LEBIH dari satu setengah abad lalu, Marx menganalisis bahwa keberadaan para pekerja dalam kegiatan produksi industrial berada dalam kondisi terasing. Di bawah kapitalisme, para pekerja mengalami alienasi dari kemanusiaannya, karena dibuat sedemikian rupa bergantung pada para pemilik modal yang memberi mereka upah. Hal ini terjadi akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai suatu keharusan untuk sekedar bertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan kreatifnya.
Alienasi adalah suatu hubungan yang aneh, ketika bekerja tidak lagi menjadi sebuah ekspresi dari tujuan hidup, namun kita merasa hubungan tersebut (seakan-akan) bersifat alamiah. Alienasi dalam pendekatan dialektis Marx merupakan kontradiksi dari kerja dalam naungan kapitalisme, namun seiring berjalannya waktu, kapitalisme dengan sangat cantik terus mengelaborasi cara bagaimana hubungan (alienasi) tersebut tetap terjaga namun dalam bungkus yang lebih tampak ‘humanis’ tentunya. Menurut Marx, alienasi akan berakhir bila manusia mampu mengungkapkan secara utuh kegiatannya untuk diri mereka sendiri, sehingga ekspolitasi dan penindasan tidak menjangkiti manusia lagi. Marx juga mengingatkan alienasi tidak bisa dipecahkan hanya dalam pikiran, butuh obat radikal dengan perubahan sosial yang benar-benar nyata.
Sekarang mari mulai bicara tentang obat tersebut. Jika Marx dulu pernah berasumsi bahwa pada hakikatnya manusia membutuhkan bekerja secara kooperatif, dalam kapitalisme, kooperasi (kerjasama) dihancurkan, manusia dipaksa untuk bekerja bagi kapitalis. Nah, asumsi Marx tersebut yang kini sedang saya coba bangun kembali, kooperasi dalam artian koperasi, koperasi yang sering kita dengar (katanya) sebagai sokoguru ekonomi di Indonesia. Bila pertanyaannya, seradikal itukah koperasi hingga mampu menjadi obat penawar alienasi, saya jawab ‘iya!’ Dan jawaban lengkapnya adalah koperasi pekerja.
Koperasi Pekerja
Kita analogikan alienasi sebagai penyakit endemik dalam tubuh kapitalisme. Untuk itu mari kita bawa alienasi ini ke ruang operasi dan kita bedah bersama unsur-unsurnya. Untuk membedahnya, saya meminjam penjelasan simple dari Ritzer (2011) yang mengungkapkan (kembali) unsur-unsur dasar alienasi dalam sistem kapitalisme. Pertama, para pekerja teralienasi dari aktivitas produktif mereka. Kedua, para pekerja teralienasi dari tujuan aktivitas tersebut atau atas apa yang diproduksinya. Ketiga, para pekerja teralienasi dari kegiatan sosial dengan sesamanya. Dan keempat potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap pekerja menjadi tidak berarti.
Sebelum memulai pembedahan, saya akan memperkenalkan terlebih dulu apa itu koperasi pekerja. Sederhananya koperasi pekerja adalah perusahaan koperasi yang dimiliki dan dikontrol oleh para pekerjanya. Tujuan utama dari koperasi pekerja adalah menjadikan pekerja-pekerjanya sebagai anggota. Tiap-tiap anggota memberikan andil terhadap permodalan perusahaan, dan tiap-tiap anggota, berapapun besarnya andil dalam modal perusahaan, memiliki hak suara yang sama di dalam perusahaan. Harta koperasi adalah kepemilikan kolektif dan surplus atau keuntungannya dialokasikan kepada para pekerjanya, tergantung pada kebijakan yang diambil oleh koperasi.
Dalam korporasi dikenal istilah one share one vote, semakin besar share saham, semakin tinggilah kedudukan suaranya. Atau dengan kata lain, si orang yang memiliki share terbanyak inilah yang menjadi sosok kapitalis, dengan segala dalil kebebasan, seolah-olah orang tersebut menjadi wajar bila berhak mengkerangkeng para pekerjanya. Intinya, dengan segala kekuatan kapital yang dimilikinya, semua bisa jadi ‘terserah gue!’.
Beda halnya dalam koperasi pekerja, tiap anggota memiliki satu suara, berapapun jumlah ‘saham’ yang mereka miliki. Mereka memiliki suara yang sama di dalam bisnis dan keputusan-keputusan yang diambil di tempat mereka bekerja sehari-harinya. Para anggota mengkombinasikan keahlian-keahlian, ketertarikan, dan pengalaman mereka untuk mencapai tujuan bersama dengan cara menciptakan pekerjaan untuk diri mereka sendiri, menciptakan demokrasi di tempat kerja.
Selanjutnya mari kita mulai membedah alienasi. Unsur pertama, para pekerja teralienasi dari aktivitas produktif mereka. Kerja dalam sistem kapitalisme adalah bekerja untuk kapitalis, yang mana tiap detik orang yang menjadi bos atau si pemilik share saham bisa berubah-ubah. Hari ini si A, besok si B, lusa ada merger, akuisisi atau apapun sebagai konsekuensi logis dari sebuah mimpi bernama persaingan sempurna. Para pekerja bekerja tidak memproduksi objek-objek berdasarkan ide mereka sendiri, mereka bekerja untuk si kapitalis yang memberi upah untuk keberlangsungan hidup, tentunya dengan cara yang diinginkan oleh si kapitalis. Ditambah dengan spesialisasi dalam pembagian kerja, yang membuat pekerjaan mereka menjadi terasa tidak terlalu berarti bagi keseluruhan produksi. Akhirnya para pekerja teralienasi dengan aktivitas produktifnya yang-telah menjadi milik si kapitalis. Lalu, bagaimana dengan koperasi pekerja? Dalam koperasi pekerja aktivitas produktif murni adalah milik para pekerjanya, tidak ada perebutan aktivitas produktif dalam koperasi.
Koperasi adalah kumpulan orang dengan tujuan yang sama, landasannya adalah sukarela dan terbuka. Jika pekerja cocok dengan jenis kerja, sesuai dengan kemampuan dan kesukaannya, pekerja secara sadar bisa bergabung dan ikut berproduksi (dengan catatan rasionalisasi dan efisiensi jumlah pekerja). Sebagai gerakan otonom, koperasi pekerja bekerja untuk dirinya sendiri. Ide-ide mereka untuk berinovasi dan berkreatifitas tidak terkekang oleh si kapitalis, karena dalam koperasi pekerja, mereka bisa menciptakan perusahaan dan lapangan kerja baru dan perusahaan itu dimiliki semua anggota/pekerjanya, tidak dimiliki oleh segelintir orang saja. Dengan kekuatan kolektif dan otonomnya, para pekerja bekerja memproduksi objek-objek berdasarkan ide-ide mereka sendiri.
Unsur kedua, teralienasi dari tujuan aktivitas produksi, yaitu produk. Dalam sistem kapitalisme, produk kerja para pekerja tidak menjadi milik mereka, melainkan menjadi hak milik pribadi para kapitalis. Kemudian kapitalis akan menggunakan hak miliknya untuk menjual produk demi mendapatkan keuntungan. Dari pola ini, adalah sah, misal, dari setiap produk sepasang sepatu Nike yang seharga satu juta rupiah, si pekerja cukup diberi upah lima ribu rupiah, karena produk sepatu Nike bukan milik para pekerjanya, tetapi milik si kapitalis. Atau para pekerja di sebuah pabrik roti yang bisa mati kelaparan, karena tidak kuat membeli roti yang mereka bikin sendiri. Mereka harus menunggu gaji/upah dari kapitalis untuk bisa membeli roti yang dibuatnya itu.
Dalam nalar koperasi pekerja, alienasi atas produksi ini diruntuhkan. Sebagai anggota yang juga pemilik koperasi, si pekerja memiliki secara utuh apa yang diproduksinya dengan cara mengontrolnya bersama dari mulai bentuk, kuantitas, distribusi produksi dan sebagainya. Walau dalam epos hari ini, epos kapitalisme, produk tersebut bisa terpeleset bertransformasi menjadi komoditas karena ke-nilai tukarannya yang dipaksa dengan didistribusikan ke pasar. Namun dalam tulisan ini, penulis tidak akan memperdebatkan itu secara mendalam agar tidak terjebak menjadi kontra-produktif tentang tawaran gagasan koperasi ini. Maklum, perlu diakui, orang-orang kiri jarang menyentuh koperasi sebagai suatu gagasan yang revolusioner. Namun sebagai jawaban sementara, dalam terminologi gerakan koperasi, pasar yang diperkenalkan adalah fair market sebagai pewujudan salah satu prinsip koperasi, yakni kerjasama antar koperasi. Jadi, jejaring dalam gerakan koperasi merupakan jejaring kerjasama yang tidak dominatif atau ber-ruh kompetisi.
Ketiga, yang menjadi soal adalah para pekerja teralienasi dari kegiatan sosial dengan sesamanya. Film bernuansa kritik karya Charlie Chaplin, Modern Time, begitu menggambarkan bagaimana para buruh pabrik bak robot mekanis yang terus berulang melakukan aktivitas yang sama. Tak ada komunikasi dan ihwal yang bersifat sosial berlaku dalam pabrik, karena ngobrol antar pekerja di ruang produksi dianggap bisa mengurangi produktivitas. Begitulah gambaran mode produksi kapitalisme bekerja, yang pada intinya, tenaga kerja mengalami proses alienasi atau keterasingan yang membuat kerja tidak lagi bagian dari fitrah manusia, melainkan proses rutin yang menjemukan. Seiring dengan perkembangan jaman, perubahan humanisasi di ruang kerja terus dibangun, dengan kamuflase bernama profesionalitas dan semacamnya. Namun secara esensi, jika diperhatikan, sebenarnya tidak ada perubahan. Dalam membaca ini kita perlu sedikit hati-hati, karena ini bukan perihal teknis semata tentang kedisiplinan kerja. Dalam diktum-diktum buku manajerial, tidak sedikit yang membincangkan dengan klaim ‘akademik’ bahwa kedisiplinan dalam aktivitas kerja itu penting, sehingga akan dianggap lumrah bila para pekerja dilarang mengobrol ini-itu atau melakukan sesuatu di luar SOP yang ditentukan. Namun, dalam hal ini, kita perlu menarik ini lebih jauh lagi agar tidak terkatung di permukaan. Kiranya kita perlu kembali mengingat, dalam Marxisme pun perlu penelaahan yang ketat dan disiplin. Dengan kata lain, disiplin adalah bagian dari Marxisme. Nah, dalam koperasi pekerja, tujuan aktivitas produksinya merupakan hasil dari semangat kolektifitas serta segala proses yang berjalan tiada lain merupakan kesepakatan bersama, termasuk perencanaan dan pelaksanaan aturan-aturan harian dalam berproduksi. Dalam telaah koperasi pekerja, para pekerja bisa bebas dari keterasingan. Pasalnya, ketika kedisiplinan muncul sebagai aturan utama dalam koperasi pekerja, hal itu tiada lain merupakan hasil ekspresi bersama seluruh anggota. Dalam hal ini, pekerja tidak terlepas dari ihwal sosialnya, aturan disiplin bukan merupakan dikte si pemilik modal.
Dalam koperasi pekerja, relasi yang terjalin di antara anggota/pekerja tidak saling mengsubordinasi. Pekerja bekerja untuk mengekspresikan diri, bukan untuk berkompetisi di antara para pekerja seperti halnya yang seringkali terjadi di dunia korporasi, dimana si kapitalis sering mengadu para pekerja agar berlomba untuk menjadi yang lebih giat, rajin, dan cepat melakukan kerjanya. Belum lagi, hari ini sistem kerja yang dibangun sangat menguntungkan kapitalis, seperti hadirnya sistem kerja kontrak dan outsourcing. Si kapitalis tinggal duduk kalem menonton para pekerja yang secara horizontal dipertarungkan. Pekerja yang berprestasi dan paling produktif akan diberi imbalan lebih, sementara yang kalah akan dibinasakan. Koperasi pekerja adalah pembalikannya. Nilai kerjasama menjadi menu utama dan keniscayaan dalam koperasi. Soal operasionalisasi nilai ini, koperasi melangkah lebih maju dibanding dengan teriakan revolusi yang sering kita dengar di jalan-jalan yang masih abstrak itu. Dalam perjalanannya, sejak Robert Owen menggagas model koperasi sampai detik ini, koperasi bisa berjuang dan bertahan hidup dengan caranya. Koperasi tidak mudah terjebak dalam kata-kata brosur-pamflet yang retorik.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana sejumlah besar pekerja memproduksi komoditas demi keuntungan segelintir kapitalis. Namun kapitalisme bukan semata sistem ekonomi, yang lebih penting adalah bahwa ia juga merupakan sistem kekuasaan. Rahasia kapitalisme adalah kekuatan-kekuatan politis yang telah diubah menjadi relasi-relasi ekonomi (Wood, 1995). Dalam praktiknya, para kapitalis bisa memaksa dan sewenang-wenang ‘membunuh’ para pekerjanya dengan ancaman PHK, relokasi atau menutup pabrik-pabriknya. Dengan kekuasaanya, bukan soal sulit bagi para kapitalis untuk meruntuhkan potensi kemanusiaan yang dimiliki para pekerjanya. Inilah persoalan alienasi selanjutnya, para pekerja teralienasi dari potensi kemanusiaannya sendiri. Dalam kapitalisme pekerja ditransformasikan menjadi mesin-mesin kerja. Semuanya sudah diprogram sedemikian rupa termasuk senyum-senyum dan sapa hormat yang diberikan para pekerja. Kerja sama sekali tidak lagi menjadi ekspresi manusia, kebebasan manusia sangat terbatas. Terkait problem ini, koperasi pekerja memiliki prinsip utama berupa sukarela dan terbuka. Sukarela yakni tanpa paksaan, dan terbuka berarti koperasi senantiasa wajib bersifat inklusif, beda halnya dengan korporasi yang sangat ekslusif. Misal, para pekerja di Bakrie Group sama sekali tidak bisa sekonyong-konyong menjadi pemilik perusahaan. Kesukarelaan dan keterbukaan menjadi fundamen dalam gerak-gerik koperasi untuk menghargai esensi kemanusiaan para pekerja. Dalam hal ini, sederhananya pekerja bisa memilih ruang atau koperasi pekerja mana saja yang bisa menjadi media aktualisasi dirinya. Orang yang senang A, ia harus menjadi anggota koperasi A. Yang hobi B, dia harus bergabung dengan koperasi B.
Sedikit penjelasan di muka tentang koperasi pekerja yang ternyata mampu menjadi proyeksi untuk meng-counter sistem ekonomi yang kapitalistik. Seperti yang dibahasakan sebelumnya, koperasi bisa menjadi obat yang radikal. Namun, yang jelas perjuangan ini tidak semudah membalik telapak tangan. Secara diskursus pun, koperasi masih dipandang sebelah mata, baik oleh orang kiri, aktivis atau akademisi. Bahkan ada beberapa di antaranya yang merasa alergi. Apalagi melihat realitasnya, di Indonesia belum ada koperasi yang patut menjadi contoh konkret. Namun optimisme harus dibangun, koperasi adalah penciptaan momen dan kita harus setia terhadap momen yang diciptakan. Koperasi adalah gerakan disiplin diri untuk membangun kesadaran serta keinsyafan rakyat dan mengoordinasikan sumber daya yang penting untuk perjuangan.
Marx mungkin bukan anggota koperasi dan tidak pernah memberi penjelasan tentang koperasi, namun dari pembedahan kontradiksi internal kapitalismenya, kita bisa menjadi paham syarat pembalikannya, dan koperasi bisa menjadi anti-tesisnya. Satu lagi, dia pun pernah berseru ’Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!,’ bila begitu kenapa kita tidak sedikit mengubahnya menjadi: ’Kaum Buruh Sedunia, Berkoperasilah!’***
Dodi Faedlulloh, pegiat Koperasi, tinggal di Purwokerto. Saat ini sedang belajar di Pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman