JAKARTA berduka. Dampak banjir pada awal 2013 menghebat dan meluas, membuat ibu kota Negara tak berdaya, lumpuh. Banjir menjadi berita paling heboh seantero nusantara, bahkan ‘meluber’ hingga manca negara. Seolah Jakarta banjir, Indonesia pun terendam.
Seluruh perhatian surat kabar dan media elektronik nasional dan lokal mengabarkan banjir Jakarta dari berbagai aspek. Hingga kehilangan kecerdasan berkabar, apalagi mengungkap fonomena di balik banjir yang bertambah kronis, meluas dan menghebat di nusantara.
Padahal banjir juga wajah Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur.
Sepanjang 2007-2011, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mencatat 72 kali banjir menyerang Samarinda. Penyebabnya, 71 persen wilayah itu telah dibagikan kepada 76 perusahaan tambang batubara. Ijin Usaha itu produk kebijakan, hasil kompromi politik tingkat pusat, propinsi hingga kotamadya.
Korban banjir pun tak main-main. Setiap pusat kota Samarinda terendam, setidaknya 10 ribu lebih warga terganggu kegiatan ekonominya; mulai dari sopir angkot, pedagang sayur, hingga ibu rumah tangga. Wilayah titik banjir bahkan meluas dari 29 menjadi 35 titik banjir. Penanganannya juga menguras kantong. Kota Samarinda menghabiskan dana rata-rata tiap tahunnya untuk penanggulangan dampak banjir 2008-2010 sebesar Rp. 107,9 M. Sementara pada 2011 hingga 2013, Pemerintah Provinsi mengalokasikan total Rp. 602 Milyar. Belum biaya perbaikan jalan rusak akibat angkutan batubara yang disiapkan sekitar Rp. 37,6 M pada 2012.
Tapi banjir tak hanya wajah Samarinda, sebagai sebuah kota. Banjir juga wajah Tukimin (57 th) bersama 8 ribuan warga Makroman, Samarinda, yang merasakan banjir lumpur batubara. Makroman tak sampai satu jam berkendaraan dari Samarinda. Sejak rombongan transmigran di desa Makroman berhasil membangun saluran irigasi pada 1999, Tukimin dan teman-teman petaninya bisa memanen padi dua kali dalam setahun. Bahkan sepanjang 1999 hingga 2006, desanya menjadi kawasan percontohan pertanian yang berhasil di wilayah Samarinda, Kalimantan Timur.
Dua kali panen Padi dalam setahun adalah mimpi Tukimin lebih empat puluh tahun lalu. Sejak ia membawa keluarganya meninggalkan Kendal, Jawa tengah, mengikuti program Negara bertransmigrasi ke Kalimantan Timur pada 1957. Saluran irigasi itu membuat mimpi-mimpinya membaik, penuh harapan. Ia tak pernah lagi bermimpi sawahnya gagal panen. Ia bahkan ingin mengikuti tetangganya, Bahar, yang berhasil membuat kolam ikan dan mengembangkan peternakan ayam. Hingga kemudian pemerintah Kodya Samarinda mengeluarkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara kepada CV Arjuna, yang luas konsesinya sekitar 1.589 hektar, delapan tahun kemudian.
Tak seorangpun yang memberitahu Tukimin, bahwa bukit-bukit yang mengelilingi persawahan di kampungnya akan dibongkar menjadi kawasan tambang batubara. Apalagi menyampaikan berapa lama pembongkaran itu akan berlangsung serta dampaknya bagi masyarakat.
Pertambangan sama dengan membongkar tanah dan sumber-sumber air, merusak tanah air. Bukit-bukit berhutan kawasan tangkapan air desa Makroman, babak belur hingga rata dihajar alat berat CV Arjuna. Tak sampai setahun, saat musim hujan, penampung limbah pencucian batubara perusahaan jebol, membanjiri sawah, kolam ikan dan sumber air. Sejak itu kondisi ekonomi warga Makroman makin memburuk.
Musim hujan yang dulunya berkah kini menjelma musibah. Banjir lumpur batubara terus berulang. Juga krisis air di musim kemarau – kini menjangkau luasan sawah sekitar 383,87 hektar, yang dimiliki 1.905 keluarga petani di sana. Panen yang dulunya bisa 70 karung gabah, kini cuma 12 karung. Kolam ikan lebih parah, tak ada yang tersisa untuk dipanen.
Banjir adalah wajah Makroman, Samarinda dan Jakarta. Wajah kampung hingga perkotaan Indonesia.
Sejak kapan wajah banjir seragam? Sejak Pengurus Negara, pemerintah memperlakukan tanah atau lahan semata komoditas dagang. Bukan sebuah ruang hidup, yang bersamanya manusia melahirkan nilai-nilai sosial, ekonomi dan budaya lokal, termasuk ukuran kesejahteraan.
Ruang hidup itu, dengan beragam cara akhirnya berpindah ke tangan korporasi pertambangan, penebangan kayu, pulp and paper, perkebunan skala besar, perumahan mewah hingga pusat-pusat pertokoan, melalui beragam perijinan. Kini, ijin pertambangan saja sejak masa orde baru mencapai lebih 11 ribu ijin. Usia perijinan mencapai 5 hingga 30 tahun, dan bisa diperpanjang hingga dua kali lipat lebih.
Perampokan ruang hidup di masa penjajahan, berulang paska kemerdekaan untuk merawat Indonesia menjadi pemasok sumber bahan mentah dunia, seperti emas dan nikel, karet, minyak dan gas bumi, minyak sawit mentah, tepung kertas, yang kesemua nilainya ditentukan oleh pasar, bukan oleh sang pemilik sumber daya tersebut. Tujuannya pun diseragamkan, untuk meningkatkan kesejahteraan warga melalui angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Perampokan ruang hidup membuat daya dukung alam menurun drastis, hingga daur hidup alaminya terganggu. Hutan rusak sehingga tak mampu mengikat tanah, tanah tak mampu lagi menyerap air hujan, badan-badan sungaipun tak mampu menahan air.
Selain ruang hidup, waktu dan ingatan sosial warga juga dirampok secara bersamaan. Lamanya ijin-ijin ekploitasi sumber daya alam telah menghilangkan hak warga untuk bisa produktif dan terjamin keselamatannya dalam jangka panjang. Celakanya, bersama alih fungsi lahan tersebut, mereka dipaksa mengubah moda kehidupannya dalam jangka panjang, dari petani ataupun nelayan menjadi pedagang kecil dan buruh, buruh toko hingga buruh migran. Dari produsen, mereka menjadi konsumen, dari komunitas yang mandiri kini bergantung pada uang tunai.
Sejak itu, tak hanya ingatan sosial dengan tanah, relasi dan ingatan sosial antar manusia, kearifan lokal dan solidaritas juga terkikis. Nilai-nilai sosial bertranformasi menjadi satuan angka dan barang-barang. Kita merasa lebih baik, saat makin banyak memilki uang, gadget atau barang elektronik lainnya. Kita, separuh populasi di Asia Tenggara ini adalah sebuah captive market, pasar raksasa dengan konsumen-konsumen yang menurun kecerdasannya.
Kita tak peduli apakah kita menjadi konsumen perusak, karena barang yang kita punya mengancam keselamatan penduduk di kampung lain, atau Negara lain. Logam berat dalam gadget kita bisa saja dari Bangka Belitung, hutan hujan di Kalimantan, ataupun Kongo di Afrika yang terus bergejolak karena konflik militer. Termasuk berbagai sampah plastik dan styrofoam yang menumpuk dan mengganjal saluran-saluran air diperkotaan, memperburuk banjir tiap musim hujan.
Banjir kini wajah Indonesia. Sungguh menghina akal sehat menyebutnya sekedar cobaan Tuhan, kutukan karena patung perempuan telanjang di istana Presiden, ataupun maksiat perayaan tutup tahun. Banjir telah menjadi krisis Negara. Mengurusnya mesti dimulai dengan memperlakukan wilayah kepulauan sebagai ruang hidup dan meletakkan keselamatan warga Negara di atas kepentingan siapapun.***
Siti Maimunah, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)