Daftar Isi Edisi Ini:
- Saat Ini, Kita Semua (Buruh/ Pekerja/ Karyawan) adalah Precariat!
- Dede Mulyanto: Antropologi Sebagai Ilham Teoritis Penunjang Perjuangan Kelas Pekerja
- Memecah Pembisuan, Membongkar Tabu: Mendengar Suara Korban Tragedi 1965
- Komoditi Sebagai Hubungan Sosial (1)
TIGA Oktober lalu, untuk pertama kalinya sejak penghancuran gerakan rakyat 1965/1966, kaum buruh Indonesia melakukan Mogok Nasional. Jutaan buruh tumpah-ruah ke jalan-jalan di berbagai daerah di Indonesia. Mogok Nasional ini merupakan bagian dari proyek Hostum (Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah) yang digulirkan sejak Mei 2012. Dan sejak itu, mereka sudah melakukan aksi-aksi pengepungan pabrik untuk memaksa pengusaha mengubah status buruhnya yang outsourcing menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaannya. Dari wawancara Roni Febrianto, salah seorang pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), yang diterbitkan di situs Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dilaporkan ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan. Adapun Mogok Nasional ini berdampak pada kerugian triliunan Rupiah di pihak kaum kapitalis.
Belakangan ini, radikalisasi buruh memang tampak mengalami peningkatan. Awal tahun 2012 menyaksikan adanya konfrontasi keras antara buruh-pengusaha dalam hal upah. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) dalam Dinamika Perburuhan Indonesia Januari-Maret 2012 melaporkan, ’Tidak kurang dari 40 ribu massa aksi serikat buruh memblokade jalan tol Cikampek, Bekasi. Kemudian sekitar 30 ribu massa aksi serikat buruh di Serang melakukan blokade jalan tol Cibitung.’ Tidak lama setelah aksi upah ini, kaum buruh bersama dengan sektor-sektor rakyat lainnya, juga melakukan aksi melawan rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia pasca-reformasi, serikat-serikat reformis mengorganisir aksi besar-besaran untuk melawan kenaikan harga BBM. Dan untuk pertama kalinya juga dalam sejarah Indonesia pasca-reformasi, kenaikan harga BBM berhasil ditahan oleh perlawanan rakyat dan buruh.
Mobilisasi serius kaum buruh terhadap kenaikan harga BBM menunjukkan adanya peningkatan kesadaran kaum buruh Indonesia. Mereka tidak lagi hanya mengurus isu-isu tempat kerja, tapi mulai terlibat secara serius dalam isu-isu kemasyarakatan. Dengan meminjam istilah mereka sendiri, kaum buruh Indonesia mulai bergerak ’dari pabrik ke publik.’ Namun, gerakan buruh ini masih memperlihatkan ketergantungan politiknya terhadap kelas borjuasi. Mereka sudah bisa melihat APINDO sebagai musuh mereka, tapi masih kesulitan untuk melihat partai-partai borjuasi sebagai musuh mereka. Sebagai respons terhadap meningkatnya perlawanan rakyat, sebagian dari kaum borjuasi pun mulai menjalankan politik populis yang hipokrit. Ini terlihat dari partai-partai yang ikut menentang kenaikan harga BBM dan mendukung Mogok Nasional, seperti Gerindra dan PDIP. Padahal dulu Megawati pernah menaikkan harga BBM dan mengeluarkan UUK No. 13 Tahun 2003 yang melegalkan kerja kontrak dan outsourcing.
Ketergantungan kaum buruh terhadap kelas borjuasi dalam politik bukanlah hal yang aneh. Sejak zaman Marx dan Engels, hal itu sudah terjadi. Ini terlihat pada gerakan Chartist di Inggris pada masa itu. Sebelum membentuk partai Chartist, gerakan buruh di Inggris mendukung perjuangan kaum borjuis kecil untuk pemilihan universal dan mendukung Partai Whig yang liberal untuk Rancangan Undang-Undang Reformasi. Saat mereka menyadari keterbatasan kaum liberal, mereka pun membentuk partai Chartist. Tetapi, pada 1850-an, mereka bergantung lagi kepada Partai Liberal. Meski memiliki kekurangan-kekurangan, Marx dan Engels tidak pernah menganggap remeh gerakan ini. Sebaliknya, mereka melihat potensi yang sangat besar dalam gerakan ini. Yang penting adalah bagaimana melampaui keterbatasan gerakan massa buruh ini dengan mengintrodusir sosialisme ilmiah ke mereka. Dalam tradisi Marxis klasik, tugas ini jatuh ke tangan kaum sosialis atau kaum kiri.
Namun, pengerjaan tugas ini mensyaratkan adanya soliditas ideologi di kaum kiri sendiri. Dan untuk berkontribusi di bidang inilah, LBR kembali terbit di hadapan pembaca. Dalam edisi kali ini, kami menghadirkan tulisan Fildzah Izzati yang meninjau buku Guy Standing, The Precariat: the New Dangerous Class, yang membahas kecenderungan kelas pekerja di masa neoliberal untuk menjadi precariat. Lalu, ada wawancara Muhammad Ridha dengan Dede Mulyanto, pengarang beberapa buku Marxis, yang mengadvokasi ’Marxisme antropologis,’ yakni Marxisme yang menggunakan data dan ilham dari teori antropologi sebagai penunjang perjuangan kelas. Kemudian, ada tulisan Yoseph Yapi Taum, yang meninjau buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, dengan menitikberatkan kisah ‘penyesalan’ seorang pelaku Tragedi 1965/66. Adapun sejak edisi ketiga ini, LBR akan menghadirkan satu rubrik baru untuk mengkaji magnum opus Marx di bidang ekonomi-politik, yakni Capital. Kali ini penulisnya adalah Coen Husain Pontoh yang membahas komoditi, nilai pakai dan nilai tukar.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
¶