Tanggapan untuk Iqra Anugrah
ARTIKEL ini berargumen bahwa terdapat perbedaan mencolok antara partisipasi politik dan mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah hal yang mendasar dan substansial dalam pembangunan demokrasi sejati. Partisipasi politik, mensyaratkan sebuah proses politik yang panjang dengan melibatkan seluas mungkin partisipan yang sadar akan hak-hak politiknya. Partisipasi politik tidak akan terbangun jika partisipannya terbatas, isu-isu yang dibicarakan ditentukan oleh kelompok yang terbatas, serta ruang pengambilan keputusan dan kontrol atas keputusan tersebut juga terbatas. Intinya, partisipasi berbicara tentang kehadiran (presentation) partisipan, bukan keterwakilan (representation) partisipan dalam proses politik sehari-hari (everyday politics).
Sementara mobilisasi politik adalah hal yang biasa terjadi pada sistem politik apapun. Mobilisasi adalah tindakan pengerahan massa, baik sadar maupun tidak, untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan mendesak sebuah kelompok politik (partai politik, organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat, atau asosiasi-asosiasi sipil tertentu). Mobilisasi tidak mengindahkan besaran ruang pengambilan keputusan, kehadiran partisipan, dan juga kontrol atas keputusan politik yang ada. Mobilisasi, karena itu, perluasan dari proses keterwakilan politik ketimbang kehadiran partisipan dalam proses politik sehari-hari.
Partisipasi dalam demokrasi elektoral
Jika filosofi partisipasi politik adalah kehadiran politik dari partisipan dalam proses pengambilan keputusan dan kontrol atas keputusan tersebut sehari-hari, apakah hal ini tidak bertentangan dengan sistem demokrasi elektoral yang berbasis pada keterwakilan politik?
Jika demokrasi kita maknai sebagai sebuah proses yang bersifat prosedural: ada pemilu periodik, ada kompetisi terbuka antara kontestan politik, ada lembaga-lembaga pengawas, ada pemisahan kekuasaan, ada pers bebas, maka partisipasi politik secara esensial bertentangan dengan demokrasi elektoral. Basis legitimasi demokrasi elektoral adalah keterwakilan politik (political representation), sementara basis legitimasi dari partisipasi politik adalah kehadiran politik (political presentation). Demokrasi electoral adalah sebuah kondisi dimana perwakilan politik mengambil keputusan dan mengontrol keputusan dari yang diwakilinya sehari-hari, sementara rakyat menentukan keputusan politiknya sekali dalam lima tahun.
Dalam sistem ekonomi politik neoliberal, partisipasi politik jelas merupakan hal yang aneh. Esensi neoliberalisme adalah minimalisasi keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan politik, terlebih-lebih keputusan ekonomi. Demokrasi elektoral dalam bingkai neoliberalisme adalah demokrasi yang melayani kepentingan oligarki politik-ekonomi, sembari merantai negara untuk tak terlibat dalam pengurusan kepentingan publik. Rakyat dibiarkan untuk menyelesaikan persoalannya dalam mekanisme pasar yang impersonal. Di sini, representasi politik tidak berkaitan secara langsung dengan ketikdadilan dan kesenjangan dalam distribusi kekayaan ekonomi dan politik.
Jika demokrasi elektoral bisa memunculkan rezim populis dengan kebijakan publik yang ekstensif, maka dalam sistem neoliberalisme populisme muncul sebagai jargon masa kampanye. Setiap kontestan pemilu berlomba-lomba menyampaikan program-progam pro-rakyat, tapi begitu kekuasaan digenggam dengan segera mereka menerapkan kebijakan neoliberal: privatisasi, liberalisasi, pemotongan anggaran publik, dan pasar kerja fleksibel. Kita sudah melihat kenyataan politik ini sejak masa kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan lebih-lebih pada dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Itu sebabnya, secara asali mekanisme partisipatori demokrasi bertolak dari prinsip penolakan atas sistem demokrasi neoliberal. Adalah omong-kosong atau pencitraan belaka jika ada pemimpin yang berbicara mengenai pentingnya partisipasi politik rakyat, sementara pada saat yang sama ia menerapkan kebijakan neoliberal. Watak anti-neoliberalnya ini yang membedakan partisipatori demokrasi dengan konsep deliberasi demokrasi yang dikampanyekan oleh kalangan post-marxis atau post-neoliberalisme, yang kini dikumandangkan oleh sebagian LSM dan lembaga-lembaga superstate semacam IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Partisipatori politik sebagai solusi
Partisipatori politik menjadi solusi ketika (1) tidak cukup syarat bagi kekuatan-kekuatan progresif untuk melakukan revolusi politik dalam sistem pemerintahan yang terbuka atau demokrasi elektoral; (2) sebagai respon atas penerapan kebijakan neoliberal secara besar-besaran oleh rejim pasca kediktatoran militer.
Itu sebabnya partisipatori demokrasi bukan sebuah alternatif untuk menggantikan sistem demokrasi elektoral. Mekanisme ini berjalan beriringan dengan sistem elektoral hasil pemilu. Melalui partisipatori politik, rakyat tidak menyerahkan sepenuhnya nasibnya kepada lembaga dan aktor politik yang mewakilinya, melainkan secara bersama-sama memutuskan kebijakan apa yang paling mewakili kepentingan rakyat serta mengontrolnya setiap hari. Tanpa partisipasi rakyat, pertanggungjawaban dan transparansi politik hanya ilusi.
Tetapi, untuk bisa membuat keputusan dan mengontol keputusan itu sehari-hari, maka rakyat harus membentuk organisasinya sendiri, membangun struktur yang demokratis, yang menjamin setiap orang dan kelompok untuk bebas mengutarakan pendapatnya, aktif melakukan pertemuan-pertemuan terbuka guna mendiskusikan kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Misalnya, ketika pemerintah DKI Jakarta berencana membangun atau merancang ulang lokasi-lokasi pemukiman kumuh, pembangunan rusun kampung deret di bantaran sungai Jakarta, perbaikan sungai, serta bagaimana mengatasi banjir dan kemacetan lalulintas yang parah, maka inisiatif ini harus direspon melalui pembentukan organisasi-organisasi di tingkat warga untuk secara aktif memberi masukan kepada pemerintah DKI Jakarta, ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusannya, serta mengontrol hasil keputusan itu. Rakyat tak boleh diam dengan inisiatif pemerintah ini, karena akan membuat duet Jokowi-Ahok ini mengambil keputusan-keputusan yang bersifat teknokratis: ‘serahkan kepada ahlinya.’ Slogan yang di berbagai penjuru Dunia Ketiga telah gagal, bukan hanya di masa pemerintahan gubernur Fauzi Bowo.
Tetapi, jika insiatif pemerintah ini tidak mendapat respon yang serius, atau sebaliknya, pemerintah cukup datang kepada warga, bertanya tentang apa maunya warga, kemudian mengambil keputusan sendiri, lantas melakukan sosialisasi hasil keputusan tersebut kembali kepada warga, maka ini bukan partisipatori politik. Inilah bentuk yang lebih canggih dari mobilisasi politik. Kondisi ini sangat mungkin terjadi, karena pemerintah terpilih ingin cepat-cepat mewujudkan janjinya guna menghindari kritik dan serangan politik dari lawan-lawan politiknya di parlemen maupun media massa. Akibatnya, mereka tidak sabar untuk menjalankan mekanisme partisipatori politik karena dipandang terlalu lambat dan bertele-tele. Selama reformasi ini berlangsung, hal seperti ini telah terjadi di beberapa pemerintahan lokal di Indonesia, sehingga selama pejabat baik hati tersebut berkuasa maka ia bisa menjamin program-programnya berpihak kepada rakyat. Tetapi, begitu sang pejabat ini pergi maka dalam waktu singkat program-program pro-rakyat ini pun ikut lenyap.
Maka itu, partisipatori politik menghendaki terpenuhinya dua syarat pokok: Pertama, keterlibatan aktif rakyat melalui institusi atau extrainstitusi yang dibentuknya untuk memaksa pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga perwakilan yang ada agar memenuhi janji-janji masa kampanyenya. Melalui organisasi-organisasi kewargaan ini, rakyat ikut meletakkan pondasi yang kuat bagi bangunan demokrasi sejati dalam jangka panjang. Kedua, partisipasi politik juga tidak akan terjadi tanpa adanya kehendak dari pejabat pemerintah untuk memberlakukan kebijakan anti neoliberal, melaksanakan dan mempromosikan transparansi politik, keterbukaan, pertanggungjawaban, dan memperluas keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan dan kontrol atas keputusan tersebut.
Pertemuan antara dua keadaan inilah yang disebut sebagai ‘transformasi dari atas, radikalisasi dari bawah.’***
Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)