MINGGU ini adalah Kamisan ke 281. Tetap berdiri diam di depan istana. Tapi tak ada lagi Mami. Orang tua yang anak-anaknya diculik, ditembak, satu per satu telah dipanggil pulang pemilik hidup. September lalu, Yap Pit Sing, ayah Yun Hap, mahasiswa UI yang ditembak di peristiwa Semanggi, juga tutup usia. Mereka pergi sebelum buah ranum keadilan yang didambanya bertahun-tahun datang.
Beberapa bulan lalu, wajah tirus, berkerudung dan selalu tersenyum itu masih tampak berdiri di depan istana. Diam dan hitam. Tuti Koto namanya. Rupawan parasnya. Semua orang, diawali oleh alm. Munir, memanggilnya Mami.
15 tahun lalu, ia menjalani hidup biasa-biasa saja, di atas rumah panggung reyot, berdinding papan, di atas rawa-rawa di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Yani Afri, anaknya, bekerja sebagai sopir angkot. Pulang ketika petang menjelang, dan langsung menyelipkan uang belanja ke tangan Mami. Rian, begitu Mami memanggil Yani, adalah anak kesayangan Mami.
26 April 1997, tiga hari menjelang pemilu tahun itu, adalah hari paling hitam dalam ingatan Mami. Rian tak pulang. Tak biasanya begitu. Mami mulai cemas. Ia mencari ke mana-mana. Bertanya ke semua teman dan kerabat. Ia berlari ke Kodim Jakarta Utara, begitu mendengar anaknya ditahan di sana. Nihil. Mereka bilang Rian sudah dipulangkan. Ia lantas melapor ke polisi. Balik lagi ke Kodim. Nihil. Lalu mengadu ke YLBHI, bertemu Munir dan beberapa keluarga korban penculikan yang lain.
Tahun-tahun itu begitu banyak yang terjadi: Pemilu dan Soeharto terpilih kembali untuk keenam kali. Ekonomi Indonesia anjlok, para aktivis diculik, aksi perlawanan meledak di mana-mana, dan ending-nya, kekuasaan Soeharto selama 32 tahun itu pun rontok.
Mami tak tahu menahu soal begitu. Rian pun dikenalnya bukan aktivis yang paham politik. Ia hanya tahu, Rian simpatisan PDI pro Megawati. Tapi kekuasaan memang sudah kalap. Total 23 aktivis diculik, sembilan dipulangkan, seorang, Gilang, ditemukan tewas ditembak dan 13 masih hilang hingga sekarang.
Hidup Mami melompat jauh. Ia menyaksikan anak kesayangannya di antara 13 wajah aktivis yang masih hilang, terpajang di selembar kertas besar, tertempel hingga semua penjuru kota. Ia menyaksikan foto anaknya di koran-koran, di televisi. Anaknya, yang selalu menjadi kebanggaannya.
Ia ikut menggagas terbentuknya Kontras. Berdiskusi masalah-masalah politik dengan para korban lainnya sudah menjadi hal rutin baginya. Mami tak lelah mengadu ke Komnas HAM, Kejagung, DPR, Presiden, untuk menemukan satu jawaban: dimana anak saya?
Mami jadi lihai menggenggam megaphone, berorasi, mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya. Seperti seorang Pelagia Vlassov, ibu Pavel Vlassov dalam novel Ibunda, karya Maxim Gorki. Ibu rumah tangga berbadan bongkok, wajah kerut merut dan tampak lebih tua dari usia sesungguhnya. Keperihan hidupnya lantaran kerap dicaci dan dipukuli suami, membuatnya lupa bahwa ia masih bisa tersenyum. Pavel menjadi pimpinan gerakan buruh, dan sang ibunda pun turut mengalami revolusi kesadaran. Menjadi karib dengan segepok pamflet yang disembunyikan di keranjang belanjanya. Tangannya juga mengepal tinggi-tinggi, lebur dalam gempita revolusi buruh Rusia abad ke 20.
Mami dikenal tak pernah mengeluh. Jika ada pertemuan dengan keluarga korban, ia kerap menyanyi. Ia memang gemar menyanyi. Dulu, Rian kerap mengiringi dengan petikan gitar. Sering, sering sekali Mami rindu petikan gitar itu. Jika begitu, kemeja Rian, barang terakhir yang disimpan, didekapnya erat-erat di dada. Ia merasa seperti memeluk anaknya.
Jika aksi penculikan adalah terror yang lazim dipakai kekuasaan untuk melumpuhkan keberanian lawan-lawan politiknya, maka itu tidak mempan untuk Mami. Cinta pada anak, mengalahkan batas takutnya sendiri. Maka, ia ikut aksi mendatangi markas Kopassus di Cijantung. Institusi yang paling bertanggungjawab terhadap seluruh aksi-aksi penculikan, di bawah komandannya Jendral Prabowo.
September 2010. Di depan istana, tampak tenda berdiri tegak. Sekelompok orang sedang melakukan protes atas respon pemerintah yang lamban terhadap rekomendasi DPR soal pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam barisan itu, Mami berdiri paling depan. Menjelang Magrib, ketika hujan runtuh pelan-pelan, polisi menyerukan aba-aba membubarkan aksi. Mami masih berteriak lantang sambil menunjuk istana, ‘Pak SBY jangan takut untuk menuntaskan kasus ini. Kau orang nomor satu di republik ini!!’ Sayang, SBY tak mendengar seruannya. Aksi pun dibubarkan paksa. Di bawah guyuran hujan, mereka diangkut ke Polres Jakarta Pusat.
Mami masih tak sudi menyerah. Dan presiden terus mengulur waktu, mengelak dari tanggung jawab.
Ada foto Mami tengah erat berpegangan tangan dengan Aurora Morea, anggota Las Madres de Plaza de Mayo asal Argentina. Muka mereka sama-sama keriput. Anak mereka sama-sama hilang ditikam kekuasaan. Susana Perdini de Bronzal, anak perempuan Aurora, berusia 27 tahun ketika hilang, persis seperti usia Rian. Susana aktivis yang menentang pemerintahan junta militer Argentina di bawah Jenderal Jorge Rafael Videla pada 1976 -1983. Ia diculik bersama suaminya. Tahun 1999, kerangka jasatnya ditemukan dan diidentifikasi. Beda dengan Mami. Tak jelas bagaimana nasib Rian.
Seluruh daya upaya Mami selama 15 tahun tanpa henti ini, mengajarkan pada kita bahwa dalam hidup manusia harus terus berjuang dan membangun harapan.
Satu-satunya yang mengalahkan Mami hanya sang maut. Senin dini hari, 5 November 2012, tiga hari setelah operasi di pergeseran tulang belakang, Mami wafat. Hari itu adalah hari ulang tahunnya ke 76.
Selepas dhuhur, di bawah guyuran hujan, Mami dimakamkan di pemakaman umum Malaka, Jakarta Utara. Hingga jasatnya menyentuh bumi, ia tak pernah tahu anaknya masih hidup atau sudah mati. ***