Tambahan buat Ragil Nugroho dan Romo Franz Magnis Suseno
PERMINTAAN maaf memang terkesan sebuah bagian yang subtansial atau lebih tepat simbolik di negara ini. Romo Magnis pada Kolom Opini Kompas (6-10-12) bertajuk ‘Ketoprak Yang Tidak Lagi Lucu,’ dengan tegas telah mendukung korban kekerasan politik 65 dan meminta negara untuk meminta maaf. Ragil Nugroho, melalui kolom Oasenya di IndoPROGRESS, meminta lebih dari hanya permintaan maaf, yaitu keadilan hukum dan pengadilan atas pelaku kejahatan.
Tragedi yang konon telah menghilangkan nyawa lebih dari 1 juta jiwa, dan menyebabkan trauma politik yang mendalam bagi korban dan keluarganya, tentu tidak akan selesai hanya dengan sebuah permintaan maaf. Kata maaf hanya teks simbolis negara yang belum tentu bisa memberikan efek apapun baik kepada korban maupun penulisan sejarah nasional. Tetapi, sebelum menuntut permintaan maaf, kita juga harus membicarakan dosa. Tidak mungkin manusia memberi maaf sementara dia tak tahu dosanya apa.
Pembantaian kelompok Komunis setelah usaha kudeta yang gagal telah meninggalkan banyak pertanyaan kepada kita. Pertanyaan terbesarnya, kenapa manusia bisa mengambil nyawa manusia yang lain dengan jumlah yang begitu besar? Terlebih sebagian besar pelaku pembantaian itu tidak menyesal, malah bangga telah ikut berpartisipasi dalam orkestrasi itu. Kesadaran jenis apa yang menggerakkan pembantaian itu, dan bagaimana kesadaran jenis itu bekerja? Tidaklah mungkin menjawab pertanyaan itu dalam artikel pendek ini, tetapi setidaknya kita mendiskusikan apa yang harus diperdebatkan dan dipelajari setelah 65.
Saya sepakat dengan Romo Magnis, bahwa tekanan pada rakyat versus rakyat dalam tragedi 65 tidaklah bisa diterima. Rakyat yang aktif dalam aksi kekerasan adalah bagian kelompok yang setiap tindakan yang dilakukannya mendapat legitimasi politis dan pembenaran, yang kemudian menjadi common ratio yang tak terbantahkan. Rakyat seperti itu layaknya kopral dalam bangunan piramida militer, tak berlidah atas kata ‘tidak.’ Mirip Eichmann in Jerrusalem (1963), yang menceritakan seorang Perwira Jerman yang, menurut Hannah Arendt, tidak mungkin disalahkan atas andilnya terhadap pembantaian komunitas Yahudi, karena dia tidak menunjukkan sikap anti semit. Eichmann hanyalah tentara yang patuh pada rasionalisme totalitarian National Sozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NAZI).
Kondisi yang kurang lebih sama juga menghinggapi Indonesia pada 1965. Persepsi rakyat non-komunis atas rakyat komunis direproduksi menjadi komunis yang tidak percaya Tuhan, pengkhianat negara dll. Tetapi reproduksi pengetahuan itu tidak mungkin ada kalau tidak ada relasi sosial, seperti relasi kiai-santri, penguasa-rakyat, perwira-bawahan, pemilik toko-pegawai dan tuan tanah-petani. Relasi-relasi di atas adalah hubungan antara subjek-objek politik ekonomi yang memungkinkan alur dominasi rasionalitas terjadi. Judith Grant dengan baik mengutip Marx mengenai relasi subjek-objek, ‘A Negro is a Negro. He only becomes a slave in Certain Relation.’ Konteks-nya tidak untuk menjelaskan alur kekuasaan, tapi bagaimana relasi sosial berperan besar dalam mengoordinasikan kesadaran dari kelas sosial yang berbeda. Relasi sosial inilah yang memungkinkan klaim atas tindakan-tindakan rasional, termasuk terhadap aksi kekerasan dan diskriminasi. Maka, kita bisa mengambil garis demarkasi yang lebih jauh, bahwa tentara yang ada dibelakang Petani yang menebaskan goloknya ke leher seorang Komunis, adalah bagian dari korban dominasi rasionalitas yang hanya mungkin terjadi karena adanya hubungan relasi kekuasaan sosial dan politik ekonomi.
Karena tindakan kekerasan memiliki basis rasionalitasnya, maka tidaklah mengherankan apabila mereka yang melakukan kekerasan tidak merasa bersalah, malah ada yang bangga dan menganggap keterlibatan mereka dalam tragedi 65 adalah aksi patriotik. Kesadaran atas aksi patriotik itu menyediakan infrastrukturnya sendiri melalui Monumen Kesaktian Pancasila, Film Pengkhiatan G30S/PKI dan catatan dalam buku sejarah nasional.
Maka yang paling penting adalah mengemansipasi kesadaran/rasionalitas mereka, para pelaku kekerasan mengenai apa yang terjadi pada tahun 65. Pada konteks ini ide Gorge Lukacs mengenai kebudayaan sebagai media refleksi kesadaran menjadi penting. There had to be (and was) a mediation between subject and object that would enable the subject to reflect rationality on its situation as againts merely “being” in it. For Lukacs culture provide such a mediation.[1] Karena itu kita perlu mengapresiasi sebesar-besarnya majalah Tempo edisi ‘Pengakuan Algojo 1965,’ Novel Ronggeng Dukuh Paruk dari Ahmad Tohari dan film the act of killing karya Sutradara Joshua Oppenheimer, yang memasukkan gambaran-gambaran mengenai 1965 melalui wilayah non-politik praktis, dan memberikan wacana baru untuk diperdebatkan kepada publik. Pada level ini kita boleh berbangga diri, kita menemukan harapan melalui perlawanan wacana terhadap wacana dominan pada proyek-proyek kultural ini.
Tentu saja proyek kultural tidak akan serta-merta melahirkan permintaan maaf. Tujuannya adalah melahirkan kesadaran dan self criticism, sehingga kita menyadari apa dosa kita. Kesadaran atas dosa jauh lebih besar daripada permintaan maaf itu sendiri. Mengormati korban dan keluarga melalui permintaan maaf adalah hal penting, tapi yang jauh lebih penting adalah membangkitkan kesadaran publik mengenai tragedi 65 sebagai sebuah bencana sosial, bukan peringatan periodik yang a-politis dan a-historis.***
Abel, Pegiat RSJ, dan Editor Jurnal Islam As-Syiasah
[1] Judith Grant, Cultural Studies and Political Theory edited by Jodi Dean, page 137, Cornell University Press, 2000.