Daftar Isi Edisi Ini:
- Tahun 2011, Tahun Bermimpi Secara Berbahaya
- Eko Prasetyo: Menulis BUKAN Tamasya Pemikiran!
- Kagarlitsky dan Trilogi Politik Sosialis Abad 21
- Kerja Konkret dan Kerja Abstrak
ADA SETIDAKNYA dua tendensi yang mencuat ke permukaan di kalangan aktivis kiri saat ini. Pertama, tendensi yang hanya menekankan ’tujuan akhir’ tanpa analisa yang matang terhadap situasi riil dan identifikasi ruang-ruang taktis yang bisa dimanfaatkan untuk menuju tujuan akhir tersebut. Gerakan mereka tidak berpijak pada dunia riil, tapi berangkat dari ideal-ideal yang ada di kepala. Mereka suka memaksakan ideal-ideal tersebut tanpa memperhitungkan prasyarat material yang diperlukan untuk memenuhi ideal-ideal itu. Walhasil, mereka gagal merumuskan suatu trajektori politik yang konkret dan terjebak dalam kesibukan mengutuki dan memaki-maki dunia riil dengan retorika moral mereka. Sialnya, dunia tidak bisa diubah hanya dengan dikutuki dan dimaki.
Tendensi yang kedua adalah kebalikan dari yang pertama. Tendensi ini menekankan pencarian ruang-ruang taktis untuk mendorong reform atau membendung gerak modal tanpa memiliki ’tujuan politik akhir.’ Mereka terjebak dan larut dalam pengejaran reform-reform jangka pendek, yang celakanya juga jarang dicapai. Salah satu kesibukan mereka adalah mencari-cari pimpinan borjuasi-populis baik hati yang bisa diajak kerjasama atau didukung dalam Pilkada. Mereka lupa bahwa kapitalisme ada batasnya. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang tidak akan pernah bisa compatible dengan kemaslahatan manusia, karena basisnya adalah pengejaran keuntungan melalui penghisapan kerja. Dan pelampauan terhadap kapitalisme hanya bisa dilakukan dengan pengambilalihan kekuasaan politik oleh rakyat pekerja dan transformasi sosialis. Tetapi, mereka sudah lupa atau mungkin memang tidak meyakini hal ini lagi.
Kedua tendensi ini sudah berulangkali muncul dalam sejarah, meski tidak dalam bentuk yang persis sama. Pada masa Lenin, tendensi yang pertama muncul dalam sosok seperti Amadeo Bordiga, tokoh Marxis Italia, yang mendesakkan tesis anti-parlementernya dalam Kongres II Komunis Internasional. Sementara tendensi yang kedua muncul dalam sosok Eduard Bernstein yang mengadvokasi pencapaian sosialisme melalui reform-reform, dan pertama kali dihadapi oleh Rosa Luxemburg dengan karyanya, Reform or Revolution. Diskursus Marxis klasik juga punya istilah khusus untuk keduanya. Tendensi yang pertama biasa dinamakan dengan ’ultra-kiri’ atau ’komunisme sayap kiri kekanak-kanakkan,’ sedangkan tendensi yang kedua dinamakan ’oportunisme’―istilah yang terakhir ini mungkin lebih baik diganti dengan ’reformisme,’ mengingat istilah ’oportunisme’ lebih suka disalahgunakan untuk pembunuhan karakter daripada untuk pembelajaran.
Ultra-kiri dan reformisme, dua penyakit klasik yang selalu muncul dalam gerakan kiri. Ada beragam faktor yang secara langsung bisa menyebabkan kemunculan penyakit gerakan ini. Sebagian bisa bersifat psikologis, seperti runtuhnya keyakinan terhadap ’tujuan akhir’ karena sudah begitu lama berjuang tanpa ada perubahan yang berarti, sehingga yang akhirnya mampu dibayangkan hanyalah reform-reform belaka. Atau karena ketidaksabaran yang merupakan lahan psikologis yang subur bagi kemunculan sikap ultra-kiri. Apapun sebab langsungnya, kedua penyakit yang menghambat perjuangan kelas pekerja ini dapat ditelusuri akarnya pada ketidakmatangan ideologis dari gerakan itu sendiri. Dalam hal ini, ketidakmatangan ideologis itu adalah buah dari kegagalan pembelajaran untuk memahami secara material situasi yang tengah dihadapi. Pasca dokumen politik Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels, setiap perjuangan pembebasan kelas pekerja mensyaratkan pembelajaran ilmiah secara terus menerus terhadap dinamika kapitalisme. Hanya dengan cara inilah kita akan mampu memperkuat posisi ideologis kita sekarang.
LBR hadir untuk memberi kontribusi terhadap upaya pembelajaran terus-menerus atas situasi perjuangan rakyat pekerja sekarang ini di Indonesia. Dalam edisi LBR kali ini akan menampilkan review Muhammad Ridha mengenai buku Slavoj Zizek yang mencoba untuk memahami perlawanan rakyat pekerja di tingkatan global pada tahun 2011. Selain itu kami juga akan menampilkan review Andi Achdian terhadap tiga buku Boris Kagarlatsky. Tidak lupa kami tampilkan wawancara dengan Eko Prasetyo, penulis produktif berbagai buku perlawanan di Indonesia, yang memberikan kita pandangan mengenai cara menulis yang berlawan. Terakhir, suplemen Kajian Capital oleh Coen Husain Pontoh akan memberikan kita pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan kerja konkret dan kerja abstrak,
Selamat Membaca!
¶