Asalamualaikum Wr. Wb.
Apa kabar sahabatku, Samin?
Gimana kabarmu, Min? Sudah jadi PNS, Min? Kaupasti sudah punya sepeda motor seperti layaknya pemuda desa, ‘kan? Kredit motor ‘kan murah, belilah satu biar kausama dengan mereka. Sumber, kampung kita, pastinya sudah maju ‘kan?
Namun, tampaknya semaju apa pun Sumber[1], aku belum mau pulang. Jakarta belum memberikan apa yang kuharapkan. Gajiku masih digerogoti sewa kostan yang mencekik. Dan jangan tanya masalah kelas sosial; konon pekerja kantoran level manajer rendahan sepertiku ini sudah masuk kelas menengah, tapi aku tak percaya. Wong, rasanya sama saja. Hidup cuma habis di bus kota dan kostan, atau khusus untuk aku, di pagelaran musik.
Ah, itu dia, kita ngomongin yang terakhir saja, Min, sebab rasanya kautahu kenapa aku bisa betah di Jakarta. Hanya kau yang tahu bahwa Jakarta memberiku asupan musik yang lebih bervariasi lagi bermutu. Di Sumber, kanal musik yang ada, ya, sudah pasti perpanjangan cukong musik arus utama.
Tapi, sejujurnya, aku rindu nonton musik di alun-alun. Dulu, maksudku 5—7 tahun yang lalu, kita masih bersama-sama berjalan bergerombol ke alun-alun. Nonton band, begitu tujuan kita. Di kanan-kiri kita, kalau bukan pedagang asongan, ya, muda-mudi yang pacaran di balik temaramnya malam. Asoy sekali musik disajikan seperti itu. Yah, walaupun kalau aku boleh jujur, musiknya norak. Tapi, suasana nonton rame-ramenya itu tak ada tandingannya.
Di Jakarta, musik yang asik itu enaknya ditonton oleh sedikit orang. Itu enggak enaknya, Min. Jadi, harusnya kausadar, rasa kangenku beralasan.
Sebenarnya, aku lumayan melebih-lebihkan ketika mengatakan tak ada musik yang ditonton rame-rame di Jakarta. Asal tahu saja, Min, di Jakarta, tiket konser musisi luar yang ngetop itu larisnya bisa lebih cepat dari kacang goreng, itu pun dalam hitungan menit.
Masalahnya, aku ‘kan tidak sedang bicara pada maniak konser. Aku sedang menulis padamu, Samin, kawanku menonton suguhan musik lokal di alun-alun di Sumber, bukan di Singapura.
Min, di Jakarta, aku mencari musik yang baru. Aku tak lagi mendengar musik umum (aku menyebutnya mainstream). Dalam pencarianku, aku pernah mampir ke pelbagai venue gelaran musik mandiri, independen, self-organized, Indie, atau entah apalagi namanya. Dari semua tempat yang pernah aku datangi, ada tiga tempat penting yang jadi milestone pencarian musik bagusku: Bulungan Outdoor, Rossi Musik, dan Jaya Pub.
Yang pertama, Bulungan Outdoor. Letaknya tak jauh dari bilangan Blok M. Tak jauh pula dari titik tawuran beberapa SMA Jakarta, kalau kausering menonton TV. Awalnya, setahuku, pagelaran musik atau gig[2] digelar di dalam ruangan GOR Bulungan. Namun, sejak entah kapan, gig di Bulungan, umumnya metal, selalu dipanggungkan di luar. Tak heran, namanya kini Bulungan Outdoor (selanjutnya kusebut Bulungan saja).
Kalau dicermati, gig metal yang kerap dipanggungkan di Bulungan tak jauh berbeda dari hiburan musik yang ditonton di alun-alun. Yang datang menonton tidak sedikit. Malah pernah, aku harus pulang ke kostan karena Bulungan sudah terlalu sesak saat aku sampai. Yang mengesankan, di Bulungan, kaukadang dapat tontonan tambahan: copet yang dicokok polisi atau bagian keamanan. Nah ‘kan, problem yang sama dengan konser musik di alun-alun atau dangdutan di kampung!
Dulu, kalau kita menonton konser di alun-alun, selalu ada perniagaan di sekitar kita. Ada mamang penjual limun, ada penjual mainan anak, dan, atas nama nostalgia, mungkin penjual kacang. Di Bulungan, perniagaan juga ada. Item-nya: album metal lokal, merchandise band metal lokal, DVD konser bajakan. Menurutku, item ini adalah semacam basic needs untuk mulai mengenal musik non-mainstream lokal. Premisnya: kauselalu bisa mulai belajar mengenal musik non-arus-utama dari item-item ini. Jika kauteliti, aku menyelipkan kata bajakan di sana. Ya, kaumemang selalu bisa mengandalkan item bajakan untuk mengenal musik yang tidak mengarus utama.
Pun dari barang yang diniagakan, kaubisa menebak siapa yang datang. Bulungan cukup inklusif menjaring penontonnya. Biasanya, musik non-arus-utama di ibukota cenderung dianggap sebagai musik elitis. Tapi, musik di Bulungan beda. Bulungan adalah antitesis dari gig mahal yang digelar di café-café di bilangan Kemang. Mereka yang belum beruntung masuk kelas menengah, bisa masuk dengan mudah sembari mengenakan merchandise KW, sesuatu yang hampir haram di bilangan Kemang!
Menyitir basic needs, maka sepengamatanku, gig di Bulungan adalah sebuah basic needs. Tak ada pretensi yang berlebihan. Setahuku, mereka yang datang tak punya pretensi lebih selain datang untuk hiburan. Intinya, datang, lalu ikut dalam moshing, dan pergi. Jika ada tujuan yang lebih, maka itu adalah mempertahankan skena musik metal. Tak ayal, MC atau artis yang manggung kerap berkoar-koar tentang penyelamatan skena dan tak hentinya meminta penonton untuk mendukung pelbagai acara serupa. Kadang bunyinya seperti seseorang yang mempertahankan rumahnya dari gusuran. Ha!
Lalu, jika masih ada DVD bajakan yang didagangkan, copet, serta imbauan untuk menyelamat skena musik, maka rasanya sah saja kalau aku ingat gig, eh, konser musik di alun-alun, yang tentunya jauh dari pretensi lain, misalnya, art is for the art sake!
Aku tahu, Min, kaupasti di sana bilang, “Buat apa cerita tentang gig yang mirip konser musik di alun-alun? Buang-buang waktu saja.” Makanya, mari kualihkan ceritaku pada venue-venue lain yang lebih Jakarta. Venue bebas copet dan kekalutan akan keselamatan skena musik. Venue, yang sayangnya, makin elit alias penontonnya makin tipis.
Rossi Musik, venue di bilangan Fatmawati, adalah salah satunya. Walau kerap digunakan sebagai tempat gig patungan yang dilakukan sekumpulan ABG kebanyakan uang untuk memainkan hardcore, bagiku, Rossi Musik mewakili musik bising yang lebih left-field dibanding Bulungan. Walhasil, jika di Bulungan kita kerap kali disuguhi death metal atau black metal, maka di Rossi, musik yang kita temui adalah subgenre metal/hardcore/Punk yang obscure layaknya Crust, Powerviolence, Sludge, atau bahkan Post Metal[3]. Jika pun ada Death Metal atau Black Metal, band yang memanggungkanya punya pendekatan berbeda.
Mungkin, ada pemikiran yang subtil di Rossi. Mungkin begini bunyi pemikiran itu: Rossi dan Bulungan sama-sama bising, cuma Rossi sedikit lebih cerdas dan, ya, cult.
Jelas, lain lubuk lain ikannya. Mulai dari Rossi, pengunjung gig yang kautemui adalah mereka yang memiliki kecintaan lebih pada musik. Yang karena kuatnya cinta mereka pada musik, mereka akan membeli semua merchandise original band kesayangan mereka, lokal maupun luar. Pun karena cinta pada musik yang mendalam, mereka tak segan membeli, misalnya, album piringan hitam yang harganya hampir sebanding biaya kostku dalam sebulan. Memang cinta, termasuk pada musik, selalu bisa dibuat konsumtif.
Dan ngomong-ngomong, masalah konsumsi, jika ada spending yang dilakukan di Rossi, maka bentuknya kalau tidak membeli mechandise, ya membawa pulang CD atau Vinyl (piringan hitam).
Jadi, harusnya kau dan aku sudah sadar dalam kelas sosial mana kita bisa mendudukan (kebanyakan) pengunjung Rossi. Mereka, entah pengunjung atau penggagas gig, di Rossi sadar akan kelas mereka. Buktinya? Gampang, jarang ada band langganan Bulungan Outdoor manggung di Rossi.
Samin, kamu bosan dengan dongengku tentang musik keras, Bulungan, dan Rossi? Tenang, venue yang ketiga, yang penurutku berada satu kelas di atas Rossi, adalah rumah bagi berbagai jenis musik. Jaya Pub namanya. Letaknya di dekat Sarinah. Konon, ini Pub tertua yang ada di Jakarta. Maka, jangan kaget kalau tahu salah satu bartender-nya berusia setara dengan kakekku. Di sana, hampir sebulan sekali, digelar acara, ah, gig maksudku, berjuluk Superbad!
Min, manggung di Superbad pasti diidam-idamkan. Ya, kira-kira rasanya sama seperti ngidamnya penyanyi dangdut kampung ditanggap Bupati. Dari tiga venue yang sudah kudongengkan, hanya Jaya Pub yang punya kurator tetap. Adalah Indra Ameng dan Keke Tumbuan yang getol mencari, memilah, dan memilih band yang disuguhkan. Gig dengan kurator tetap, jelas ini gig elit.
Kurang elit apalagi, tak semua band bisa manggung di sini. Pun, yang datang biasanya kalau bukan music connoisseur, music snob, ya, anak band. Memang butuh pengorbanan yang lebih; bagaimana tidak Superbad selalu digelar di hari Minggu terakhir setiap bulannya hingga tengah malam. Kalau tak benar-benar suka musik, menonton Superbad adalah bentuk tindakan bunuh diri karena Senin selalu kejam di Jakarta.
Tapi, beratnya “pengorbanan” menonton Superbad selalu terbayar. Superbad punya tempat spesial bagi hipster perjuangan seperti aku. Musik yang dikurasi Ameng dan Keke bisa datang dari berbagai genre. Dengan HTM yang hanya 30 ribu rupiah, aku bisa masuk ke lingkaran elit musik non-mainstream Jakarta.
Hanya dengan 30 ribu rupiah, aku bisa menikmati tontonan yang spesial: musisi independen atau non-arus-utama menonton sesamanya. Ini menyenangkan sebab, di kampung, kita cuma menemui artis di panggung, di bibir penontonnya atau paling banter, di tayangan infotainment. Di sini, kau dan mereka sama. Seketika, aku dan mereka sama hanya gara-gara 30 ribu rupiah. Ah, social climbing memang kadang sangat murah.
Ah iya, kadang kalau beruntung, aku bisa duduk bersisian dengan ekspratriat yang bertandang ke Jaya Pub. Sepengamatanku, bule-bule ini benar-benar datang untuk musik yang disuguhkan. Pernah sekali waktu, seorang wanita eksptatriat melakukan table dance saat Belkastrelka, band cerdas dari Yogyakarta, memugar lagu pinggiran Goyang Dombret.
Susah menahan kelebatan pikiran nyinyir tentang bule-bule yang datang ke Jaya Pub untuk sekadar mencari hiburan murah sembari diam-diam berkata, “Bisa juga orang Indonesia”. Namun, kadang pikiran rendah diri ala bangsa jajahan itu bisa kutangkis dengan mudah: “Barangkali mereka lebih baik melihat ‘kemajuan’ Indonesia lewat band-band kecil ini tinimbang lewat meningkatnya jumlah sepeda motor di jalan raya Jakarta.”
Sayangnya, Min, pencarian akan musik baik justru menumbuhkan rindu pada momen ketika kau dan aku menonton musik seadanya di alun-alun. Sayangnya pula, musik alun-alun (baca: arus utama) sedang jelek-jeleknya dan memanggungkan band dari tiga venue yang kudongengkan di alun-alun adalah utopia belaka.
Ah sebentar, kauberhasrat jadi PNS, ‘kan? Urungkan saja. Lebih kaujadi anggota partai. Pemilu sudah dekat. Kalau partaimu menang, sukur-sukur kau bisa korupsi sepuasnya. Uangnya nanti kaupakai untuk memanggungkan band-band dari tiga venue yang tadi kusebutkan di alun-alun Sumber. Premisnya: musik bagus milik semua orang, bukan cuma milik sekelompok orang. Kalau begini, kaubisa tetap tersenyum kala dicokok polisi atau, meminjam ungkapan Anas Urbaningrum, digantung di Monas. Ha!
Bagaimana, rencana yang bagus, bukan?
Wassalam.
Mochamad Abdul Manan Rasudi adalah editor Primitif Zine serta kontributor bagi Apokalip (RIP), Jurnallica, Majalah Sintetik dan Jakartabeat. Selebihnya, dia cuma pria ala kadarnya.
[1] Nama ibukota Kabupaten Cirebon.
[2] Kata yang berarti gelaran musik atau konser. Menurut penulis, kata ini lebih sering digunakan di skena musik non-arus utama daripada konser, festival atau panggung musik.
[3] Semua genre yang disebut dalam kalimat adalah subgenre yang diturunkan dari Hardcore, Metal dan Punk.