TENGAH malam yang digulung badai, ketiga perempuan itu: Minerva, Maria dan Patria, dalam perjalanan pulang dari mengunjungi suami mereka yang disekap di penjara Salcedo, Dominika. Dekat sebuah teluk, pasukan kaki tangan Jenderal Rafael Trujillo menghadang jeep yang mereka tumpangi. Dengan ayunan tongkat panjang, satu per satu digiring ke sebuah perkebunan tebu. Di bawah langit gulita, ketiganya dihajar hingga tewas. Jasadnya, berlumur lumpur dan darah, dilemparkan lagi ke dalam jeep, lantas didorong ke jurang.
Hari itu adalah 25 November 1960. Tamatlah riwayat tiga perempuan yang dikenal sebagai Mirabal bersaudara, kupu-kupu kebanggaan Dominika, negara kepulauan di gugusan laut Karibia. Sejak 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan hari penjagalan itu sebagai Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Ketiganya, dimotori si sulung Minerva, adalah gadis muda, berani, dengan sorot mata berbinar-binar. Mereka berusia 20-an, ketika pertama kali mengayunkan pedang perlawanan terhadap kediktatoran Trujillo.
Di kolong langit manapun, kekuasaan akan mati-matian melanggengkan tampuknya. Formulanya sederhana: menculik, membui, dan membunuhi orang-orang atau kelompok yang dianggap merecoki. Selama 30 tahun periode kekuasaan Trujillo, lebih dari 30 ribu aktivis ditangkap dan dieksekusi. Membunuh Mirabal bersaudara, yang namanya mulai semerbak sebagai tokoh pergerakan yang dihormati, adalah memutus rantai perlawanan, sekaligus menebarkan teror ketakutan.
Tampaknya hitungan Trujillo meleset. Penjagalan brutal tengah malam yang dibungkus rapat-rapat seolah sebagai kecelakaan itu pun meruar bau amisnya. Rakyat Dominika meradang. Mereka, yang puluhan tahun ditikam ketakutan, mulai berderap. Kematian itu menjelma sebagai badai yang menggulung Trujillo. Di jalan-jalan, rakyat berbaris dengan pekik amarah: Viva Las Mariposas! Viva Las Mariposas!
Enam bulan kemudian, kekuasaan Trujillo tumbang.
Lahir dari keluarga kelas menengah kaya, berpendidikan dan punya pengaruh luas di Dominika, kecerdasan mereka mencorong sejak usia belia. Ketiganya membaca puisi Pablo Neruda dan bisa mengapresiasi lukisan Pablo Picasso dengan baik. Minerva adalah perempuan pertama di Dominika, yang masuk Fakultas Hukum Universitas Santo Domingo yang ternama. Adik-adiknya, semuanya menikmati bangku pendidikan modern. Masa depan mereka terjamin gemilang. Tapi, kediktatoran Trujillo memutar arah hidupnya.
Semasa kuliah, Minerva bergabung dalam gerakan bawah tanah. Ia membaca bermacam literatur kiri. Sembunyi-sembunyi mendengarkan siaran radio Kuba, mendengar pidato-pidato Fidel Castro yang menjadi idolanya. Ia mengajak adik-adiknya turun mengorganisir basis perlawanan di kampus-kampus, di perkebunan. Las Mariposas, si kupu-kupu, adalah nama sandi mereka.
Mereka sekeluarga, termasuk ayah, ibu, suami mereka bolak-balik ditangkap dan dipenjara. Bertahun-tahun, Minerva terpisah dari anak-anaknya. Toh kupu-kupu ini tak pernah sudi bertekuk lutut. Trujillo pun teramat berang. Tak ada pilihan selain membinasakan. Jadilah penjagalan di tengah malam buta, di sebuah perkebunan tebu.
Berjarak ribuan mil dari tanah air Mirabal, kita mendapati sekujur tubuh negeri yang juga boncel-boncel penuh darah. Berjarak 52 tahun dari matinya Mirabal yang ditahbiskan sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan, kita menjumpai narasi tanpa akhir kekerasan itu, hadir dalam semua bentuk: kekerasan seksual, ekonomi, politik dan agama.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2011 menyebut ada sekitar 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan, di wilayah domestik maupun publik. Angka ini meningkat 13,32 persen dari tahun sebelumnya. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, mencapai 228 per 100 ribu kelahiran hidup, tertinggi kedua di Asia. Di Papua, angka bahkan mencapai 1000 per 100 ribu kelahiran hidup. Artinya, setiap jam ada beberapa perempuan yang mati karena melahirkan.
Wajah kekerasan terhadap perempuan terus berhamburan menampar-nampar kemanusiaan kita. Wajah perempuan, wajah anak adalah wajah bagaimana negara kita menjamin kesejahteraan dan memberi perlindungan. Apa guna pembangunan yang terus berderap di ibukota, sementara di tanah Papua, angka kematian ibu melahirkan tak bisa lagi dihitung dengan jari tangan? Ketika gizi buruk bayi dan balita terus meningkat di Nusa Tenggara? Ketika perempuan-perempuan muda harus melata bekerja sebagai buruh migran di negeri tetangga dengan risiko nyawa sebagai taruhan?
Kematian ibu adalah gambaran dari banyak aspek: dari keberpihakan, perspektif hingga rendahnya akses terhadap sarana dan prasarana kesehatan. Kematian ibu, gizi buruk, putus sekolah, pernikahan dini, adalah lingkaran setan kemiskinan, yang menggambarkan bagaimana perempuan diperhatikan di negeri ini.
November ini, kembali berkesiur kabar tiga orang buruh migran diperkosa di Malaysia. Di tempat lain, seorang lagi ditemukan mati dengan tubuh penuh koyak. Kisah lama yang terus saja berulang dan negara selalu keropos memberi perlindungan.
Mirabal mewariskan keberanian dan kesanggupan berjuang. Menempuhi jalan berbatu dan keperihan, berjuang untuk membebaskan rakyat dari cengkeram sistem ekonomi politik yang korup dan otoriter. Pada hakekatnya, itu merupakan perjuangan pembebasan perempuan itu sendiri.
Darah tiga perempuan Mirabal, mengucur untuk sebuah perjuangan politik, pembebasan negerinya dari kediktatoran. Darah perempuan di negeri ini, mengucur dari balik selangkangan. Mati karena melahirkan, terluka karena diperkosa, dan dianiaya sebagai babu di negeri tetangga.***