LENIN pernah menulis: ‘Marxisme demikian berkuasa karena ia benar.’ Puluhan tahun kemudian, dipersenjatai dengan ‘nalar kritis,’ para intelektual Marxis membaliknya: ‘Kebenaran adalah produk kelas berkuasa.’ Demikianlah, Marxisme kemudian menjadi kaul kesucian: jauhi kebenaran, jauhi kekuasaan, cuci tangan sebelum makan. Mereka tak lagi membedakan kritisisme dari paranoia. Namun, kita tak akan membahas kasus paranoia di sini—marilah kita serahkan perkara itu pada para psikiater. Apa yang akan kita bahas adalah landasan bagi klaim Lenin bahwa Marxisme itu benar adanya.
Apakah yang menjamin bahwa Marxisme benar adanya? Banyak orang akan menjawab pertanyaan ini dengan berkata: Marxisme benar karena apa yang dinyatakannya tentang kenyataan—sejarah perkembangan masyarakat, misalnya—sesuai dengan kenyataan itu sendiri. Dengan kata lain, kenyataan merupakan hal yang membuat benar (truthmaker) Marxisme. Tentu saja. Namun, ini belum menjawab pertanyaan kita, sebab yang kita tanyakan bukanlah apa yang membuat Marxisme benar, melainkan apa yang menjamin Marxisme benar. Apakah yang memungkinkan Marxisme disebut sebagai benar? Pertanyaan soal jaminan kebenaran Marxisme ini dapat dijernihkan melalui sederet eksperimen-pikiran.
Andaikan suatu dunia yang identik dengan dunia kita sekarang ini, tetapi di dunia itu Karl Marx tidak pernah dilahirkan. Pertanyaannya, apakah Marxisme tetap benar di sana? Dalam dunia itu kebenaran Marxisme masih dimungkinkan, walaupun nama ‘Marxisme’ tidak ada (sejauh Karl Marx, pendirinya, tak dilahirkan). Tesis dasar ‘Marxisme’—basis mengondisikan superstruktur—tetap masih dimungkinkan sebagai benar. Hanya saja, mungkin nama orang yang menyatakannya adalah Karel Markus sehingga ajaran ‘basis mengondisikan superstruktur’ dikenal sebagai Markisme ketimbang Marxisme. Dalam dunia seperti itu, Marxisme dikatakan masih tetap benar karena semua komponen kenyataan historis yang digambarkan ‘Marxisme,’ atau Markisme, (dengan kata lain, truthmakers-nya) masih ada: revolusi industri, relasi kerja-upahan, pertukaran komoditas dan sebagainya.
Sekarang, andaikan sebuah dunia dimana manusia tak pernah ada dan satu-satunya makhluk hidup di planet Bumi adalah sejenis ganggang. Apakah Marxisme tetap benar di sana? Apakah tesis ‘basis mengondisikan superstruktur’ atau tesis ‘nilai-lebih diambil kapitalis sebagai selisih dari nilai kerja dan nilai produk kerja’ masih dapat kita sebut sebagai benar di dunia itu? Jawabannya ‘tidak.’ Karena kita tak mungkin menyatakan benarnya sesuatu tanpa mengandaikan adanya hal yang membuatnya benar. Kalau begitu, apakah tesis Marxisme salah dalam dunia seperti itu? Tidak juga, sebab sesuatu yang tak punya kenyataan yang membuatnya benar tak bisa diputuskan sebagai keliru. Sesuatu yang tak memenuhi syarat sama sekali untuk dikatakan benar, niscaya tak mungkin pula dikatakan keliru. Kita hanya mungkin keliru untuk sesuatu yang mana kita mungkin benar. Tesis ‘nilai-lebih’ tidak keliru dalam dunia dimana manusia tak pernah ada, sebab isi tesis itu tidak berlawanan dengan dunia—persis karena tak ada sesuatupun di dunia yang dapat dipertentangkan dengan tesis tersebut.
Sampai di sini kita memperoleh gambaran tentang kondisi-kondisi yang menjamin bahwa Marxisme benar. Marxisme tidak benar di segala kondisi. Marxisme dibenarkan oleh kenyataan adanya manusia di planet Bumi, bahwa kebutuhan hidup manusia dipenuhi melalui pembagian kerja sosial dan pertukaran komoditas, bahwa ada relasi kerja-upahan dan seterusnya. Namun, kenyataan ini dijamin oleh fakta kondisional bahwa ada planet Bumi, bahwa ada semesta fisik yang memungkinkan terwujudnya entitas kimiawi dan biologis, bahwa ada sejarah perkembangan alam material dan seterusnya. Inilah kondisi-kondisi yang menjamin agar truthmaker dari Marxisme—yakni relasi kerja-upahan—dimungkinkan. Inilah kondisi-kondisi yang menjamin Marxisme dapat dikatakan benar. Marxisme dapat dikatakan benar kalau ada planet Bumi, kalau ada susunan semesta fisik, kimiawi dan biologis tertentu. Singkatnya, agar Marxisme dapat dikatakan benar, dunia mesti ada secara tertentu.
Ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian di muka. Pertama, teori Marx, yakni materialisme historis atau pandangan tentang sejarah perkembangan masyarakat, mensyaratkan teori tentang dunia. (Nikolai Bukharin, dalam karya penghabisannya, Philosophical Arabesques, juga menyimpulkan hal yang sama). Marxisme, sebagai teori tentang realitas sosial, mensyaratkan teori tentang realitas a-sosial yang mengondisikan adanya realitas sosial: teori tentang konstitusi dasar semesta dan stratifikasi kausal antar elemennya. Kedua, kebenaran Marxisme bersifat spesifik secara historis. Marxisme mengandaikan fakta historis adanya manusia yang terorganisasikan berdasarkan hubungan kerja-upahan. Marxisme tidak benar di seluruh dunia yang mungkin ada; ia hanya dapat dikatakan benar dalam dunia tertentu, dalam cakupan historis tertentu. Kita akan memikirkan implikasinya mulai dari kesimpulan kedua.
Apa konsekuensi dari fakta bahwa kebenaran Marxisme bersifat spesifik secara historis? Apakah itu berarti Marxisme kurang benar? Benar atau salahnya sebuah bangunan proposisi ditentukan dari sesuai atau tidaknya dengan hal yang membuatnya benar. Seperti telah kita lihat, dalam dunia dimana hal yang membuat Marxisme benar tidak ada, Marxisme tidak dapat dikatakan benar atau salah. Oleh karena itu, tak masuk akal pula mengatakan bahwa dalam kondisi itu Marxisme ‘kurang benar’ atau ‘lebih benar.’ Kespesifikan historis, karenanya, tidak mengurangi (atau menambahi) kebenaran Marxisme. Kespesifikan ini hanya menunjukkan batas klaim Marxis, yakni bahwa proposisi-proposisi Marxis hanya berkenaan dengan dunia sejauh kondisi-kondisi tertentu dipenuhi (bahwa ada planet Bumi, bahwa ada manusia, bahwa ada relasi kerja-upahan, dsb.). Dengan demikian, ciri kebenaran Marxis yang spesifik secara historis ditentukan oleh apa yang menjamin kebenaran tersebut. Begitu kondisi-kondisi itu dijamin, maka kita bisa bersepakat dengan Lenin bahwa Marxisme memiliki kekuatan (terhadap realitas sosial), karena Marxisme benar (tentang realitas sosial).
Kembalilah kita kini pada kesimpulan pertama. Salah satu tugas ‘filsafat Marxis’—yang tentu berbeda dari filsafat Marx—adalah memberikan jaminan pada Marxisme agar dapat dikatakan sebagai benar. Apabila tugas ilmu-ilmu sosial Marxis adalah membuktikan apakah Marxisme benar—yakni dengan menunjukkan truthmakers empirik bagi setiap proposisi Marxis—maka tugas filsafat Marxis adalah membuktikan mengapa Marxisme dapat dikatakan benar, dengan kata lain, menjaminnya. Seperti telah kita lihat, tugas ini mengandaikan kajian tentang semesta a-sosial sebagai basis yang mengondisikan semesta sosial. Artinya, filsafat Marxis mesti menjelaskan model dunia semacam apa yang diandaikan oleh benarnya Marxisme. Apa yang dibahasnya bukanlah benar/salahnya klaim Marxis tentang masyarakat—sebab itu adalah tugas ilmu-ilmu sosial Marxis—melainkan mengajukan pemahaman tentang konstitusi dasar realitas secara umum. Apa itu ada; apa itu kausalitas; apakah hubungan antara subjek dan predikat; apakah hubungan antara bagian dan keseluruhan—jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang akan memberikan gambaran tentang konstituen dasar yang menyusun semesta dimana Marxisme dimungkinkan sebagai benar. Menjamin Marxisme berarti menunjukkan, melalui eksposisi rasional, bagaimana fondasi kenyataan tergelar, dan itu artinya juga mengambil risiko untuk masuk ke dalam perdebatan ‘skolastik’ tentang kategori-kategori analitik, seperti esensi, eksistensi, substansi, aksiden, keniscayaan, kehendak bebas, universalia, partikularia, dsb. Ini adalah sisi skolastik Marxisme yang secara taktis tak terlalu relevan bagi perjuangan sehari-hari, tetapi secara strategis menyimpan relevansi yang layak dipertimbangkan.***
30 Desember 2012