POPULISME, dalam pengertian umumnya adalah sebuah rezim yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan yang bukan rakyat, yakni kalangan oligarki. Pengutamaan kepentingan rakyat ini bukan sekadar jargon politik masa kampanye, tapi direalisasikan dalam serangkaian kebijakan ekonomi dan politik ketika rezim tersebut berhasil merengkuh kekuasaannya. Misalnya, secara politik, rezim populis melakukan aliansi dengan kekuatan kelas buruh, petani, atau bisnis skala kecil dan menengah. Sementara secara ekonomi, rezim menerapkan kebijakan pajak progresif, redistribusi pendapatan, dan meningkatkan upah buruh.
Dalam studi-studi pembangunan, aktivis-cum pemikir LSM terkemuka David C. Korten, menyebut kebijakan pemerintahan populis ini sebagai kebijakan pembangunan yang berorientasi rakyat (people oriented development), sebagai lawan dari pembangunan yang berorientasi keuntungan (profit oriented development). Karena itu, di mata rezim neoliberal dan para intelektual organiknya, kebijakan-kebijakan yang bersifat populistik ini dipandang mengancam kelangsungan pembangunan itu sendiri dalam jangka panjang. Populisme, menurut mereka, hanya merupakan kebijakan yang bersifat jangka pendek, sarat kepentingan politik dari penguasa, dan yang lebih esensial, bertentangan dengan rasionalitas ekonomi yang dibimbing oleh mekanisme pasar yang impersonal. Tentu saja kalangan neoliberal ini percaya bahwa pasar tidaklah sepenuhnya sempurna (karena itu bisa gagal) tapi bagi mereka, kegagalan pemerintah jauh lebih merusak ketimbang kegagalan pasar.
Tetapi, sebenarnya populisme tidak pernah bermaksud mengubah atau mengganti sistem sosial kapitalisme dengan sistem non-kapitalis. Apa yang dilakukan rezim populis adalah menggeser orientasi kebijakan rezim sebelumnya, dari yang pro-oligarki menjadi pro-rakyat. Karena itu, di atas segalanya populisme bertumpu pada figur personal sang patron, sang pemimpin, orang besar yang bermental kerakyatan. Aliansi kerakyatan yang dibangun, dengan demikian hanyalah bagian dari proses kooptasi politik dari sang patron yang budiman.
Dalam pengertian populisme seperti itu, saya melihat bahwa duet gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok memiliki kecenderungan untuk menjadi pemimpin yang populis. Mungkin lebih tepat menyebut duet ini sebagai pemimpin yang berorientasi rakyat seperti dalam definisi Korten. Kebetulan dalam beberapa hari terakhir ini, saya agak intensif menonton aktivitas duet Jokowi-Ahok yang diunggah melalui media Youtube. Dari beragam tayangan tersebut, saya punya beberapa kesan: Pertama, Jokowi-Ahok ini sungguh-sungguh ingin menerapkan sistem pemerintahan yang transparan. Sepengetahuan saya, tidak ada pemerintahan di dunia ini yang mengunggah rapat-rapat internal mereka ke publik secara terbuka apa adanya. Selama tinggal di New York City, misalnya, saya tidak pernah melihat rapat internal walikota NYC diunggah ke publik secara terbuka.
Kedua, ada keinginan kuat untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka sungguh-sungguh mau memenuhi janj-janji masa kampanyenya, dan itu bisa dicek melalui tayangan-tayangan tersebut. Melalui pembagian kartu sehat bagi rakyat miskin, Jokowi-Ahok telah melakukan satu langkah politik yang luar biasa. Dalam salah satu video, mereka menyebutkan kartu sehat itu bisa digunakan untuk mengobati penyakit kanker secara gratis. Menurut saya ini langkah besar, karena, bahkan di AS, sistem kesehatan universal hingga kini tak beres-beres. Andai Mitt Romney memenangi pemilu presiden kemarin, maka rakyat miskin AS akan kehilangan kartu asuransi kesehatannya. Kini, melalui program Obamacare, rakyat miskin AS yang memiliki kartu asuransi kesehatan, bahkan masih harus membayar sejumlah $5 ke dokter keluarga, sementara obat mesti bayar sendiri. Tapi itu untuk penyakit-penyakit ringan. Untuk penyakit stadium berat semacam kanker, rakyat miskin AS yang punya kartu asuransi kesehatan tidak mendapatkan pengobatan gratis. Mereka mesti bayar.
Ketiga, saya memperoleh kesan bahwa sesungguhnya apa yang dilakukan Jokowi-Ahok ini masih bersifat teknokratis. Jokowi, melalui aktivitas blusukannya, memang memberi sinyal kuat bahwa ia ingin dekat dengan rakyat, ingin mendengar langsung suara rakyat, ingin membuktikan langsung di lapangan bahwa kebijakannya dipatuhi dan dijalankan oleh aparat di bawah kekuasaannya. Dan tak bisa dipungkiri, aktivitas blusukan ini luar biasa efeknya. Setelah Soekarno, tak ada pemimpin pemerintahan yang begitu dekat dengan rakyat kecil, yang mau mendengar dan bercengkrama dengan mereka tanpa hambatan protokoler dan wibawa pejabat tinggi. Tak usah bicara Soeharto yang brutal itu, bahkan figur seperti Megawati, yang mengklaim sebagai pemimpin wong cilik, tidak melakukan apa yang kini dijalani Jokowi. Pengecualian mungkin bisa diberikan kepada Gus Dur, sehingga dijuluki sebagai Presiden Rakyat.
Karena itu, video-video tersebut juga menunjukkan hal yang rawan ‘bencana’: ketergantungan rakyat miskin pada Jokowi-Ahok sebagai bapak yang baik. Bentuk ketergantungan ini begitu terlihat pada beragam tayangan serta komentar yang muncul difasilitas Youtube tersebut. Mengapa rawan bencana? Mari kita ambil contoh Gus Dur, yang dijuluki presiden rakyat itu. Saya tidak meragukan kepedulian Gus Dur pada rakyat kecil, pembelaannya yang konsisten terhadap kelompok minoritas, pluralisme, dsb. Tapi hal yang absen dari seluruh kelebihan Gus Dur sebagai presiden rakyat, adalah ia tidak berhasil membangun satu mekanisme kelembagaan yang membuat rakyat miskin yang dilayaninya itu siap setiap saat jika ia telah berhenti sebagai pemimpin atau pejabat publik. Hasilnya, bisa kita saksikan sekarang. Apa yang kita kenang dari Gus Dur adalah figur yang baik, yang langka, tetapi rakyat yang dilayaninya tidak berhasil menjadi sebuah kekuatan yang independen, yang mampu mewarisi dan menerjemahkan nilai-nilai yang diyakini Gus Dur setelah kepergiannya. Bahkan, bisa dikatakan, pengikut sejati Gus Dur (yang menyebut dirinya Gusdurian) sesungguhnya adalah minoritas saat ini.
Melalui contoh kasus Gus Dur ini, saya ingin mengatakan bahwa setelah blusukan, Jokowi-Ahok sebaiknya memikirkan secara serius bagaimana melibatkan rakyat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan secara terlembaga. Ini memang tidak mudah, karena keduanya bekerja dalam sebuah warisan sistem ekonomi-politik yang eksploitatif, kesenjangan kaya miskin yang sangat lebar, tingkat pendidikan mayoritas rakyat Jakarta yang rendah, partisipasi politik warga yang hanya muncul lima tahun sekali, oligarki politik dan ekonomi yang sangat kuat, kriminalitas yang tinggi, kemacetan dan banjir yang parah dan sudah menahun, dst. Jadi, modal dasarnya memang sangat lemah. Selain itu, tidak ada pengalaman sebelumnya tentang bagaimana melibatkan rakyat dalam pengambilan kebijakan publik secara partisipatoris, dan karena itu tak ada yang bisa dipelajari kelebihan dan kelemahannya.
Dengan kondisi seperti itu, bagaimana melibatkan mereka secara aktif dalam proses pengambilan keputusan publik? Tidak ada resep yang cespleng. Tapi, satu hal penting yang tampak dari video-video yang mempertontonkan rapat-rapat wakil gubernur, adalah komitmen kuat untuk efisiensi anggaran, pengalokasian anggaran sebesar 60 persen pada kepentingan rakyat banyak, dan bagaimana mencegah terjadinya kebocoran. Tapi, menurut saya, metode penentuan alokasi anggaran semacam ini masih bersifat teknokratis: pemimpin, birokrasi, dan para pakarlah yang paling tahu besaran anggaran, kemana harus dialokasikan, apa yang harus dibangun, dan bagaimana monitoring pelaksanaannya. Persis di titik inilah potensi rawan bencana itu muncul.
Karena uang adalah kekuasaan, maka jalan untuk memperkuat sistem pemerintahan yang pro-rakyat adalah melibatkan rakyat secara aktif dalam proses pengalokasian anggaran publik. Melibatkan rakyat di sini, lebih dari sekadar datang kepada rakyat, mendengar keluhan dan keinginan mereka, lantas membuat kebijakan yang sesuai dengan keinginan rakyat, tapi merupakan sebuah struktur dan proses yang berkelanjutan. Inilah yang disebut dengan sistem Anggaran Partisipatif. Karena bertumpu pada struktur dan proses, maka tujuan utama dari anggaran partisipatif adalah mendorong dinamika serta terbentuknya mekanisme yang berkelanjutan dari kerjasama managemen sumberdaya publik antara rakyat dan pemerintah melalui pembagian keputusan dalam pengalokasian anggaran pembiayaan dan menjamin terwujudnya pertanggungjawaban pemerintahan berkaitan dengan efektivitas penerapan kebijakan-kebijakan hasil keputusan bersama tadi. Di sini, jelas sekali bahwa (1) rakyat bersama-sama dengan pemerintah terlibat dalam sebuah proses dalam penentuan alokasi anggaran secara demokratis dan partisipatoris; (2) untuk itu terdapat struktur yang mewadahi partisipasi aktif rakyat bersama pemerintah tersebut; (3) dan hanya dengan demikian terjadi kontrol, transparansi, dan pertanggungjawaban bersama antara rakyat dan pemerintah dalam realisasi pembiayaan proyek. Jadi, tidak seperti saat ini, pertanggungjawaban dan kontrol sepenuhnya menjadi kewenangan birokrasi itu sendiri.
Tentu muncul pertanyaan, bagaimana memulainya? Saya kira, apa yang dilakukan Jokowi-Ahok saat ini sudah merupakan sebuah proses awal yang baik . Tinggal maju selangkah lagi untuk mendorong rakyat agar membentuk forum-forum publik di antara mereka sendiri guna mendiskusikan apa yang merupakan prioritas kebutuhan mereka. Setelah forum-forum ini terbentuk dan diskusi-diskusi berlangsung secara terbuka dan partisipatoris, langkah berikutnya adalah membangun struktur yang mewadahi aspirasi dan keputusan yang dibuat dalam forum-forum tersebut, sekaligus menjadi partner dari pemerintah dalam pengalokasian anggaran. Hanya melalui politik Anggaran Partisipatif ini, maka pasangan Jokowi-Ahok bisa melampaui jebakan ‘teknokrasi berwajah populis.’***
Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)