Ini versi Divakaruni, bukan Vyasa.
Setelah perang usai, Kurawa tumpas. Pandawa meninggalkan medan pertempuran Kurusetra. Ini perang yang berakhir dengan lara:
‘Sesudah perang, pembakaran mayat.
Sesudah pembakaran mayat, abu dilarung ke Sungai Gangga.
Di sanalah, di tepi sungai, ketika abu dan kerikil terakhir mengalir dari jemarinya,
Yudistira jatuh ke dalam depresi.’
CHITRA Banerjee Divakaruni melukis suasana murung itu dalam novelnya: The Palace of Illusions—Istana Khayalan. Tapi sebetulnya bukan itu yang menjadi sari dari kisahnya. Ada sesuatu yang telah purba yang hendak ia kuak. Untuk itu, penulis perempuan kelahiran Calcutta itu merobek kisah ‘resmi’ Mahabharata. Kita tahu, kisah Vyasa itu tentang epos kepahlawan Pandawa—lima lelaki pujaan dewa—dalam menumpas angkara. Tapi, Divakaruni membuang yang klise. Ia menjungkirnya dengan lembut. Drupadilah juru bicara dalam kisahnya. Artinya, kisah para laki-laki itu ia lihat dari pandangan seorang perempuan. Dan hasilnya: sebuah ironi yang menyengat.
Setelah perang usai, beberapa tahun menikmati kekuasaan, Pandawa digariskan meninggalkan Hastinapura. Sebagai trah ksatria, mereka mesti menempuh perjalanan terakhir: keabadian. Drupadi ikut serta. Segala kemewahan ditanggalkan. Yang duniawi tak penting lagi. Ketika meninggalkan istana, rombongan enam orang itu hanya memakai pakain dari kulit kayu. Rakyat Hastina mengantar kepergian itu dengan belasungkawa yang mencabik-cabik.
Dan disinilah klimaks dimulai, bukan di padang Kurusetra. Ketika punggung bukit mulai ditapak, Drupadi tersungkur paling awal. Bima hendak menolongnya, namun Yudistira memegang pundak adiknya yang terkenal mudah terbakar itu. Ia mengingatkan pada aturan baku: ‘Sekali berjalan di jalan ini, kau tidak boleh melangkah surut, walaupun apa yang terjadi.’ Drupadi dibiarkan jatuh ke jurang. Tak ada yang menolong. Memang ada Bima yang menangis terisak-isak, tapi ia tak mampu melangkahi Yudistira. Selebihnya hanya pandangan iba kelima Pandawa—sang istri harus menerima takdirnya.
Saat tersungkur, ternyata Drupadi tersangkut pada tonjolan batu karang berselimut salju. Ia tak harus tumpas di dasar jurang. Sayup-sayup setengah sadar ia mendengar percakapan Bima dan Yudistira. Samar percakapan itu sampai ke kuping Drupadi:
‘Mengapa dia terjatuh?’ tanya Bima.
Dengan enteng Yudistira menjawab tanpa emosi, ‘Itu karena meskipun dia mempunyai banyak sifat baik, dia mempunyai satu kekurangan besar.’
Bima yang tahu Drupadi seorang istri yang berbakti, bertanya heran, ‘Apa kekurangannya?’
Jawaban Yudistira inti dari semuanya: ‘Dia menikahi kita semua. Tetapi dia mencintai satu laki-laki melebihi siapa pun.’
Tamparan Divakaruni itu begitu lembut. Yang tak jeli tak akan merasakan. Sindiran itu begitu halus, namun seperti sembilu: mengiris tajam. Kita tahu, Drupadi istri dari kelima Pandawa. Mungkin ini yang disebut poliandri. Tapi, sebetulnya cinta Drupadi hanya untuk Karna. Lelaki anak sais kereta itulah yang dicintainya. Dan itu bukan suaminya.
Yudistira menyadarkan kita: lelaki boleh membagi hatinya, tapi Drupadi sebagai perempuan tak boleh melakukannya. Karena cinta kepada suaminya tak lengkap seratus persen, maka Drupadi menyimpan dosa besar. Hukumannya: ia tak akan sampai di gerbang Nirwana. Sebab itu sudah pantas Drupadi terjatuh pada langkah awal karena kesetiannya terbelah. Sedangkan Pandawa, yang biasa membagi hatinya pada banyak perempuan, masih bisa melanjutkan perjalanan.
Mungkin ini yang disebut patriarki. Laki-laki menuntut total pada perempuan—termasuk cinta, tentunya. Perempuan yang tak bisa berlaku seperti itu akan disebut sundal atau urakan. Sebaliknya, lelaki bisa berlaku apa saja. Mereka boleh memiliki simpanan, gundik, selir, nikah siri, atau istri lebih dari satu. Arjuna bisa memiliki Srikandi dan Sumbadra, Bima selain beristrikan Drupadi juga beristrikan Arimbi—itu dianggap wajar. Tetap saja Drupadi mesti setia pada Pandawa.
Bisa saja Pandawa kita ganti dengan Aceng, Joko atau yang lain. Tak akan banyak berubah. Mahabharata memang ditulis 6000 SM yang lampau. Tapi kini kisahnya dapat kita lihat di dunia nyata dengan berbagai variasi yang menakjubkan—mungkin tak diduga oleh Vyasa sendiri. Drupadi bisa saja diganti dengan Midah, Pariyem, Bawuk, FO atau RB. Tapi nasib mereka sama saja.
Satu pertanyaan bisa diajukan: mengapa bisa terjadi?
Friedrich Engels memiliki jawaban menarik—mungkin tak semuanya suka karena terlalu apa adanya. Kata Engels dalam Origins of the Family, Private Property and the State (Asal usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara), perempuan direndahkan sejak terjadi apa yang disebut kepemilikan pribadi. Guna mengukuhkan hak laki-laki akan kepemilikan itu, perempuan mesti diringkus, dijinakkan dan seksualitasnya dikontrol serta diatur. Pendapat Engels itu sering dituduh determenistik. Tapi sulit menampik kebenarannya.
‘Penghapusan hak ibu,’ tulis Engels, ‘adalah kekalahan bersejarah kaum perempuan…diturunkan derajatnya dan direndahkan menjadi abdi; ia menjadi budak keinginannya sendiri dan alat untuk produksi anak-anak semata.’ Patok kemunculan ‘keluarga patriarkal’ telah tertancap dalam. Setelah itu dijejalkan pada perempuan: kesetian seorang ibu terhadap suami dan keluarga merupakan ekspresi tertinggi kepribadian mereka. Bila menyimpang dari itu, perempuan mesti dihukum karena ‘melanggar batas’ yang telah ditentukan laki-laki. Dan, saat itulah negara berperan menegakkan patriarki sampai berurat berakar—baik itu negara kuno sampai negara kapitalis.
Lelaki akan melakukan apa saja untuk mempertahankan haknya itu—termasuk kekerasan, tentunya. Kehendak untuk berkuasa menjadi muara. Tak mengherankan, demi kekuasaan, Pandawa mempertaruhkan Drupadi di meja judi. Ketika Drupadi mulai dilucuti kain sarinya oleh Kurawa, dengan alasan ingin bersifat ksatria—setelah kalah main dadu—Pandawa tak berbuat apa-apa; demi kekuasaan, mereka bergeming saat Drupadi dipermalukan di tengah-tengah jelalatan mata laki-laki. Sejak itulah Drupadi sadar dunia apa yang ia pijak. Dengan nada mencemooh ia berucap: ‘Bagi laki-laki, emosi-emosi yang lebih halus selalu terkait dengan kekuasaan dan kebanggaan.’
Drupadi dalam versi Divakaruni bukan perempuan yang lunglai. Ia telah siap memecah cangkang yang mengurungnya. Sedari muda ia tak mau takluk. Ia menolak seperti perempuan lain di sekelilingnya. Ketika perempuan kebanyakan asyik hidup di kaputren sembari menunggu pinangan datang, ia memilih belajar kitab-kitab dan keterampilan perang.
Di tengah masyarakat yang mengekang perempuan, tentu laku Drupadi dianggap menyimpang. Ia menyadari itu: ‘Semakin hari cara berpikirku semakin tak seperti perempuan di sekitarku. Semakin hari aku semakin jauh dan terpisah dari mereka ke dalam kesendirian yang gelap.’ Sepertinya begitulah nasib pendobrak: kesepian dan terasing. Kalaupun pada akhirnya ia kalah, langkahnya telah menjadi batu pijakan.
Mungkin kalimat satir Divakaruni—kali ini lewat Sumbrada—bisa dijadikan penutup. Kata itu terucap mengiris: ‘[me]tunggu seorang laki-laki membalaskan dendam untukmu, dan kau akan menunggu selama-lamanya.’***
Lereng Merapi. 22.12.2012