban tahanan politik (Tapol), sejak Peristiwa Gestok 1965. Bersama Irta, Marulloh merupakan tahanan politik paling muda. Beberapa waktu kemudian, ia dan tapol lainnya di pindah ke rumah tahanan di Cimanggis, hingga dibebaskan.
Selama dalam tahanan, Marulloh menyaksikan dan merasakan dengan mata kepalanya tentang kekejaman aparat militer. Slogan TNI tentara rakyat, lenyap tanpa bekas. Yang ada didepannya adalah monster yang haus darah dan gemar menyiksa. Selama ‘dititipkan’ di Rutan Guntur, ia dan tahanan politik lainnya mengalami segala model penyiksaan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Suatu kali, sehabis dipukuli sang interrogator, Marullah berkata ‘nanti kalau guah sudah keluar guah sate lu.’ Sang interogator yang mendengar pun kontan naik pitam. Marulloh diseret dan ditelanjangi. Kemaluannya disetrum.
Peristiwa itu membekas dalam memorinya. Marulloh mengambil sikap tegas. ‘Saya marah sekali dengan tentara.’ Sementara teman Marulloh yang juga mengalami berbagai penyiksaan, kabarnya mengalami depresi berat sampai hari ini.
Memasuki era reformasi 1998, Marulloh giat dalam aktivitas menuntut keadilan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk korban kasus Tanjung Priok. Itu sebabnya, ketika Cak Munir dan korban penghilangan paksa mendirikan Kontras dan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), ia dengan sukarela ikut bergabung. Turut bersamanya adalah para korban Tanjung Priok lainnya. Di sini, ia saling menguatkan dengan para korban kekerasan rezim Orde Baru lainnya. Marulloh terlibat dalam berbagai kegiatan kampanye dan advokasi, menuntut tanggungjawab negara dan keadilan bagi korban.
Dari pernikahannya, Marulloh dikaruniai enam orang anak. Yang tertua baru lulus SMU, yang terkecil masih balita. Anak tertuanya ini satu ketika pernah menyatakan pada Marrulloh, ‘lulus SMU saya bisa kuliah enggak ya, dibantu Kontras?’ Marulloh sadar, ia tak mampu membiayai kuliah anak sulungnya. ‘Sudah, nanti cari kerja saja dulu.’
Marulloh ingin anaknya punya usaha kecil sendiri. Dengan begitu sang anak bisa mandiri dan bantu keluarga. ‘Tapi cari modal susah. Harusnya pemerintah kasih kompensasi pada korban, supaya bisa jadi modal dagang,’ ujarnya dalam suatu kesempatan. Namun, Marulloh ingin kompensasi bukan sebagai sogokan. Karena itu, ketika para jendral yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984, mengajukan tawaran berdamai dengan bahasa Islah, Marulloh dan sebagian korban Tanjung Priok lainnya menolak. Ia bersikukuh menuntut keadilan dan tanggung jawab negara. Ia bersama dengan IKOHI, Kontras, dan para korban lainnya selama bertahun-tahun menuntut keadilan bagi korban. Keadilan bagi korban dan kompensasi memang satu paket yang tak boleh dipisahkan. Sayangnya, negara yang berdasarkan Pancasila ini, justru ingin memberikan kompensasi untuk meniadakan keadilan.
Dari segi kesehatan, Marulloh sejak lama terkena penyakit asma. Penyakitnya semakin parah pasca penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan yang dilakukan tentara. Beberapa tahun terakhir, ia juga terkena penyakit gula (diabetes). Saya yang juga terkena penyakit gula, sering membicarakan topik ini bersamanya di Kontras. Satu waktu, kadar gulanya bahkan pernah mencapai angka 600. Akibatnya, ketika ia menderita luka, proses penyembuhannya memakan waktu yang lama. Sialnya lagi, saat sakit seperti itu, rumahnya kebanjiran tahun lalu.
Pada satu malam, tepatnya, 23 Mei lalu, Marulloh giliran piket jaga di Kontras. Kawan-kawan Papua dari NAPAS (National Papua Solidarity), menjadi temannya begadang. Bernard Agapa, adalah salah satu teman ngobrolnya malam itu. Tiba-tiba saja Marulloh berkata, ‘tolong foto saya dunk.’ Permintaan itu terasa aneh bagi Bernard. Soalnya, hampir tiap piket malam bersama, baru kali itu Bernard mendengar Marulloh minta difoto. Bernard lantas mengambil foto Marulloh, di depan meja tamu Kontras. Foto terakhir ini menjadi foto Marulloh yang dibawa ke makam.
Menurut Bernard, malam itu Marulloh mengeluh sakit. ‘Badan guah cape banget hari ini.’ Keluhan ini memang bukan hal baru. Penyakit diabetes membuat stamina Marulloh kerap drop. ‘Guah sering cepet ngantuk dan capai,’ ujarnya.
Malam itu, saya pamitan pulang dengan Marulloh di Kontras. Saya sempat menegur dia yang sedang makan kacang dengan teh manis. Soal makanan, Marulloh memang kurang disiplin. Dia berkilah dengan berseloroh, ‘mumpung masih hidup. Kalau sudah mati nggak bisa makan enak.’
Pada pagi harinya, Marulloh pulang ke rumah. Tiba-tiba ia mengalami sesak napas. Keluarga mencoba membawanya ke rumah sakit. Tapi nyawanya tidak tertolong. Marulloh pergi meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan kawan-kawannya dalam usia 43 tahun.
Siang, sebelum sholat Jumat, Marulloh dimakamkan di Pemakaman Islam Kampung Pulogadung, Jakarta Timur. Keluarga, tetangga, teman, dan keluarga besar Kontras dan IKOHI, mengiringi kepergian lelaki hebat yang selalu ramah pada orang yang datang ke kantor Kontras. Istrinya tampak menangis di sudut makam.
Kami semua berduka untuk kepergiannya yang begitu mendadak.
Selamat jalan kawan. Kau adalah teladan bagi kami.***
Jakarta, 24 mei 2013
Wilson Obrigados, Kontributor IndoPROGRESS