Tanggapan Untuk Dicky Dwi Ananta
‘Gerakan sosial pasca Revolusi Mei memiliki ciri yang terlihat pada kelambanan gerakan bersama dalam menciptakan historical bloc, tetapi terjadi percepatan perkaderan dikarenakan berubahnya peran menjadi aktor politik.’ (M. Yudhie Haryono)
Latar belakang dan problematika
DALAM wacana politik Indonesia, gerakan mahasiswa dianggap sebagai pionir dan garda depan perlawanan terhadap rezim tiran. Oleh karena itu, semesta pergerakan Indonesia membutuhkan kajian tentang gerakan mahasiswa Indonesia paling tidak untuk dua hal. Pertama, bagi organisasi mahasiswa itu sendiri, kajian tentang gerakan mahasiswa dapat digunakan untuk mengukur kekuatan ‘diri sendiri’ dalam agenda perubahan sosial. Kedua, bagi pergerakan non-mahasiswa, kajian tentang gerakan mahasiswa dapat digunakan sebagai panduan dalam menyusun agenda bersama membangun sebuah, meminjam Gramsci, historical bloc.
Sayangnya, wacana gerakan mahasiswa kebanyakan malah mengumbar jargon, bukannya mendeskripsikan kenyataan yang sebenarnya. Isinya hampir selalu mengulangi atau merepetisi ‘keharusan’ mahasiswa untuk menjadi agent of change, agent of social control, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tulisan-tulisan tentang gerakan mahasiswa yang muncul kemudian terpaksa harus menarasikan gerakan mahasiswa angkatan 66, 74, 78, 98. Kecenderungan ini bisa berakibat fatal pada perkembangan kajian tentang gerakan mahasiswa; juga berakibat fatal pada pergerakan mahasiswa itu sendiri karena referensi rujukannya kebal perubahan sejarah.
Kecenderungan tersebut juga ditangkap oleh Dicky Dwi Ananta. Dalam tulisannya berjudul Gerakan Mahasiswa: Berangkat Darimana Menuju Kemana, Dicky mengritik wacana gerakan mahasiswa yang melulu kembali pada “heroisme” angkatan 66, 74, 78, 98. Baginya,
‘Pengagungan membabi-buta akan gerakan mahasiswa ketika itu, dalam pengalamannya, justru hanya akan berakhir pada rasa bangga saja dan semakin mengokohkan mitos-mitos yang ada, dan yang paling menusuk adalah tak mengubah keadaan sedikit pun.’ (pr. 4)
Ia menghendaki analisis terhadap gerakan mahasiswa secara lebih riil dan historis. Sampai di sini tidak ada masalah. Sebab, pendobrakan atas mitos boleh jadi memang membutuhkan analisis riil dan historis. Yang menjadi persoalan dalam tulisan Dicky adalah mengapa agar yang riil dan historis harus dilalui dengan cara melihat contoh gerakan mahasiswa sampai jauh ke Italia, Spanyol dan negara-negara di Amerika Latin pada awal-tengah abad ke-dua puluh / ke-20? Ada tiga masalah besar jika jalur ini yang diambil.
Pertama, alih-alih menghindari ‘heroisme’ angkatan 66, 74, 78, dan 98, tulisan Dicky justru berpretensi untuk mencarikan dasar legitimasi bagi adanya heroisme tersebut. Padahal, ia sendiri pada mulanya sangat ingin menepisnya. Kedua, analisa yang tersaji dalam tulisan Dicky hampir semuanya mengambil pengalaman dari gerakan mahasiswa yang hidup di zaman otoritarian. Sementara itu, memproyeksikan gerakan mahasiswa Indonesia ke depan tidak bisa hanya dengan cara melihat pada karakteristik gerakan mahasiswa yang hidup di zaman otoriter. Justru yang lebih penting saat ini adalah mengkaji gerakan mahasiswa yang hidup di zaman demokratis-liberal-prosedural sebagaimana yang terjadi pada era reformasi. Ketiga, memahami gerakan mahasiswa Indonesia di era reformasi tidak hanya bisa dilalui dengan cara mencermati warisan yang ditinggalkan oleh gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya, baik itu dari luar negeri atau dalam negeri. Sebab lanskap politik ekonomi Indonesia yang berubah secara signifikan sangat mempengaruhi karakter gerakan mahasiswa Indonesia.
Memaknai gerakan mahasiswa Indonesia masa kini dengan menengok pada ‘pengalaman revolusioner’ –sebagaimana diterangkan dalam tulisan Dicky – plus pengalaman gerakan mahasiswa angkatan 66, 74, 78, dan 98 akan menggiring kita pada beberapa keyakinan yang sedikit menyesatkan: mahasiswa adalah agent of change, agent of social control, anti penguasa, anti politik praktis, anti status quo. Sebab pada kenyataannya telah muncul kecenderungan bahwa karakter gerakan mahasiswa Indonesia saat ini adalah inversi dari keyakinan-keyakinan tersebut.
Saya ingin memberi contoh soal ini. Pertengahan Maret lalu, dunia pergerakan mahasiswa dikejutkan oleh sikap politik organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jawa Tengah, yang dengan terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap salah satu pasangan calon gubernur Jateng, Hadi Prabowo-Don Murdono. Ini mengejutkan, sebab selama ini gerakan mahasiswa dikenal sebagai gerakan moral yang tidak memiliki hasrat untuk dekat-dekat dengan politik praktis yang bertujuan memperebutkan jatah kursi kekuasaan.
Sikap politik ini jelas menuai kontroversi baik itu di internal atau di eksternal organisasi. Kebanyakan opini yang muncul mengatakan bahwa gerakan mahasiswa harus tetap mempertahankan independensinya dengan kekuasaan. Mungkin lantaran saking santernya dikritik, GMNI Jateng akhirnya membatalkan dukungannya. Tapi jika dilihat dari konsep Freud tentang selip lidah/’freudian slip,’ pembatalan dukungan justru semakin menguatkan fakta tentang adanya dukungan politik dan kedekatan politik.
Kedekatan –untuk tidak mengatakan kemesraan– antara gerakan mahasiswa dengan politisi ataupun politik praktis seperti ibarat ‘puncak gunung es yang mulai terlihat.’ Maksudnya, isu mengenai kedekatan gerakan mahasiswa terhadap penguasa –apalagi di tingkat pusat– sesungguhnya adalah cerita klise yang telah lama beredar. Fenomena ini terjadi di kebanyakan organisasi mahasiswa lain yang memiliki struktur besar dari tingkat kampus hingga nasional. Hanya saja, selama ini banyak organisasi mahasiswa yang menutupi ‘aib’ itu dengan terus menerus menyuntikkan teori intelektual organik di setiap forum pelatihan/perkaderan.
Kini, ‘selip lidah’ itu telah membuka aib yang selama ini disangkal oleh banyak organisasi mahasiswa. Namun, yang tak kalah penting, selip lidah itu telah membuat fenomena rekatnya hubungan antara gerakan mahasiswa dan kekuasaan menjadi mungkin untuk bisa dipelajari. Dan tulisan ini berusaha untuk itu.
Dengan latar belakang dan problematika inilah, tulisan ini hendak mendeskripsikan karakteristik gerakan mahasiswa Indonesia era reformasi dengan mempertimbangkan dinamika politik ekonomi Indonesia sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi. Jargon mahasiswa sebagai agent of change, social control, untuk sementara akan dikesampingkan.
Lanskap ekonomi-politik reformasi: berbagi kuasa dan berbagi rente
Sebelum menelaah lebih jauh, izinkan saya untuk memaknai negara. Selain sebagai satuan politik, negara juga adalah satuan ekonomi. Sebagai satuan ekonomi, negara adalah lumbung sumber daya ekonomi yang sangat menggiurkan. Angka moderat total potensi kekayaan republik, berdasarkan riset Nusantara Centre, mencapai 11. 400 Triliun/tahun. Faktanya, APBN republik ini hanya 2000 Triliun/tahun. Artinya, republik ini menyediakan uang sebesar 9400 Triliun/tahun untuk dijarah bagi siapapun yang berhasil mengaksesnya. Oleh karena itu, banyak orang yang berusaha untuk mengakses negara. Lantaran banyak sekali yang hendak mengakses, maka negara juga berarti arena tempat berlangsungnya perebutan sumberdaya ekonomi dan politik. Maka, politik Indonesia adalah segala hal ihwal yang terkait dengan kompetisi/kooperasi di antara pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengakses negara.
Ditinjau dari budaya politiknya, politik Indonesia lebih akrab disebut dengan rejim patron-klien. Dilihat dari sudut pandang ini, tentu saja, politik Indonesia tidak dibangun atas dasar merit, melainkan pengetahuan akan jaringan dan patron. Dengan kata lain, usaha mengakses negara, merengkuh sumber daya politik dan ekonomi yang tersimpan di dalamnya, modalnya bukanlah pengetahuan kebangsaan/kenegaraan. Modal utamanya adalah ’link’ jaringan orang penting dan seni berhipokrisi.
Dilihat dari sisi konfigurasi patron-klien, praktik politik reformasi nampak memiliki perbedaan dengan rezim politik orde baru. Pada rezim orde baru, mengikuti pandangan Karl D. Jackson tentang bureaucratic polity, hubungan patron-klien bermuara pada patron bernama Soeharto. Hal ini berbeda setelah Soeharto tumbang. Klien-klien yang tadinya menjadikan Soeharto sebagai patron kini telah menjadi patron-patron kekuasaan baru bagi klien-klien yang muncul kemudian. Atau dalam perumpamaan Airlangga Pribadi, politik era reformasi adalah milik para ronin (samurai tanpa tuan). Tentu saja tanpa tuan di sini bukan merujuk pada makna aslinya. Ia hanya istilah untuk menggambarkan politik Indonesia yang tidak lagi unipolar melainkan multipolar.
Dari sisi seni berpolitik, praktik politik era reformasi berbeda dengan praktik politik orde baru. Saat orde baru kita mengingat cara-cara represi dan teror untuk menciptakan stabilitas. Sekarang, seni berpolitik yang menjadi trend adalah cara-cara persuasif, yaitu sharing power dan sharing rent. Kita tentu ingat pada awal reformasi ketika kekuatan-kekuatan politik besar seperti Gus Dur, Megawati, Amien Rais dan Akbar Tanjung, semua mendapat jatah kekuasaan. Atau contoh yang paling popular adalah ketika SBY hirau sekali merawat dan meruwat partai-partai yang berkoalisi padanya. Semua ini menunjukkan bahwa cara-cara persuasif lebih tepat dioperasikan dalam berpolitik.
Lantaran trend sharing power dan sharing rent inilah, ‘jaringan’ menjadi variabel penting dalam berpolitik. Kuasa bukan lagi soal kepemilikan kekuatan keris atau rapalan-rapalan supranatural lainnya. Kuasa juga bukan persoalan kepemilikian senjata untuk mengancam. Lebih dari itu, kuasa adalah persoalan kepemilikan ‘jaringan.’ Dengan jaringan, seseorang mampu menemukan jalur menuju sumber daya politik. Dengan jaringan, seseorang mampu menemukan jalur menuju sumber daya ekonomi. Dengan jaringan, seseorang mampu mengakses negara dan memanfaatkan apa-apa yang ada di dalamnya demi kepentingan pribadi, kelompok, partai, orang terdekat, dan siapa saja yang berada dalam jaringannya.
Dalam demokrasi liberal-elektoral-prosedural seperti sekarang ini, siapapun orang yang hendak mengakses negara tidak dapat melengos dari yang dinamakan dengan jaringan. Jaringan yang dimaksud di sini, meliputi jaringan atas dan jaringan bawah. Jaringan atas merujuk pada kalangan masyarakat politik yang memiliki akses pada negara sekaligus memiliki status ekonomi-politik lebih tinggi daripada si pemohon akses. Sedangkan jaringan bawah adalah masyarakat politik minim harta dan kuasa namun memiliki hasrat untuk mengakses negara. Contoh par excellence dapat dilihat pada saat pemilu.
Calon legislatif mesti memiliki kecakapan mengelola jaringan ke bawah dan jaringan ke atas, jika ia ingin menang. Untuk menata jaringan bawah, sang calon akan membayar para ‘broker/makelar suara’ untuk mengumpulkan dukungan terhadapnya. Kepada jaringan bawah, sang calon tidak mengharapkan sumber daya finansial. Yang ia butuhkan adalah sumber daya politik dalam bentuk suara. Justru dengan jaringan bawah inilah sang calon banyak kehilangan uang.
Sementara itu, sang calon juga harus menjangkau jaringan atas untuk mendapatkan dukungan finansial. Dalam beberapa kasus, bisa jadi jaringan atas tidak memberi bantuan finansial langsung. Akan tetapi, jaringan atas memiliki ‘referensi’ kepada siapa sang calon dapat memperoleh bantuan finansial. Kepentingan sang calon kepada jaringan atas adalah dukungan dalam bentuk uang. Sedangkan kepentingan sang calon kepada kepada jaringan bawah adalah dukungan dalam bentuk suara, mengamankan posisi, dsb dan lain sebagainya. Tentu saja, yang berkepentingan dengan jaringan atas dan bawah tidak hanya calon legislatif.
Siapapun yang hendak berputar dalam pusara politik Indonesia tentu akan berpikir dalam ‘mode of thinking’ jaringan atas dan bawah. Kepada jaringan atas, ia akan mengharapkan kenyamanan finansial. Sedangkan kepada jaringan bawah ia mengharapkan kenyamanan posisional. Dan semua itu dilalui untuk satu tujuan, mengakses negara.
Angkatan kerja, problem lapangan kerja dan kehendak mengakses negara
Salah satu masalah di Indonesia dari dulu hingga saat ini adalah tidak seimbangnya antara angkatan kerja dan lapangan kerja. Menurut catatan Bappenas 2012, dari total angkatan kerja (mungkin kalau ada datanya Bung bisa memasukkannya di sini, data statistik tentang total angkatan kerja di Indonesia), sebanyak 4,1 juta adalah pengangguran. Dan dari angka itu, separuhnya adalah lulusan diploma dan sarjana. Ini menunjukkan bahwa sarjana masih menjadi penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia. Padahal kita tahu, angka kelulusan sarjana pendidikan tinggi semakin meningkat. Artinya, angka tersebut akan terus meningkat bersamaan dengan lapangan kerja yang sedikit. Sementara itu, wirausaha masih menjadi bidang yang belum cukup digemari.
Titik pertemuan dari seluruh permasalahan ini menyebabkan mahasiswa terdorong untuk beramai-ramai mengakses negara untuk bekerja di dalamnya. Sebab, hanya negara lah yang dipandang dapat menjamin ‘keamanan’ masa depan para sarjana. Gaji, tunjangan, pensiun dan status sosial merupakan insentif yang sangat menggiurkan bila sang sarjana mampu mengakses negara. Jangan heran bila banyak yang kecewa saat di tahun-tahun sebelumnya pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium PNS. Ini pula yang menyebabkan mengapa tes CPNS selalu diserbu pendaftar.
Dari dahulu sampai sekarang, PNS masih menjadi primadona sebagian besar sarjana fresh graduate. Kenyataan bahwa mulai banyak sarjana yang bekerja di perusahaan swasta, atau perbankan bukan lantaran PNS sudah tidak digemari, melainkan lantaran para mahasiswa tidak lolos ujian CPNS.
Sekali lagi, kita tidak sedang ingin membicarakan CPNS. Yang ingin saya katakan adalah bahwa menjadi PNS adalah turunan dari kehendak mengakses negara. Artinya, kehendak mengakses negara tidak hanya terbatas pada keinginan menjadi PNS. Itu hanya contoh kecil saja. Lebih dari itu, kehendak mengakses negara dapat dilakukan dengan menjadi apapun, asalkan upaya itu mampu mengalirkan sumber daya ekonomi dan politik kepadanya. Oleh karena itu, bentuk mengakses negara bisa bermacam-macam, bisa dengan menjadi PNS, menjadi pemuda peminta proyek, menjadi broker suara di kampong-kampung, menjadi penyebar proposal kegiatan abal-abal untuk menyenggrek Bansos, dana aspirasi dll.
Persenyawaan gerakan mahasiswa dengan politik praktis
Tentu saja ada perbedaan yang signifikan antara menteri, anggota dewan, pejabat partai, mahasiswa, aktivis proposal, broker suara, PNS. Mereka berbeda dalam banyak sekali hal. Mulai dari status sosial, status pekerjaan, aktivitas sehari-hari, kualitas konsumsi, dll. Tapi di antara perbedaan-perbedaan yang muncul, ada persamaan yang bisa muncul secara bersamaan: kehendak mengakses negara. Disini berlaku sebuah dicktum: ‘selama kepentingannya sama, banyak hal yang bisa dinegosiasikan.’
Mengakses negara membutuhkan politik. Dan selama budaya politiknya patron-klien, maka modal untuk mengakses negara bukan penguasaan pengetahuan konstitusi, kenegaraan, kebangsaan, teori sosial, teori ekonomi. Itu semua bukannya tidak penting, melainkan kalah penting oleh yang bernama ‘jaringan’ dan seni berhipokrisi seperti yang telah saya singgung sebelumnya.
Siapapun yang hendak mengakses negara membutuhkan jaringan sebagai modal, baik itu jaringan atas ataupun jaringan bawah. Keduanya penting. Tanpa jaringan atas, ia kehilangan kenyamanan finansial. Tanpa jaringan bawah, ia kehilangan kenyamanan posisional. Keharusan menata jaringan atas dan bawah inilah yang menyebabkan para politisi merasa harus melibatkan aktivis mahasiswa dalam usahanya mengakses negara.
Keterlibatan aktivis mahasiswa dalam jaringan politisi bukanlah karena pemaksaan, melainkan kerelaan. Hal ini dimungkinkan lantaran ada kepentingan yang sama antara aktivis mahasiswa dengan para politisi, yaitu sama-sama ingin mengakses negara. Dan keduanya sama-sama paham akan adanya persamaan kepentingan itu.
Bagi politisi, aktivis mahasiswa adalah jaringan bawah yang bisa menghadirkan kenyamanan posisional. Ia bisa dimanfaatkan sebagai think tank, menjadi staf ahli, tenaga ahli, pembuat naskah pidato, memobilisasi suara, dan tidak jarang, memobilisasi massa-mahasiswa untuk bungkam, atau memobilisasi massa-mahasiswa untuk menekan penguasa, dsbdan lain sebagainya. Sedangkan bagi aktivis mahasiswa, politisi adalah jaringan atas yang bisa menghadirkan kenyamanan finansial. Dalam hal ini, sang aktivis bisa menawarkan dirinya sebagai staf ahli, tenaga ahli, pembuat naskah pidato, memobilisasi suara dan massa-mahasiswa, dsb.
Dengan bekerjasama dengan politisi, berarti aktivis mahasiswa telah terindikasi memiliki kehendak mengakses negara. Sebab ia berharap mendapatkan kenyamanan finansial dengan bekerja pada politisi, yang dalam bahasa Gramsci, tergolong pada masyarakat politik. Persenyawaan antara aktivis mahasiswa dan politisi seringkali tidak hanya persoalan uang membeli pemikiran. Lebih dari itu, pemilik uang memiliki otoritas untuk mengendalikan pikiran aktivis mahasiswa agar buah pikirannya dapat melayani hasrat sang politisi. Dalam keadaan yang seperti inilah, meminjam istilah Heru Nugroho, aktivis mahasiswa bergeser statusnya menjadi intelektual pengasong. Ia menjajakan pemikirannya untuk melayani kehendak dari politisi. Keduanya untung. Yang satu mendapatkan kenyamanan posisional, yang satu mendapatkan kenyamanan finansial.
Persenyawaan antara aktivis mahasiswa dengan politisi juga bisa dalam bentuk lain. Misal, ada fungsionaris partai politik yang tersandung kasus hukum. Demi elektabilitas partainya tidak turun, salah seorang petinggi partai mengontak kolega aktivis mahasiswa untuk tidak mengadakan aksi demonstrasi. Atau demi menurunkan elektabilitas partai lain, seorang politisi mengontak sang aktivis untuk mengadakan demonstrasi atas kasus yang sedang menerpa partai lain itu. Disini terlihat adanya pertukaran preferensi. Yang satu mendapat kenyamanan posisional, yang satu finansial.
Dari sudut pandang aktivitas gerakan kemahasiswaan, hubungan antara aktivis mahasiswa dengan para politisi biasanya terlihat jelas pada saat acara konggres, musyawarah, atau muktammar tingkat nasional. Menjadi ketua umum di sebuah organisasi kemahasiswaan, apalagi tingkat nasional, merupakan pintu gerbang yang menggiurkan untuk dapat mengakses negara. Oleh karena itu, tidak sedikit aktivis mahasiswa yang berambisi untuk mencapai posisi itu. Saking ketatnya kompetisi, modal tampang dan pengetahuan saja tidak cukup untuk keluar menjadi pemenang. Akhirnya, sang calon ketua umum membutuhkan uang. Pertanyaannya, darimana datangnya uang bila bukan dari jaringan atas?
Persenyawaan antara aktivis mahasiswa dengan politisi benar-benar membuat gerakan mahasiswa menjadi jinak dihadapan penguasa. Gerakan mahasiswa benar-benar telah terjebak dalam politik kartel yang, kata A.M. Tony Supriatma, mengebiri organisasi politik massa-rakyat dengan cara akomodatif dan manipulatif. Teknik saling mengakomodasi antara politisi dan gerakan mahasiswa ini pada gilirannya menyebabkan, meminjam bahasa Supriatma, lautan massa menjadi jinak.
Kita akhirnya bertanya, apakah masa depan gerakan mahasiswa akan go back to the future; bergeser menjadi seperti ketika sebelum orde baru yang mana banyak sekali organisasi mahasiswa merangkap sebagai sayap partai politik. Sulit untuk mengatakan ya. Namun sulit juga untuk mengatakan tidak.
Kita sulit untuk mengatakan ya, karena kedekatan gerakan mahasiswa dengan politik praktis tidak ditegaskan secara organisasional. Dalam AD/ARTnya, banyak organisasi mahasiswa masih menuliskan bahwa berkecimpung dalam politik praktis hukumnya adalah haram. Namun kita juga sulit untuk mengatakan tidak. Sebab, aktivis yang berkubang dalam politik praktis biasanya adalah pucuk pimpinan yang memiliki otoritas untuk menentukan arah dan kebijakan organisasi. Satu hal yang pasti adalah bahwa, untuk saat ini, gerakan mahasiswa sedang berada jarring-jaring kekuasaan dengan kekuatan buaian yang demikian dahsyat. Kini, masih pantaskah aktivis mahasiswa menyandang status sebagai intelektual organikc? Masih berlakukah status agent of social control bagi gerakan mahasiswa? Masih relevankah agent of change melekat pada diskursus gerakan mahasiswa? Masih bisa disebut creative minority-kah gerakan mahasiswa?***
Zamzam Muhammad Fuad, anggota HMP UGM dan sedang studi di Pascasarjana prodi Ketahanan Nasional UGM