28 OKTOBER 1928. Lebih dari seratus pemuda – pemudi berbagai organisasi : Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Pemoeda Soematra, Pemoeda Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Pasoendan berkumpul. Dari tukar pendapat lahirlah ikrar gagasan persatuan dalam kongresnya.
Tiga puluh tahun kemudian, Soekarno dan M. Yamin mengotak-atik rumusan ikrar persatuan itu. Betapa ‘persatuan’ itu kosakata yang sangat perkasa. Maklum, tahun 1950-an, Soekarno repot dihajar oleh pemberontakan-pemberotakan daerah. Tentu butuh alat propaganda pemersatu bangsa untuk menghantam para ‘pemberontak.’ Dan Sumpah Pemuda, hasil balutannya itu benar-benar digdaya, setidaknya untuk beberapa tahun kemudian.
Berpuluh tahun berselang, setiap tanggal keramat ini tiba, negeri ini pun mendadak kuyup diguyur rupa-rupa jargon. Pemuda, persatuan, nasionalisme. Buku sejarah yang telah berdebu kembali dibuka, dicomot semboyannya, diimbuhi dengan konteks mutakhir. Taraa….Jadilah jargon baru. Begitulah cara terbaik membaca sejarah.
Lebih seribu tahun sebelumnya, Sumpah Palapa Gajah Mada yang paling mahsyur. Panglima perang kerajaan Majapahit itu berikrar tidak akan makan palapa sebelum berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara. Palapa adalah simbol kenikmatan duniawi. Gajah Mada menunjukkan kedigdayaan sumpahnya. Majapahit berhasil menguasai nusantara, sebuah kisah ‘persatuan’ atau penaklukan yang berlumur darah.
Tak kalah menggetarkan adalah Sumpah Mahasiswa. Hasil ‘parodi’ dari Sumpah Pemuda, pertama dibacakan dalam aksi mahasiswa 1989 di Yogyakarta. Gaungnya terus nyaring bertahun-tahun berikut hingga puncaknya pada 1998 :
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa kebenaran
Bayangkan, sebarisan kalimat penuh gembung semangat itu dibacakan pada akhir 1980-an. Saat ketika gerakan mahasiswa dan rakyat masih berbujur kaku paska digempur kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pada 1978. Kaum muda adalah pengubah sejarah. Kecuali generasi tua berpaham usang, barangkali tak satupun menolak. Muda, berani, penuh energi, dengan limpah ruah gagasan progresif dan tentu, belum belepotan jelaga korupsi.
Setiap zaman melahirkan bunga generasi dengan coraknya sendiri. Akhir 1980 hingga tahun 1990-an, bunga-bunga itu mekar dari rekahan tembok represi Orde Baru. Bergerilya dalam kelompok studi, komite aksi, pers mahasiswa. Menelusup ke perkampungan buruh, bergerilya di desa-desa dan mulai menyemaikan semak belukar perlawanan. Aksi massa, aksi graffiti, menduduki DPR, mogok makan, mimbar bebas, dan menyebar selebaran-selebaran. Sungguh merepotkan tentara dan bikin rezim pucat pasi.
Gelombang sejarah berpusar. Kaum muda penunggangnya. Partai Rakyat Demokratik menjadi bahteranya. Berselancar di atas gelombang dengan layar terkembang lebar-lebar: Cabut Dwifungsi ABRI! Cabut 5 UU Politik! Demokrasi Multipartai Kerakyatan! Referendum untuk Timor Leste, Papua dan Aceh!
Rezim otoriter tumbang. Apa daya kekuatan kiri teramat mini, gagap dengan keterbukaan politik. Limbung diterpa gelombang elektoral yang berpusar semakin kencang. Kita tahu, pemenangnya adalah kaum konservatif dan liberal. Demokrasi yang laku keras adalah demokrasi spanduk dan koper. Tebar pesonamu dalam spanduk-spanduk sepanjang jalan. Guyurlah rakyat dengan sogokan uang dari kopermu. Penuhi dahaga pemilihmu dengan retorika. Hitung kepercayaan konstituen dengan statistik.
Lantas apa kabar kaum muda penunggang gelombang?
Hakekat berpolitik adalah merebut kuasa. Ambil kepemimpinan politik. Kekuasaan harus diabdikan pada rakyat. Sebagaimana dari rakyat pula kekuasaan berasal. Itulah demokrasi. Untuk itulah berparlemen. Untuk itu pula dibuat partai politik sebagai alat berjuang.
Tapi ah, rupanya banyak yang malu-malu ataupun dibekap ragu. Masuk lingkar kekuasaan, bergabung dengan partai konservatif, sudah pasti dihujat habis-habisan. Lihat Budiman Sudjatmiko, yang masuk Senayan dengan bahtera PDI Perjuangan. Ia telah meninggalkan gelanggang perjuangan rakyat. Tak becus. Tak terdengar suaranya! Menjadi staf khusus Presiden seperti Andi Arief? Ah, itu kaki tangan jendral tengik! Dita Sari? Alamak, dia sudah mengkhianati perjuangan buruh. Mau-maunya jadi jubir menteri tak bergigi!
Bla bla bla. Jadi, masuk lingkar kekuasaan itu najis. Mustahil bikin perubahan. Itu pasti karena capek berkeringat dan mau cepat kaya! Satu-satunya yang benar adalah tetap berjuang di jalanan. Ekstraparlementer bahasa militannya. Biar saja politik elektoral dibajak oleh siapa. Biar saja demokrasi spanduk dan koper terus melenggang depan mata. Biar saja gerbong-gerbong kepemimpinan politik dihela para politisi cepat saji, para pewaris darah biru semacam Puan atau Ibas.
Kita memang lihai mengritik politisi tua berpaham usang. Kita cakap mengritik kaum muda yang terkontaminasi bau busuk kekuasaan. Tapi, lihatlah kita juga tergagap kala ditagih sosok pemimpin alternatif. Jadi kekuatan oposisi? Entahlah. Sulit membayangkan bangunan rezim dengan kekuatan warisan Orde Baru ini akan runtuh oleh ‘gangguan-gangguan kecil’: aksi buruh setiap tahun, aksi petani, aksi mahasiswa. Semua berdiri dengan tuntutannya sendiri.
1928 lalu dari sebuah rumah di jalan Kramat 106, Jakarta, bergema sebuah ikrar diiring gesekan biola WR Supratman : Kami poetera dan poteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Berseling dengan Sumpah Mahasiswa: Kami mahasiswa Indonesia bersumpah bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
2012 : Cumpah? Miapah? ***