KEBERADAAN uang bagi manusia dewasa ini adalah seperti udara. Sama seperti kita menghirup dan menghembuskan udara agar hidup, kita pun meraih dan melepaskan uang melalui pertukaran di pasar. Sepertinya ada hubungan analogis antara metabolisme biologis dan metabolisme ekonomis. Namun analogi ini nampak menyesatkan begitu kita memeriksa syarat kemungkinan bagi kedua metabolisme tersebut. Udara masih tetap ada dalam dunia tanpa manusia. Bagaimana dengan uang? Bayangkanlah suatu dunia post-apocalyptic dimana manusia sudah punah dari muka bumi, meninggalkan artefak buatannya berceceran di muka bumi ini. Apakah dalam kondisi seperti itu selembar kertas bertuliskan Rp. 100.000 tetap merupakan uang? Dalam dunia tanpa manusia, selembar kertas itu tak lebih dari selembar kertas, tak ubahnya seperti daun gugur dan ranting kering. Lantas apakah yang membuat uang menjadi uang?
Uang adalah sarana pertukaran, pembayaran dan penyimpanan nilai. Dalam arti itu, uang adalah konsep yang diturunkan dari konsep nilai. Dari manakah uang memperoleh nilainya? Marx menunjukkan bahwa uang tak lebih daripada representasi atas nilai komoditas. Nilai komoditas sendiri ditentukan oleh pencurahan sejumlah kerja tertentu. Uang karenanya merupakan representasi atas representasi atas kerja. Demikianlah Marx memperlihatkan bahwa uang, sebagaimana kapital, tak lain daripada relasi sosial. Buanglah relasi sosial yang mensituasikannya, maka selembar uang akan menjadi selembar kertas biasa. Apabila nilai komoditas lenyap sebagai akibat dari lenyapnya relasi sosial yang menopangnya, maka lenyaplah pula uang sebagai sarana pertukaran, pembayaran dan penyimpanan nilai. Uang, seperti juga nilai dan entitas sosial pada umumnya, adalah produk sejarah interaksi manusia dengan alam. Uang dan entitas sosial lainnya adalah seperti centaur, makhluk dengan dua kodrat: sebagian bersifat alamiah (sebagai kertas) dan sebagian lain bersifat sosial (sebagai medium nilai). Namun pandangan seperti ini tidak selalu mengemuka.
Pernah ada suatu masa ketika uang dipandang sebagai produk alam sepenuhnya. Inilah yang kita saksikan dalam sejarah Eropa, khususnya antara abad ke-15 hingga ke-17. Uang yang beredar pada masa itu umumnya ialah uang koin yang terbuat dari logam berharga. Uang dalam bentuk kertas sudah mulai muncul, tetapi peredarannya terbatas hanya dalam lingkaran-lingkaran internal sindikat dagang. Selain itu, uang kertas pada masa itu hanya dapat digunakan dalam satu kali transaksi saja sedemikian rupa, sehingga dalam transaksi selanjutnya kredit tersebut harus dilunasi secara tunai melalui uang koin. Problem yang dihadapi negeri-negeri di Eropa pada waktu itu adalah, di satu sisi, perluasan pasar berkat penjelajahan samudra dan, di sisi lain, rendahnya pasokan logam berharga. Akibatnya adalah surutnya jumlah uang yang beredar dan stagnasi volume perdagangan. Eropa memasuki masa krisis finansialnya.
Di tengah situasi krisis inilah mengemuka secara spektakuler praktik-praktik serta publikasi literatur tentang alkimia. Dalam artikelnya, ‘Credit-Money as the Philosopher’s Stone,’ yang dimuat dalam jurnal History of Political Economy (35; 2003), Carl Wennerlind menguraikan fenomena unik ini secara menarik. Alkimia adalah ‘ilmu’ yang mengkaji tentang pengalih-wujudan atau ‘trans-mutasi’ mineral. Salah satu topik yang paling hangat didiskusikan dalam alkimia adalah pengalih-wujudan logam biasa menjadi emas. Praktik alkimia sendiri sudah dikenal sejak masa Helenistik (dengan tokoh seperti Hermes Trismegistus). Akan tetapi, mulai masa Renesans pada abad ke-15 hingga awal era modern di abad ke-17, alkimia mencapai Belle Epoque-nya. Pada periode itu, hampir seluruh tahta di Eropa mempekerjakan kaum alkemis. Di Eropa daratan, kita dapat melihat beberapa contoh patron kaum alkemis: kardinal Richelieu di Prancis, ratu Christina di Swedia, raja Leopold I dari Jerman. Di Inggris, hubungan patronase ini sudah bermula sejak abad ke-14, yakni antara raja Edward IV dengan George Ripley, penulis risalah The Compound of Alchemy; or the Twelve Gates Leading to the Discovery of the Philosopher’s Stone, hingga raja Charles II di akhir abad ke-17 yang tidak hanya mempekerjakan kaum alkemis, tetapi juga menjalankan eksperimen alkimia dalam laboratorium rahasia di bawah kamar tidurnya.
Logika dari meledaknya praktik serta literatur alkimia pada periode itu mudah dinalar. Akar persoalan finansial Eropa, setidaknya dalam pemahaman para ekonom kerajaan pada masa itu, adalah minimnya pasokan uang yang disebabkan oleh rendahnya produksi tambang emas. Dengan adanya alkimia yang mampu menghasilkan emas melalui trans-mutasi dari logam biasa, persoalan ini tentu akan terpecahkan. Pada masa kini, mungkin kita menganggap penalaran mereka itu terlalu naif. Namun kita mesti memperhatikan konteksnya, yakni suatu era dimana uang kertas dan institusi perbankan yang kita kenali sekarang belum terbentuk. Alkimia merupakan solusi yang wajar pada masa seperti itu. Lagipula alkimia pada waktu itu belum dianggap sebagai pseudo-science dan masih banyak pemikir besar yang menaruh minat padanya, antara lain Pico della Mirandola, Cornelius Agrippa dan Paracelsus. Bahkan ilmuwan sekaliber Isaac Newton pun masih percaya pada kemungkinkan trans-mutasi dan menyimpan sejumlah besar literatur alkimia di perpustakaan pribadinya.
Keseriusan kerajaaan-kerajaan Eropa pada waktu itu terhadap alkimia menyerupai keseriusan pemerintah-pemerintah di dunia masa kini terhadap sumber daya alternatif. Pada masa itu, alkimia merupakan ujung tombak riset kerajaan dan didukung penuh melalui pendirian pusat-pusat studi. Salah satu pusat studi itu adalah Lingkaran Hartlib di Inggris (yang dikenal juga sebagai the invisible college). Lingkaran ini diinspirasikan oleh semangat pembaruan sains modern yang dicanangkan Francis Bacon. Di dalamnya tergabung kaum alkemis, fisikawan dan ahli ekonomi-politik: Robert Boyle, Henry Oldenburg, William Petty, dsb. Prioritas riset mereka adalah trans-mutasi alkimiawi: mengubah timah menjadi emas, secara harafiah. Kaum alkemis mengikuti spekulasi Aristoteles bahwa semua mineral terbuat dari empat materi dasar (materia prima): air, api, udara dan tanah. Berdasarkan komposisi tertentu dari keempat materi ini, kita dapat menciptakan logam apapun. Akan tetapi, menurut para alkemis, untuk mencipta emas diperlukan satu materi lain yang amat langka. Materi itu adalah lapis philosophorum atau yang dikenal juga sebagai ‘Batu Filsuf’ (Philosopher’s Stone).
Batu Filsuf, bagi kaum alkemis, merupakan konstituen semesta yang paling dasar, lebih elementer ketimbang materia prima-nya Aristoteles. Batu Filsuf merupakan individu terdasar yang menyusun semesta fisik. Dalam kepercayaan tradisi alkimia, Batu ini juga dianggap sebagai obat untuk panjang umur (elixir of life). Batu Filsuf diyakini dapat diperoleh melalui pemurnian sempurna atas keempat materi dasar. Proses yang disebut sebagai Magnum Opus ini terdiri dari empat tahap pengubahan warna, yakni nigredo, albedo, citrinitas dan rubedo. Campuran tertentu antara Batu Filsuf dengan komposisi empat materia prima inilah yang akan menghasilkan logam mulia, emas. Inilah yang dicoba oleh para kolega Isaac Newton (Boyle dan Oldenburg) serta pendiri ilmu ekonomi-politik klasik (Petty) di Lingkaran Hartlib.
Tak pelak lagi, dengan kurangnya basis empirik yang memadai, upaya ini gagal. Praktik-praktik alkimia di Eropa dan jaringan patronasenya memudar setelah tak membuahkan hasil yang diharapkan. Akan tetapi, problem yang dihadapi Eropa tidak lantas ikut memudar. Stagnasi volume perdagangan dan rendahnya peredaran uang di pasar masih menghantui Eropa. Untuk menjawabnya, akhirnya pada paruh kedua abad ke-17 Lingkaran Hartlib mengupayakan jenis trans-mutasi yang lain, yakni ‘trans-mutasi’ tanah menjadi uang.
Lingkaran Hartlib mengajukan proposal untuk menerbitkan uang yang tak terbuat dari logam berharga, uang kertas biasa, yang nilainya dijamin oleh sejumlah tanah. Dengan cara ini, gagasan tentang uang dilekatkan dengan gagasan tentang kepercayaan (trust): uang adalah materialisasi kepercayaan sosial atas nilai komoditas yang menjaminnya. Dengan kata lain, mereka mengusulkan penggunaan uang-kredit—uang kertas yang kita kenali hari ini. Henry Robinson, salah seorang anggota Lingkaran, menyatakan bahwa uang-kredit tak lain adalah Batu Filsuf bagi perekonomian Eropa. Uang kertas dapat diibaratkan sebagai larutan alkimiawi yang paling fundamental karena uang kertas dapat bertrans-mutasi menjadi apa saja—kertas biasa yang dapat berubah menjadi emas batangan melalui pertukaran sederhana di pasar. Proposal Lingkaran Hartlib inilah yang kemudian diterapkan dan menjadi tulang-punggung revolusi finansial Eropa pada peralihan abad ke-17 dan ke-18.
Melalui fragmen sejarah ini dapat kita saksikan peralihan dari konsepsi naturalis ke konsepsi sosiologis tentang uang. Mulanya uang—sebagai emas—dipandang sebagai produk alam yang muncul dari perut bumi seperti batu-batuan dan getah karet. Dalam pandangan ini, uang adalah entitas alamiah. Kemudian uang dipandang sebagai produk sosial hasil konvensi dan kepercayaan masyarakat. Dalam pandangan ini, uang dilihat semata sebagai entitas sosial yang tak punya kaitan dengan alam. Inilah yang kemudian berkembang ke dalam konsepsi bahwa nilai uang ditentukan oleh jumlah peredarannya di pasar dalam rasio dengan jumlah komoditas yang beredar. Singkat kata, melalui pergeseran dari alkimia ke uang-kredit, kita menyaksikan peralihan konsepsi moneter dari ekosentrisme ke antroposentrisme.
Apa yang tak mengemuka dalam paparan menarik dari Carl Wennerlind ini adalah kodrat ganda uang: tidak sebagai entitas alamiah semata, tak juga sebagai entitas sosial semata. Karena uang tak lebih daripada representasi nilai dan nilai tak lain ketimbang representasi kerja, maka uang mengandung watak ganda dalam dirinya, sama seperti kerja. Di satu sisi, kerja adalah peristiwa alamiah pencurahan sejumlah kalori. Dalam arti ini, kerja merupakan salah satu sumber nilai-pakai objek-objek alamiah—sumber yang lain berasal dari alam sendiri. Di sisi lain, kerja adalah peristiwa sosial yang dimungkinkan dalam struktur pembagian kerja masyarakat yang tertentu. Dalam arti ini, kerja merupakan sumber nilai komoditas. Kedua sisi inilah yang mengkonstitusikan komoditas dan uang: setengah alami, setengah sosial. Keduanya terjahit oleh satu laku yang sama, yakni kerja. Oleh karena itu, kelirulah anggapan Henry Robinson bahwa uang adalah Batu Filsuf. Lapis philosopharum yang sesungguhnya tak lain adalah kerja. Inilah yang menjadi ‘larutan’ terdasar kenyataan sosial. Kerja ialah semen yang merekatkan dunia alamiah dan dunia sosial. Karenanya, tak melesetlah apabila kita memparafrasekan kalimat terakhir Manifesto Komunis: ‘Kaum alkemis sedunia, bersatulah!’***
17 Maret 2013