BERBEDA dari ahli ekonomi politik pada zamannya, Karl Marx menempatkan komoditi sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dibahas, sebelum mengurai soal-soal penting lainnya seperti sewa, tanah, tenaga kerja, nilai lebih, krisis, tendensi jatuhnya tingkat keuntungan, dsb. Karena itu, dalam Capital, Marx memulai karya besarnya itu dengan membahas Komoditi. Bahkan bisa dibilang, Capital tidak lain adalah teori tentang komoditi (Albritton, 2007: 23).
Tentu pilihan ini bukan tanpa alasan. Kata Marx, kemakmuran sebuah masyarakat di mana corak produksi kapitalis (capitalist mode of production) muncul, menampakkan dirinya dalam wujud ‘an immense collection of commodities/tumpukkan komoditi yang sangat banyak.’ Atas dasar ini, katanya, ‘investigasi kami harus dimulai dengan menganalisis apa itu komoditi.’ Tetapi, mengapa harus mulai dengan topik produksi komoditi?
Di sini, kita mesti berurusan dengan metodologi Marx, dan karena itu saya mengajak Anda kembali sejenak ke Grundrisse, karya Marx yang banyak berbicara tentang metode berpikirnya. Pada buku yang mendahului Capital itu, Marx mengatakan, ia ingin membuat satu kajian yang bertolak dari realitas menuju buku teks. Menurutnya, yang terjadi selama ini, kajian selalu bertolak dari buku teks menuju realitas, sehingga tugas dialektika menjadi mencari keseimbangan dalam konsep, bukan dialektika yang muncul dari relasi yang nyata (Marx, 1993: 90). Berdasarkan itu, ekonom-cum-filsuf Rusia I.I. Rubin mengatakan, ciri khas pemikiran Marx selalu berusaha melampaui apa yang tampak dari luar (outward appearance), atau yang sekadar menunjukkan hubungan eksternal (external connection), atau bahkan yang hanya berupa fenomena permukaan (surface of phenomena), untuk kemudian menuju pada sesuatu yang berkaitan dengan hubungan internal (internal connection), hubungan yang bersifat imanen (immanent connection), atau menelisik pada esensi benda-benda (the essence of things) (1990: 26). Lenin menyebut metode presentasi ini sebagai proses ‘from living perception to abstract thought’ (Lebowitz, 2009: 195).
Dengan metode presentasi seperti itu, Martin Nicolaus mengatakan bahwa Marx membuka Capital dengan membahas soal produksi komoditi, sebagai tanda perpisahan terakhirnya dengan Logic karya Hegel dan juga karya-karya dia sebelumnya, yang senantiasa bertolak dari sesuatu yang murni, tetap, abadi, dan abstrak universal. Dengan memulai dari komoditi, Marx menegaskan posisi teoritiknya bahwa sesuatu itu harus bermula dari yang konkret, material, yang bisa disentuh oleh indera, dan spesifik secara historis; dan yang di dalamnya (kesatuan) menjadi kunci antitesis (nilai guna vs nilai tukar), yang perkembangannya melibatkan seluruh kontradiksi lainnya dalam corak produksi ini (Nicolaus in Marx, 1993: 38). Ditambahkan Tony Smith, teorisasi Marx dimulai dari apa yang disebut ‘method of inquiry,’ yakni studi yang sangat dekat terhadap obyek yang sedang diinvestigasi serta teori-teori yang mendahuluinya. Sementara, mengutip Marx, ‘Hegel jatuh ke dalam ilusi karena memahami yang riil sebagai produk dari pikiran yang mengkonsentrasi dirinya sendiri, menyelidiki kedalaman dirinya, dan mengungkap dirinya dari dirinya sendiri, oleh dirinya’ (Smith in Moseley, 1993: 16).[1] Dan sebagai gantinya, Marx kembali jauh ke belakang kepada Aristoteles sebagai rujukan metodologisnya. Marx, mengikuti Aristoteles, senantiasa memulai segala sesuatunya dari penampakkan luarnya untuk kemudian menelisik hingga atribut-atribut esensialnya. Dalam pengertian ini, Marx adalah seorang Aristotelian esensialis (Pack, 2010: 111).
Bagi ekonom M.C. Howard dan J.E. King, ada tiga alasan Marx memulai pembahasannya dengan topik produksi komoditi: pertama, dalam kapitalismelah bentuk umum dari komoditi memperoleh perkembangannya yang tertinggi; kedua, Marx berpendapat bahwa banyak gambaran kunci dari kapitalisme sebenarnya berkembang dari bentuk-bentuk produksi komoditi pra-kapitalis; dan ketiga – ini yang terpenting – Marx percaya bahwa aspek-aspek kapitalisme secara analitis berkembang pesat di luar, dan bahkan bertentangan dengan produksi komoditi pra-kapitalis (Howard & King, 1985: 56). Sedangkan menurut Harry Cleaver, dalam bukunya Reading Capital Politically, alasan mengapa Marx memulai kajiannya tentang komoditi, karena ‘komoditi merupakan bentuk yang paling fundamental dari kapital.’ ‘Dan jika kita membaca bagian Capital sesudahnya,’ demikian Cleaver, ‘maka kita akan menemukan kejelasan mengapa kemakmuran dalam masyarakat borjuis, menampakkan dirinya dalam wujud komoditi,’ (Cleaver, 2000: 81).
Penjelasan lain dikemukakan Stephen Saphiro. Menurutnya, pertama-tama seharusnya kita memperhatikan kalimat Marx dalam paragraf pembuka bab I, yang berbunyi: ‘[t]he wealth of societies in which the capitalist mode of production prevails appears….’ Dengan menggunakan frasa ‘the wealth of society,’ demikian Shapiro, Marx dengan sengaja mengganti frasa yang digunakan Adam Smith ‘the wealth of nations,’ sekaligus menunjukkan bahwa asumsi dasar dari kalangan pembela pasar bebas adalah keliru. Bagi Marx, soal paling mendesak dan utama dari masyarakat kapitalis adalah bagaimana mencetak untung, bukan membangun hubungan antara negara-bangsa dan pasar; Kedua, dengan demikian konsekuensinya adalah bersifat historis. Melalui frasa ‘in which the capitalist mode of production prevails,’ Marx memaksudkan bahwa ia tidak menulis keadaan masyarakat secara umum. Sebaliknya, ia hanya ingin fokus pada masyarakat di mana praktek ekonomi kapitalis tampil dominan, yakni masyarakat kapitalis. Ia ingin menunjukkan kepada pembacanya, perbedaan mendasar antara corak produksi kapitalis dengan corak produksi lama, dan bagaimana kita mengubah cara kerja produksi kapitalis tersebut dan selanjutnya keluar dari kerusakan yang disebabkan oleh kapitalisme. Jika kita belajar apa yang menyebabkan kapitalisme itu unik dan bagaimana ia mulai bekerja, maka kita bisa berpikir tentang bagaimana cara mengakhirinya.
Ketiga, sebagai ikutan dari dua hal di atas adalah memahami transformasi sejarah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat non-kapitalis. Sepintas kita bisa melihat apa yang menyebabkan masyarakat kapitalis berbeda, karena mereka menciptakan ‘immense collection of commodities.’ Tentu saja kita tak harus menjadi seorang ekonom untuk mengetahui bahwa transaksi barang telah bertumbuh berkali lipat di banding corak produksi sebelumnya. Tetapi, yang menjadi perhatian utama Marx dalam Capital, adalah ‘mengapa dan bagaimana mereka memproduksi barang, ketimbang mengapa dan bagaimana rakyat mengkonsumsi barang tersebut.’ Inilah perbedaan asasi antara Marx dan ekonom liberal, khususnya Adam Smith (Shapiro, 2008: 2-3; Nicolaus in Marx, op.cit).
Perbedaan mendasar antara Marx dan ekonom arus utama (mainstream) ini, dijelaskan lebih lanjut oleh ekonom Ben Fine dan Alfredo Saad-Filho: Bagi ekonom mainstream, karena ekonomi berurusan dengan kebutuhan akan konsumsi, maka perhatian utama ilmu ekonomi berkaitan dengan pertanyaan bagaimana mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Dari sudut pandang ini, maka ekonomi lantas diorganisasikan melalui mekanisme pasar, negara, rumah tangga, atau boleh jadi perbudakan. Dan seperti yang kita ketahui, kalangan ini percaya bahwa semakin pasar dibiarkan beroperasi secara independen, maka alokasi barang-barang akan semakin efisien.
Sebaliknya, menurut Marx, hubungan masyarakat, khususnya hubungan kelas, adalah esensial dalam membedakan bentuk ekonomi yang satu dengan bentuk ekonomi yang lain, juga perbedaan di dalam satu sistem ekonomi itu sendiri. Ini melibatkan tidak hanya hubungan kepemilikan dan distribusi yang menentukan corak produksi, siapa yang memiliki apa dan mengapa, tapi juga bagaimana kepemilikan itu diorganisasikan dan kemudian muncul dalam bentuk kontrol atas kerja dan hasil kerja (produk), serta aspek-aspek organisasi sosial lainnya. Dalam makna ini, sektor produksi menjadi penting, karena secara sederhana bisa dikatakan, tanpa produksi tak akan ada pertukaran dan jika manusia berhenti bekerja atau berproduksi maka tidak akan ada masyarakat yang bisa bertahan dalam hitungan minggu. Dalam kaitan inilah, produksi komoditi menjadi gambaran paling krusial dari kapitalisme (Fine and Saad-Filho, 2004: 16).
Tetapi, penekanan pada hubungan produksi tidak berarti pengabaian terhadap hubungan pertukaran. Menurut Lebowitz, dalam Capital, Marx terus-menerus mendeskripsikan bahwa kapital (capital) merupakan kesatuan antara produksi dan sirkulasi dan juga perkembangan kapital sebagai kesatuan yang bersifat dialektik (Lebowitz, op.cit: 104, huruf miring dari Lebowitz). Kesatuan antara elemen produksi dan sirkulasi ini tampak jelas dalam Grundrisse, di mana Marx mengajukan empat momen yang tak terpisahkan: (1) produksi; (2) distribusi; (3) pertukaran; dan (4) konsumsi. Dalam produksi, anggota masyarakat menciptakan atau membentuk produk alamiah yang sesuai dengan kebutuhannya; sementara distribusi menentukan proporsi di mana individu membagi-bagi produk tersebut; dalam pertukaran, produk-produk tertentu yang memenuhi keinginan individu itu dipindahkan porsinya sesuai distribusi yang dibutuhkannya; dan akhirnya, dalam konsumsi, produk menjadi obyek kepuasan, demi kepentingan diri individu tersebut. Marx melanjutkan, produksi menciptakan obyek yang sesuai dengan kebutuhan yang ada; distribusi membagi obyek tersebut menurut hukum-hukum sosial; pertukaran lebih jauh lagi membawa keluar obyek yang telah dibagi-bagi tersebut agar sesuai dengan kebutuhan individu; dan pada akhirnya konsumsi menyebabkan produk tersebut melangkah ke luar dari gerak sosial dan menjadi obyek serta pelayan langsung kebutuhan individual, demi untuk memuaskan konsumen, (op.cit: 88-9).
Singkatnya, demikian Marx, produksi adalah titik berangkat, konsumsi menjadi kesimpulannya, sementara distribusi dan pertukaran adalah perantaranya, yang mengandung dua makna, yakni distribusi ditentukan oleh masyarakat dan pertukaran oleh individu. Dengan begini, distribusi menentukan hubungan sejauh mana produk sampai ke tangan individu (jumlah); sementara pertukaran menentukan produksi, sehingga pengalokasian porsi permintaan individual bisa sampai ke tangannya melalui distribusi. Maka, ujar Marx lebih lanjut,
‘produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi membentuk sebuah silogisme biasa; produksi adalah keumuman, distribusi dan pertukaran adalah kekhususan, dan konsumsi adalah keunikan, di mana keseluruhannya ini bergabung bersama’ (ibid: 89).[2]
***
Dengan latar belakang seperti itu, kini kita melangkah pada pertanyaan ‘apa yang dimaksud dengan komoditi?’ Tetapi sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin memberikan satu pemahaman umum mengenai kekhasan produksi komoditi.
Kita mengetahui bahwa sepanjang sejarahnya, untuk bisa hidup maka manusia pertama-tama harus makan. Dan untuk bisa memenuhi kebutuhannya untuk makan itu, ada dua cara yang bisa ditempuh: pertama, kebutuhan tersebut diperoleh melalui memproduksi langsung barang tersebut (produksi untuk konsumsi) baik melalui cara berburu, mengumpul maupun bercocok tanam; dan cara kedua, adalah memperoleh barang tersebut secara tidak langsung, yakni melalui proses tawar-menawar (produksi untuk pertukaran). Elemen kunci dari pertukaran ini adalah bahwa barang tersebut secara praktikal dikontrol oleh pemiliknya sebagai agen yang bebas, di mana sang pemilik ini berhak penuh terhadap barang tersebut, yakni hak untuk menjual dan menguasai hasil penjualan tersebut termasuk keuntungannya. Produk yang eksis dalam sistem kepemilikan dan pertukaran inilah yang disebut Marx sebagai komoditi (Foley, 1986: 12; Albritton, 2007).
Dengan begitu, sistem di mana produksi diorganisasikan melalui mekanisme pertukaran, disebut sebagai sistem produksi komoditi (commodity-producing systems). Dalam Capital Marx menyebut sistem produksi komoditi ini sebagai kapitalisme, sehingga dengan demikian studi Marx dalam Capital berurusan dengan sistem produksi kapitalisme.
Kembali pada pertanyaan tadi, ‘apa yang dimaksud dengan komoditi?’ Pada jamannya, menurut Marx, istilah komoditi yang populer adalah yang didefinisikan oleh para ekonom Inggris, sebagai ‘setiap benda yang dibutuhkan, yang berguna untuk kelangsungan hidup,’ obyek kebutuhan manusia, atau alat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam pengertian yang luas. Singkatnya, komoditi, menurut para ekonom itu, adalah ‘barang yang memiliki kegunaan.’ Komoditi dalam pengertian ini, misalnya, adalah sepatu, sandal, beras, mobil, rumah, dsb yang kita bisa lihat dan temukan ketika kita pergi ke pasar.
Marx sendiri mengatakan, komoditi adalah (1) obyek yang berada di luar kita; yang (2) bisa memenuhi kebutuhan manusia; di mana (3) padanya kerja manusia melekat; dan (4) tidak dikonsumsi oleh produsernya tapi, oleh pihak lain. Point (1) dan (2) dipungutnya dari para ekonom Inggris itu, sementara point (3) dan (4) adalah penjabarannya lebih lanjut atas kekhususan produksi komoditi dalam sistem kapitalisme.
Lebih lanjut dikatakannya, setiap benda yang berguna bisa dilihat dari dua sudut pandang: kualitas dan kuantitas (Marx, 1990: 125). Dalam bukunya, A Contribution To The Critique of Political Economy (selanjutnya disebut Critique), Marx, meminjam konsepnya Aristoteles, mengatakan, komoditi mengandung dua aspek, yakni aspek nilai-guna (use-values) dan aspek nilai-tukar (exchange-values) (1989: 27). Aspek nilai-guna inilah, yang disebut oleh para ekonom Inggris, sebagai ‘barang yang memiliki kegunaan.’
Bagian ini akan fokus membahas kedua aspek komoditi ini, karena seringkali terjadi kesalahpahaman dalam pemaknaan tentang-nilai guna dan nilai-tukar. Marx sendiri sebenarnya ada menyebut istilah lain, yakni Nilai (Value) yang merupakan bagian sangat penting dan kontroversial dari bab-bab pembuka Capital, dan karena itu diskusi tentang Nilai ini akan saya lakukan secara terpisah pada bagian bedua dari artikel ini.
Nilai-guna (Use-values)
Ketika mendiskusikan tentang nilai-guna, Marx mengatakan, setiap benda yang berguna (the usefulness of a thing), pasti memiliki nilai-guna. Namun demikian, kegunaan itu bukanlah sesuatu yang melayang di udara. Kegunaannya ditentukan oleh sifat fisikal komoditi sehingga eksistensinya tidak bisa dipisahkan dari komoditi. Dalam Critique, ia mengatakan, nilai-guna sebagai salah satu aspek dari komoditi, bersesuaian dengan eksistensi fisikal sebuah komoditi. Sebagai contoh, ujarnya, sebuah komoditi, katakanlah besi, jagung atau berlian, sejauh itu merupakan benda material, memiliki nilai-guna, merupakan sesuatu yang berguna.
Nilai-guna yang melekat pada sebuah komoditi, membuatnya berbeda dengan komoditi yang lain. Sepasang sepatu memiliki nilai-guna yang berbeda dengan nilai-guna sepasang sandal, meja, kursi, dsb. Di sini, kita berurusan dengan aspek kualitatif sebuah benda. Misalnya, ketika musim hujan, kita lebih membutuhkan payung ketimbang cincin berlian, dan sebaliknya ketika hendak ke pesta, cincin berlian lebih berkualitas ketimbang sebuah payung. Atau sebuah buku teks ilmiah sama bergunanya dengan roman picisan, karena keduanya memuaskan kebutuhan pembacanya.
Dengan karakternya yang demikian, nilai-guna memiliki nilai, hanya ketika ia digunakan dan direalisasikan dalam proses konsumsi. Sepasang sandal menjadi tidak berguna, jika tidak digunakan oleh pemiliknya. Emas yang ada di toko emas tidak ada gunanya, jika ia hanya dipajang di etalese toko tersebut. Namun, sebuah karya seni lukis yang dipajang di galeri menjadi berguna bagi para pencinta seni yang berkunjung ke galeri tersebut. Karena itu, nilai-guna ini adalah substansi seluruh kekayaan, apapun bentuk sosial yang mungkin dari kekayaan itu. Dengan demikian, walaupun nilai-guna melayani kebutuhan sosial, dan eksis dalam kerangka kerja sosial, tetapi keberadaannya tidak mengekspresikan hubungan sosial produksi. Pada setiap corak produksi, nilai-guna sebuah benda senantiasa eksis. Dalam Critique, Marx, mengatakan, nilai-guna independen dari kungkungan bentuk ekonomi, karena itu aspek nilai-guna ini tidak mendapatkan perhatian serius dalam studi ekonomi politik (1990: 28).
Nilai-tukar (Exchange-values)
Jika nilai-guna berurusan dengan masalah kualitas, maka nilai tukar berkaitan dengan soal kuantitas. Misalnya, jika nilai-guna sebuah benda diukur dari kegunaannya dan berakhir dengan konsumsi, maka nilai-tukar diukur dari seberapa bisa benda tersebut dijual dan berakhir dengan pertukaran. Dalam Capital, Marx, mengatakan, ‘Nilai-tukar pertama kali muncul sebagai hubungan kuantitatif, proporsi, di mana nilai-guna satu benda dipertukarkan untuk nilai-guna benda lainnya,’ (op.cit: 126).
Dengan demikian, sepasang sandal memiliki nilai-tukar sejauh ia bisa dipertukarkan dengan benda lain. Semakin banyak jumlah sandal yang bisa dijual, maka nilainya semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya. Namun, bila kita membeli sebuah mobil, tidak dengan sendirinya mobil tersebut memiliki nilai-tukar. Jika mobil yang kita beli itu hanya digunakan sendiri atau sekadar menghiasi garasi besar di rumah kita, maka mobil tersebut hanya memiliki nilai-guna, tapi tidak memiliki nilai-tukar. Mobil tersebut baru memiliki nilai-tukar ketika kita menjualnya kepada pihak lain.
Dari sini, kita bisa mengatakan, nilai-tukar adalah sebuah proses yang tak pernah berhenti. Karena itu, jika nilai-guna eksis dalam semua corak produksi masyarakat, maka nilai-tukar keberadaannya menjadi penanda sebuah corak produksi masyarakat tertentu. Pada corak produksi komunal purba, keberadaan nilai-tukar tidak dikenal. Menurut Ernest Mandel (1970: 49) asal-usul pertukaran ditemukan di luar unit masyarakat primitif seperti di komunitas yang berpindah-pindah (horde), marga (klan) atau di suku (tribe). Studi antropolog sosial Inggris, Audrey I. Richards, terhadap rakyat Bemba di Rhodesia, menemukan, karena kondisi di wilayah itu begitu seragam, tidak tersedia alasan rasional untuk membenarkan bahwa di wilayah tersebut telah ada perdagangan barang antara satu komunitas dengan komunitas yang lain, (Mandel, ibid)
Seiring dengan penemuan alat-alat kerja baru, masyarakat yang sudah mulai hidup menetap, dan produksi barang telah melampaui konsumsi, pola-pola pertukaran dalam masyarakat mulai dikenal. Bermula dalam wujud pemberian hadiah, untuk kepentingan upacara keagamaan, meningkat menjadi pertukaran dalam bentuk barter yang terselubung (silent barter), hingga menjadi pertukaran yang kompleks dengan jangkauan tak terbatas, yakni pertukaran di pasar yang impersonal.
Dengan demikian, kita temukan perbedaan lain antara nilai-guna dan nilai-tukar. Pada yang pertama, seseorang memproduksi barang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau kebutuhan komunitas di mana ia hidup. Pada momen ini, menurut Mandel, produksi dan hasil produksi, kerja dan produk kerja identik pada orang tersebut, dalam praktek maupun pikirannya. Tetapi, dalam produksi komoditi, kesatuan ini hancur berkeping-keping. Produser komoditi tidak lagi hidup secara langsung dari barang hasil kerjanya, sebaliknya, ia hidup secara eksklusif dari kerjanya, (op.cit: 58).
Unity of Opposites (Kesatuan dalam Pertentangan)
Dalam masyarakat primitif, produksi secara esensial dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan individu, komunitas mereka yang besar seperti marga atau suku atau untuk memenuhi kebutuhan komunitas kecil seperti keluarga. Tetapi, dalam sistem masyarakat borjuis, nilai-guna bukan merupakan tujuan akhir dari proses produksi. Nilai-guna tak lebih sebagai dasar bagi terjadinya nilai-tukar.
Marx memberikan contoh menarik soal ini. Katanya, sebuah berlian yang menempel di leher jenjang seorang gadis, yang berguna sebagai hiasan, tidak bisa kita sebut sebagai komoditi. Berlian yang menempel di leher sang gadis, yang membuatnya bertambah cantik, statusnya tetaplah sebagai berlian yang memiliki nilai-guna. Dan seperti yang telah kita sitir di atas, bagi Marx, sebuah komoditi pasti memiliki nilai-guna, tapi tidak setiap benda yang berguna disebut komoditi. Dalam Capital ia menulis,
‘Sebuah benda bisa memiliki nilai-guna, tanpa memiliki nilai….. Sebuah benda bisa berguna, dan merupakan produk tenaga kerja manusia, tanpa harus menjadi komoditi. Ia yang memenuhi kebutuhannya sendiri dengan barang-barang hasil produksinya sendiri memang menciptakan nilai-guna, tapi bukan komoditi,’ (ibid: 131).[3]
Ini berarti, untuk mendapatkan status sebagai komoditi, sebuah barang yang berguna harus memenuhi persyaratan tertentu. Lanjutan dari kutipan di atas berbunyi, ‘guna memproduksi komoditi, seseorang tidak hanya memproduksi nilai-guna, tapi nilai-guna buat yang lain, nilai-guna sosial (social use-values). Di bagian lain dari Capital, Marx mengatakan,
‘Benda-benda yang berguna menjadi komoditi hanya karena mereka merupakan produk dari kerja individu privat yang bekerja bersama-sama secara independen, (ibid: 165).’[4]
Friedrich Engels menambahkan, sebuah produk disebut ‘secara khusus sebagai komoditi karena adanya hubungan antara dua person atau dua komunitas yang melekat pada benda atau produk tersebut, hubungan antara produsen dan konsumen yang tidak lagi menyatu pada satu orang,’ (Howard & King, 1985: 44).
Menilik pernyataan ini, sebuah barang yang memiliki nilai-guna menjadi komoditi jika ia memenuhi dua kriteria: (1) barang yang berguna itu diproduksi oleh buruh bebas dalam pengertian ganda (bebas dari kungkungan tuannya sekaligus bebas dari kepemilikan alat-alat produksi); (2) barang yang berguna itu diproduksi untuk dipertukarkan. Dengan kata lain, komoditi adalah nilai-guna sesuatu barang yang diproduksi oleh buruh untuk dipertukarkan. Tidak berarti semua barang yang dipertukarkan, bahkan melalui pasar, bisa disebut sebagai komoditi. Misalnya, barang hasil curian atau barang-barang bekas yang kemudian dijual di pasar. Bagi Marx, kasus seperti itu bersifat insidental, ia tidak memainkan peranan sentral dalam reproduksi sosial.
Tetapi, bagaimana ceritanya nilai-guna sebuah barang berkembang menjadi nilai-tukar? Dalam Critique Marx menjawab, ketika si pemilik merasa barang tersebut tidak lagi berguna bagi dirinya. Si A memiliki sepasang sepatu yang kemudian dijualnya kepada si B. Pada diri si A, sepasang sepatu itu tidak memiliki nilai-guna.
Dari ilustrasi ini, kita memperoleh pemaknaan baru tentang nilai-guna. Jika sebelumnya Marx mengatakan bahwa nilai-guna sebuah barang terealisir hanya ketika ia dikonsumsi, maka, di sini, Marx mengatakan, si pemilik komoditi merasa komoditinya memiliki nilai-guna sejauh ia memiliki nilai-tukar. ‘Untuk menjadi sebuah komoditi,’ ujar Marx dalam Capital, ‘sebuah produk harus ditransfer kepada yang lain, di mana produk tersebut tetap memiliki nilai-guna, melalui alat pertukaran,’ (op.cit: 131). Dalam Critique, ia memberikan penjelasan lebih jernih soal ini, di mana ‘untuk menjadi sebuah nilai-guna, komoditi harus menemukan kebutuhan tertentu untuk dipuaskan. Dengan demikian, nilai-guna sebuah komoditi menjadi nilai-guna melalui mekanisme pertukaran: mereka (komoditi) lepas dari tangan pemilik semula dan berpindah ke tangan yang lain yang berfungsi sebagai barang konsumsi, melalui mekanisme pertukaran’ (ibid: 42).
Jadi, bagi si pemilik, komoditinya memiliki nilai-guna justru ketika komoditi itu berada di luar jangkauannya, yakni ketika komoditi itu memiliki nilai-guna bagi yang lain. Pada diri pemiliknya, komoditi itu tidak lagi memiliki nilai guna, nilai guna itu ia temukan pada komoditi yang dimiliki oleh orang lain. Inilah kata Marx dalam Critique,
‘Nilai-tukar sebuah komoditi tidak mewujud dalam nilai-guna komoditi itu sendiri. Tetapi, sebagai pengejawantahan waktu kerja sosial universal, nilai-guna sebuah komoditi dibuat berhubungan dengan nilai-guna komoditi lainnya. Dengan demikian, nilai-tukar sebuah komoditi menjelmakan dirinya dalam nilai-guna komoditi lainnya’(ibid: 38).[5]
Tetapi, persoalan belum selesai. Kata Marx, nilai-guna dan nilai-tukar sebuah komoditi bukan hanya dua aspek yang berbeda tapi juga kontradiktif. Di sini, walaupun konsep nilai-guna dan nilai-tukar ini terinspirasi dari Aristoteles, tapi ia menanggalkan logika formal Aristoteles dan menggunakan logika materialisme-dialektik, khususnya hukum ‘Unity of Opposites.’ Dalam satu komoditi melekat dua aspek yang menyatu sekaligus berkontradiksi: nilai-guna dan nilai-tukar. Sebuah benda memiliki nilai-guna ketika ia dikonsumsi, sementara nilai-tukar menjadi bermakna bukan karena ia digunakan, tapi karena dipertukarkan. Pemahaman seperti ini tentu saja membingungkan. Sebab, untuk memiliki nilai-guna sebuah benda harus dikonsumsi dan tidak dipertukarkan. Sebaliknya, untuk memiliki nilai-tukar, sebuah benda tidak segera dikonsumsi melainkan mesti dipertukarkan.
Situasi kontradiktif ini diselesaikan Marx dalam Critique (ibid: 44), bahwa hanya dalam proses pertukaranlah, baik aspek nilai-guna dan nilai-tukar ini berevolusi sekaligus menemukan solusinya. Menurutnya, komoditi sebelum dijual dan dikonsumsi, nilai-guna dan nilai-tukarnya masih bersifat abstrak dan potensial. Sekali komoditi tersebut dijual, pertukaran untuk uang (C – M), maka karakteristik nilai-tukar menjadi nyata. Tapi, dalam proses ini, nilai-tukar tampil dalam bentuk uang, di mana ketika uang ini ditukar dengan komoditi lainnya, yang berarti dikonsumsi (M – C), nilai-tukar tersebut bermetamorfosis kembali ke dalam aspek nilai-guna. Seperti kata ekonom Martha Campbell, ‘sejak pertukaran merealisasikan tujuan dari kedua belah pihak, itu juga bermakna terealisasinya nilai guna dan nilai komoditi secara berkelanjutan. Ini berarti pertukaran memuaskan kebutuhan-kebutuhan tertentu individu, tapi hanya jika mereka terekspresi dalam pembayaran dengan uang’(Campbell in Moseley, op.cit, p.141).
Di sinilah letak utama keunikan produksi komoditi dalam kapitalisme. Bahwa komoditi tersebut diproduksi oleh buruh yang menjual tenaga kerjanya kepada si kapitalis yang mengontrol proses produksi; di mana komoditi yang diproduksi itu tidak dimiliki oleh buruh tapi oleh si kapitalis; dan pada akhirnya komoditi yang diproduksi itu tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan langsung manusia, tapi diproduksi untuk dipertukarkan di pasar. Inilah sebabnya mengapa komoditi lebih tepat disebut sebagai hubungan (social relations) ketimbang sebagai benda (thing) dalam pemahaman non-Marxis.
¶
Coen Husain Pontoh, Penulis beredar di Twitterland dengan id @coenpontoh
Kepustakaan:
Ben Fine and Alfredo Saad-Filho, Marx’s Capital, Pluto Press, London, 2004.
Duncan K. Foley, Understanding Capital Marx’s Economic Theory, Harvard University Press, 1986.
Ernest Mandel, Marxist Economic Theory, Vol. I, Monthly Review, 1970.
Fred Moseley (ed), Marx’s Method in Capital A Reexamination, Humanities Press, New Jersey, 1993.
Harry Cleaver, Reading Capital Politically, AK Press, 2000.
I.I. Rubin, Essays on Marx’s Theory of Value, Black Rose Books, 1990.
Karl Marx, A Contribution To The Critique of Political Economy, International Publisher, NY, 1989.
______, Capital Volume I, Penguin Books, 1990.
______ Grundrisse, Penguin Books, 1993.
Michael A. Lebowitz, Following Marx Method, Critique, and Crises, Haymarket Books, 2009.
M.C. Howard & J.E. King, The Political Economy of Marx, (Second Edition), New York University Press, 1985.
Robert Albritton, Economics Transformed Discovering the Brilliance of Marx, Pluto Press, London, 2007.
Spencer J. Pack, Aristotle, Adam Smith and Karl Marx On Some Fundamental Issues in 21st Century Political Economi, Edward Elgar, 2010.
Stephen Shapiro, How to Read Marx’s Capital, Pluto Press, 2008.
[1] Kutipan aslinya, ‘Hegel fell into the illusion of conceiving the real as the product of thought concentrating itself, probing its own depths, and unfolding itself out of itself, by itself.’
[2] Kutipan aslinya: ‘….production, distribution, exchange and consumption form a regular syllogism; production is the generality, distribution and exchange the particularity, and consumption the singularity in which the whole is joined together.’
[3] Kutipan aslinya: ‘A thing can be use-value, without being a value. …. A thing can be useful, and the product of human labour, without being a commodity. He who satisfies his own need with the product of his own labour admittedly creates use-values, but not commodities.’
[4] Kutipan aslinya: ‘Objects of utility become commodities only because they are the product of the labour of private individuals who work independently of each other.’
[5] Kutipan aslinya: ‘The exchange-value of a commodity is not expressed in its own use-value. But as materialisation of universal social labour-time, the use value of one commodity is brought into relation with the use-values of other commodities. The exchange-values of one commodity thus manifest itself in the use-values of other commodities.’