Tidak satu pun orang yang pernah kutemui memiliki kegemaran yang sama denganku. Aku merasa perlu menularkan minat agar aku tak kesepian, itu saja motifku sebenarnya. Ya, aku seorang dari ratusan juta ras Mongoloid yang telah bercampur dengan Deutro-Melayu. Tinggi sedang, kulit kuning kecokelatan, hidung pesek, dan rambut lurus hitam. Namun, yang menjadi identitas kuat di sini adalah… justru aku tidak bertato.
Sebuah ruang kecil tampak penuh sesak, tapi sarat dengan luapan ekspresi bahagiaku. Hanya sepetak 4×5 m, dengan titik zenit sebuah lampu kuning bergantung dari langit-langit. Tidak tergoyahkan, kecuali atas izin alam, angin bertiup maupun gempa menggoncang. Beberapa orang telah melingkar, mengelilingi sebuah baki plastik hijau berisi aneka kudapan merakyat.
Sudah setengah jam pertemuan ini berlangsung. Tentu saja, aku yang membuka acara karena aku pula pemrakarsanya. Aku mulai dengan mengenalkan diriku ulang. Seorang pemuda yang gemar berburu manusia bertato di negeri ini. Perburuan yang lantas tidak berujung pada kanibalisasi, hanya sedikit sentuhan ketulusan hati maka aku dapat mengenal mereka semuanya. Awalnya, tak pernah terbersit di otakku bahwa aku akan mengumpulkan mereka—yang bertato—jadi satu ruangan. Secara ketat, aku menyeleksi diam-diam siapa saja pemilik tato yang patut diundang di acara ini. Bukan berarti aku pilih kasih, namun sebut saja naluri kolektor. Teramat ingin aku memandang mereka secara keseluruhan, koleksi orang-orang bertato favoritku. Ah, betapa perburuanku tidak sia-sia. Betapa mengerahkan daya upaya komunikasi interpersonal mampu menggiring mereka kemari dari berbagai sudut Nusantara raya.
Masih ingat jelas di suatu pagi, sayup-sayup seusai ceramah subuh di langgar, seorang nenek menghampiriku. Kuperhatikan betul wajahnya yang bergurat-gurat keriput. Saksama kuteliti, maka kudapati ia seorang sipit berkulit kuning langsat yang berparas ayu oriental dulunya. “Kau tak perlu menghormatiku sebagai nenek, cukuplah wanita renta ini yang memuji Tuhan atas kehidupan cucuku satu-satunya,” ujar sang Nenek sambil meraba ceruk wajahku.
Tentu saja, aku tak mengerti kala itu. Penuturannya yang mendetail di sepanjang hari, akhirnya membuka persepsi sang Nenek atas hakikat cucu. Aku bukan dari darah temurunnya, ya, mendiang Kakek-Nenekku sama sekali tidak sipit. Beliau menunjuk dadanya yang tertutup kebaya kusam. “Ibumu semasa bayinya menetek padaku. Saat aku harus ungsikan diri dari rumah plesir yang terbakar di kota tua. Karenanya, dalam tubuh Ibumu ada airku, dan tentu begitu pula dalam tubuhmu.”
“Dalam rangka apa Nenek kemari?”
“Tidak lebih karena ingin menengok Ibumu dan putranya semata wayang ini. Aku tidak pernah merasakan manisnya berkeluarga senormal keluargamu. Tidak pernah,” ucapnya nanar, namun tiba-tiba beliau terkekeh riang. “Ya, ya, ya.. aku peranakan Jawa-Jepang yang bernasib malang. Menjadi seorang Jugun Ianfu dengan cap kupu-kupu hitam abadi di pinggangku. Jadi, aku berpikir dalam sisa hidupku yang terhormat, sudinya Tuhan menghibahkan kekuatan untuk melalang buana, membantu sesama, mendengar keluh kesah atas kisah di balik rajah.”
Ah, sang Nenek inspirasiku yang telah tiada. Beliau cikal bakal dari minat abnormalku.
“Lantas mengapa Anda tidak bertato mulai sekarang?” celutuk seorang bekas mafia video porno, tanpa sengaja menarikku ke kesadaran semula. Ia sering dijuluki juragan ranjang. Kerjanya menyuplai pemain telanjang, memandori produksi keping digital massal, dan mendistribusikannya ke banyak rental.
Aku tersenyum bijak, “Karena jika saya bertato tentulah saya sama dengan Anda, Juragan.. saya hanya ingin menjadi pengamat seobjektif mungkin,” jawabku lugas dan tertata, seperti topik besar yang aku ajukan, kontemplasi tato. “Mari kawan-kawanku dari penjuru tanah air, inilah waktu singkat Anda untuk mengenalkan diri pada yang lain, dan mulai merenungkan setiap simbol yang terukir jelas di tubuh. Karena simbol dan kisah adalah kesatuan. Dan karena tato milik Anda sekalian berasal dari etimologi Tahitian, bermakna menandakan sesuatu. Itulah identitas modifikasi Anda,” sambutanku mengalir deras, bersemangat.
Mulai bergilir cerita satu persatu tamuku. Seorang bertubuh kekar dengan rambut panjang gimbal berdehem. Ia yang pertama berkisah, seorang penyamun dari perairan Selat Malaka, menunjukkan dengan bangga tato alur petanya di lengan kanan atas.
Salah satu dahi seorang tamu bertato, berkedut, “Kenapa bukan Jolly Roger punyamu itu?”
“Inilah jebakan berwaksangka bagi yang berhasil menangkapku. Apa kita harus meniru lambang bajak laut yang telah pasaran itu? Tengkorak! Kiranya karib jauhku, Perompak Somalia pun tak bertato demikian,” sangkal sang Penyamun lantang.
Beberapa orang mengangguk-angguk. Selanjutnya disusul sibakan rambut panjang seorang wanita cantik. Di tengkuk lehernya terdapat seekor singa mengaum. Ia tersenyum manis menggoda. Seorang selebritas yang kutemui tahun lalu, di danau tiga warna. Ya, siapa menyangka wanita cantik itu pemilik kebun binatang, bekas pemain sirkus keliling, seorang pawang singa.
Para lelaki berdecak kagum, menatap artis molek tersebut. Kemudian giliran sang hajjah, pemilik warung makan Coto Makassar, bekas TKW di negeri Jiran. Disusul sang angkatan udara, sang penulis skenario, sang abdi ndalem, sang peramal, sang veteran, dan terakhir kami terhenyak, sang bekas golongan ekstrem radikal.
“Benar, ini gambar sabit dan saya mantan petani. Namun, saya berhasil membantai banyak orang untuk mewarnai sungai menjadi merah, mengairi sawah orang dengan simbah darah.”
Tanpa angin bertiup pun, aku rasakan tiba-tiba bulu kuduk beberapa orang meremang. “Saya kabur dari pengasingan, belum sempat ditembak mati rezim pembangunan. Dan saya hanya ingin beristrikan konstitusi murni untuk kesejahteraan kalian semua.” Bau makar semerbak mulai menguar di sela-sela asap kacang rebus yang mengepul.
“Saya datang membawa visi misi untuk membuat negara berdaulat sendiri di sini, di tanah kita, bersihkan latar dari kapitalis imoral. Bagaimana?”
“Hai, apa urusan saya mengekor pada kehendakmu? Saya penyamun, negara saya samudera, bukan negeri busuk ini!” suara acuh menggema, penyamun melipat lengan.
“Justru itu… kalian yang ada di sini akan menjadi pemangku kuasa penting di negara baru. Jujurlah sekalian, kita berkumpul di sini, di titik kebas atas ketidakadilan dan ketidakpedulian pemerintah. Kau, sang juragan, jadilah menteri komunikasi infomasi; kau, Bu Hajjah, patutlah menjadi menteri keuangan dan ketenagakerjaan; kau, artis, aku akan membentuk kementerian fauna untukmu; kau, penulis skenario, tulislah konstitusi baru hingga beratus-ratus pasal… dan kau, penyamun, kuasai laut Nusantara dengan legalitas penuh.”
“Tidak! Ini makar! Saya tidak setuju,” angkatan udara acungkan telunjuk. Namun, suaranya langsung menyusut karena iming-iming menjadi panglima keamanan.
“Mana jiwa nasionalismu? Berdaulatlah penuh di planet lain. Jangan di bumi pertiwi kita, enyahlah!” seru sang veteran yang bercodet di pelipisnya, mantab.
“Apa perlu kita debat ideologi malam ini? Ya, benar.. semua yang ada di sini hasil dari ketidakadilan. Aku sarjana yang merasa dianiaya negara. Maka, aku bertato sangar untuk profesiku!” seorang di pojokan yang banyak diam, ambil suara. Seorang debt collector.
Sedangkan sang abdi dalem jelas menolak, suaranya yang santun kalem tenggelam di tengah kericuhan. Seruan sang peramal membius sesaat, “Penerawanganku membayang, makar ini akan gagal!” teriaknya sarkastis dan histeris.
Ruangan gaduh, mereka saling berdesas-desus. Antara lisan yang beradu argumen, bersitegang, lenyap sudah kontemplasi impianku. Sang provokator, alias mantan petani, alias bekas golongan ekstrem berdiri, “Benarkah kau tak ingin menjadi penasihat pribadi presiden, Sus Cenayang? Kau pun dapat merangkap jadi kepala prediksi bursa saham kita.” Sang peramal yang tadi siang mendapati putrinya divonis kanker rahim gelagapan. Biaya rumah sakit membayang.
Sepintas hening. Gemerincing gelang dan kalung manik-manik peramal meningkahi. Sang provokator berkontemplasi sejenak, mendadak menyeringai padaku, “Aku pikir..” jeda panjangnya disibukkan oleh rayapan tangan yang menggeledah isi tasnya.
“Mari sebelumnya, sang tuan rumah tanpa tato, kita sahkan dulu menjadi bagian dari kita.”
Aku mulai panik, hendak lari. “Tolong jangan..,” ucapku gemetar. Sang provokator telah mengeluarkan alat-alat pengukir tubuh dari dalam tasnya. Yang lain, menatapku buas.
“Pengkhianat jika engkau tak berimplantasi pigmen mikro, Bung!”
Pandanganku gelap sebelum mereka nekat mendekat, hendak merajah sewenang-wenang. Aku… fobia jarum runcing jenis apa pun.
Amanatia Junda, mahasiswi Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta
Jogja.Tepijendelajingga. Mei 2011.
*Cerpen “Kontemplasi Tato” ini sebelumnya telah diterbitkan dalam antologi Random, Payudara Sebelum Lusa. Diterbitkan tahun 2013 oleh Nulis Buku Klub IPB.