SEJAK terjungkalnya rezim Orde baru, Indonesia berkali-kali dikejutkan oleh fenomena kekerasan komunal dalam berbagai bentuk. Bentuk vertikal kekerasan komunal yang melibatkan komunitas lokal versus Negara, terjadi di teritorial konflik lama seperti Aceh dan Papua. Bentuk horizontal, di sisi lain, menjadi kekerasan komunal yang merebak ke hampir seluruh penjuru nusantara. Kekerasan komunal dalam skala besar umumnya terjadi di luar pulau Jawa, seperti kasus Ambon (1999-2002), Poso (1998-2001), Sambas (1997, 1999-2001) dan Sampit (2001). Di Jawa sendiri kekerasan komunal dalam skala kecil terjadi terus menerus. Kasus kekerasan komunal terakhir adalah yang terjadi di Sampang Madura (2012), yang melibatkan dua aliran agama dalam komunitas muslim (Syiah dan Sunni). Kasus ini hanyalah bagian kecil dari kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia.
Terdapat dua corak utama kekerasan komunal di Indonesia. Pertama yang bercorak agama; dan kedua yang bercorak etnis atau gabungan keduanya. Kekerasan komunal bercorak agama seperti yang terjadi di Sampang, Madura, sudah berlangsung dua kali dalam satu tahun. Sebelumnya, juga terjadi kekerasan komunal terhadap komunitas Ahmadiyah di beberapa kota. Kekerasan juga menimpa Jemaat GKI Yasmin di Bogor. Lain halnya dengan kekersan yang terjadi di Lampung Selatan, tipe kekerasan komunal bercorak etnis sekaligus agama, yang muncul lewat penyerangan terhadap perkampungan Bali oleh komunitas etnis Lampung hingga terjadi pembakaran Pure.
Menghadapi kasus kekerasan komunal ini, Negara seakan lumpuh tak mampu berbuat apa-apa. Semua kekerasan terjadi tanpa tindakan preventif bahkan dapat berulang di tempat yang sama. Kondisi negara lumpuh ini membuat para ilmuwan tergagap-gagap menjelaskannya. Kemana Negara yang dulu dengan gagah menindas perbedaan dan konflik-konflik komunal serta politik? Sementara itu, dikalangan masyarakat muncul pertanyaan kemana masyarakat majemuk yang toleran itu pergi? Sejak kapan intoleransi menemukan bentuknya dalam kekerasan komunal?
Tulisan ini berupaya menyusun kembali pertanyaan dan memberikan simpulan sementara atas pertanyaan tersebut.
Kegagapan para Ilmuwan Sosial
Para ilmuwan sosial-politik seringkali menjatuhkan tuduhan penyebab kekerasan pada kategori subjektif masyarakat, yang dalam istilah Klinken disebut stereotype primordial (asumsi status bahwa identitas etnis adalah riil dan sudah sangat tua). Tudingan ini muncul sebagai konsekuensi dari pendekatan yang memfokuskan diri pada dinamika kultural, yang memandang reaksi anomis sebagai efek samping jangka panjang dari proses modernisasi. Di lingkungan akademis dan surat kabar, stereotype primordial muncul melalui gagasan kebudayaan kekerasan dan prasangka-prasangka etnis.
Gagasan yang paling umum diterima oleh sebagian besar ilmuwan sosial adalah konsep Amuk/Amok, sebagai kekerasan irasional khas Indonesia. Konsep ini sejatinya berakar dari stereotype yang dimotori oleh para pskiater dan administratorkcolonial untuk menjelaskan kerusuhan dan perlawanan rakyat terhadap penguasa kolonial dan penguasa lokal. Para administrator tersebut berspekulasi bahwa amuk berakar pada watak melayu atau jawa, fanatisme Islam, atau penggunaan opium yang berlebihan (Klinken, 2007;33). Alih-alih mendapat bantahan, para ilmuwan sosial Indonesia malah menjadikannya panduan untuk menjelaskan dirinya sendiri.
Gagasan ini terus berkembang dengan diadopsinya psikologi sosial Freudian untuk menjelaskan motif-motif yang mendasarinya, dengan memasukkan kategori-kategori psikologis seperti egoisme, intoleransi, kenaifan, paranoia dan emosi. Pengembangan gagasan stereotype primordial ini malah menguatkan asumsi bahwa kemajemukan konfigurasi sosial seperti afiliasi etnis dan relijius menjadi penyebab kekerasan komunal. Asumsi ini bekerja melalui asumsi kebudayaan statis, yang mengimajinasikan bahwa setiap identitas kebudayaan tidak mengalami perubahan.
Tapi, menurut pandangan saya, gagasan semacam stereotype primordial tidak akan bisa memahami momen-momen krisis yang mendorong terjadinya kekerasan komunal. Misalnya, mengapa kekerasan komunal skala besar terjadi di masa transisi reformasi dan menurun ketika pemerintahan mulai stabil? Lebih jauh lagi, kita tidak akan menemukan relasi sosial-ekonomis-politis dalam kekerasan komunal, seperti mengaitkan kekerasan komunal di Mesuji dengan stereotype suku Komering yang kental dengan kekerasan. Mustahil menjelaskan kekerasan komunal hanya dari heterogenitas identitas komunal tanpa membahas krisis ekonomi dan krisis politik dimana kekerasan itu muncul.
Negara dalam Kekerasan Komunal
Geoffrey Robinson menjelaskan bahwa sumber konflik politik dan kekerasan politik terletak pada lingkungan struktur politik yang luas, seperti lemahnya pemerintahan pusat dan daerah, perpecahan militer, gerakan sipil yang radikal dan intervensi asing. Ia menolak sumber kekerasan berakar pada karakter, tempramen dan budaya politik komunitas yang bersangkutan (Robinson,1995;313). Pernyataan ini sesuai dengan fakta bahwa kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia, memiliki korelasi kabur dengan politik tapi saling berkelindan.
Kajian contentious politics berusaha menghapus kekaburan mekanisme relasional antara politik dan kekerasan komunal, dengan memahami lima proses kunci elemental dari perseteruan politik. Kelima kunci tersebut ialah; pembentukan identitas komunal, eskalasi konflik, polarisasi elite, mobilisasi massa dan pembentukan aktor. Kelima proses kunci muncul setelah lahirnya peluang politik yang disediakan oleh perubahan politik dan momen-momen krisis di Indonesia. Salah satu peluang politik terbesar adalah desentralisasi dan otonomi daerah. Diterapkannya desentralisasi kekuasaan melalui undang-undang otonomi daerah (UU 22 1999 dan UU 32 2004) yang lahir dari maraknya tuntutan pembentukan daerah administrative baru (pemekaran Kabupaten dan Propinsi). Desentralisasi melahirkan peluang menguatnya politik lokal dengan kontrol lebih besar pada daerah dalam hal pembelanjaan pendapatan daerah.
Dengan dicetuskannya pemilihan kepala daerah langsung (2005), persaingan politik di tingkat lokal memuncak bahkan mendorong terjadinya mobilisasi kekerasan baru bercorak etnis. Melalui desentralisasi, identitas komunal lokal terbentuk. Pembentukan identitas komunal ini biasanya mengambil bentuk etnis dan agama sebagai afiliasi ide mayoritas yang memiliki potensi mobilisasi tinggi. Pembentukan identitas komunal ini terus mengalami eskalasi seiring dengan besarnya kekuasaan yang diperoleh oleh komunal tersebut. Melalui sentimen lokalitas dan ‘putra daerah,’ misalanya, sentimen ini secara efektif membatasi kontestasi kekuasaan pada orang-orang lokal. Semakin menjauh dari asumsi para ilmuwan sosial, pembentukan identitas komunal bukanlah perilaku kolektif irasional melainkan gerakan sadar dan terukur.
Klinken (2007) mengidentifikasi bahwa secara taktis, gerakan komunal dilakukan untuk mengusir atau mengalahkan kolektivitas lain yang dipandang asing atau berbahaya, serta mengusahakan agar anggota mereka sendiri diangkat ke posisi penting dalam pemerintahan daerah. Secara strategis, gerakan semacam ini menuntut kelompok-kelompok pendatang tunduk pada dominasi kultural dan pengakuan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan sah di daerah tersebut. Eskalasi pembentukan identitas komunal menyedot banyak aktor di dalamnya sehingga menciptakan polarisasi kekuatan di tataran elite dan massa. Dalam momen krisis, ketika polarisasi identitas komunal ini mendapatkan pemicu konfliknya seperti mobilisasi pemenangan kepala daerah, gubernur, dewan perwakilan rakyat, ataupun eskalasi informasi isu nasional, polarisasi identitas komunal dapat dengan mudah diarahkan menjadi kekerasan komunal oleh patron-patron lokal.
Menurut Dynamics of Contention (McAdam, Tarrow dan Tilly 2001:38), mobilisasi jauh lebih kompleks ketimbang eskalasi. Mobilisasi terjadi melalui lima mekanisme dasar. Pertama, sederetan perubahan sosial yang mendahului konflik; kedua, tiap pihak melihat ancaman dari pihak lain dan kesempatan yang menguntungkan dirinya; ketiga, organisasi diciptakan untuk menangani ancaman atau kesempatan tersebut; keempat, organisasi melancarkan aksi kolektif menentang pihak lain; dan kelima, terjadi eskalasi ketidak pastian yang memperbesar ancaman dan peluang tadi.
Rangkaian peluang politik yang dilahirkan desentralisasi tersebut menciptakan harapan-harapan dan keputusasaan para aktor yang terlibat di dalamnya. Para aktor dibentuk oleh motivasi politik untuk merebut sumber-sumber ekonomi yang peluangnya dibuka oleh desentralisasi. Negara tidak dapat dikatakan absen dalam hal ini, kekerasan komunal antara komunitas lokal dengan komunitas pendatang (pekerja perkebunan) di Mesuji, yang terjadi dengan latar perampasan tanah oleh perusahaan perkebunan, tidak menyebabkan Negara absen karena negaralah yang memberikan lisensi pada perkebunan tersebut. Persaingan untuk mengendalikan Negara menjadi motivasi utama pembentukan aktor dalam kasus kekerasan komunal.
Kemana Masyarakat Majemuk yang Toleran itu Pergi?
Sangat lazim diketahui bahwa konfigurasi sosial di Indonesia sangat heterogen secara etnis maupun relijius. Selama orde baru perbedaan ini ditekan ke titik paling minimal: secara koersif melalui tindakan represif aparat kekerasan negara (polisi, tentara, dan penjara) terhadap mereka yang coba mengutak-atik konsep masyarakat harmonis yang diusung rejim. Sementara secara persuasif, perbedaan ditekan melalui doktrin negara kesatuan (Pancasila dan Wawasan Nusantara) yang dimuat dalam kurikulum pendidikan formal dan informal yang mempolitisasi isu SARA (Suku, Agama dan Ras), untuk menciptakan paksaan keseragaman dalam jubah toleransi. Politisasi ini tidak mengambil bentuk dialogis melainkan larangan (Kompas/31/8/12). SARA menjadi tabu, ditutup rapat-rapat oleh jargon kerukunan, harmoni sosial dan persatuan Indonesia. Hasilnya, intoleransi tetap bertahan dalam ruang personal, menjadi kebencian yang diturunkan melalui lembaga keluarga, lembaga pendidikan, obrolan warung kopi dan ceramah-ceramah keagamaan.
Paksaan toleransi menyebabkan konfigurasi heterogenitas masyarakat menjadi bibit konflik tersendiri. Selain itu, provokasi dari pembentukan identitas komunal melalui tersedianya peluang politik juga ikut memperkeruh keadaan. Salah satu contoh yang paling vulgar adalah Majalah Sabili, yang mengumbar label kafir. Label kafir ini menimpa semua kelompok masyarakat yang dianggap berbeda baik yang minoritas maupun yang mayoritas. Majalah yang memicu permusuhan ini tidak dianggap sebagai ancaman bahkan oplahnya terus membesar dan berhasil menciptakan peluang politik bagi fundamentalisme relijius.
Mengapa harus komunitas etnis dan relijius? Tidak perlu heran, dalam politik Indonesia identitas etnis dan relijius menjadi politik itu sendiri. Pasca orde baru masyarakat menemukan kembali ikatan-ikatan sosial komunalnya yang diberangus sebelumnya. Etnis Tionghoa yang selama orba dimarjinalkan, kini menemukan kembali festival-festival kebudayaannya; masyarakat adat kembali membentuk asosiasi etnis baru dan menghidupkan kembali adat lama yang seringkali sampai pada agenda separatis. Di sisi lain, pengalaman relijius berkembang ke jurusan lebih ortodoks daripada sebelumnya, tarekat-tarekat, sekte-sekte keagamaan bermunculan. Ketidakpastian liberalisme membuat ikatan komunal menjadi ikatan yang menciptakan rasa aman bagi masyarakat.
Pemerintah secara tidak konsisten menganggap kekerasan komunal sebagai bagian dari dislokasi sosial, namun tidak pernah berusaha memperbaikinya. Upaya penanggulangan dampak kekerasan komunal hanya berfokus pada perbaikan infrastruktur, ketimbang penyelesaian trauma psikologis dan melacak motif kekerasan komunal dalam masyarakat. Toleransi di bawah paksaan keseragaman adalah toleransi semu yang bersembunyi di balik prasangka etnis dan relijius tanpa menemukan ruang dialogisnya. Perbedaan menjadi potensi konflik yang tajam ketika isu-isu kebencian ini mampu diakumulasi oleh patron lokal dalam momen-momen krisis yang menciptakan peluang bagi dirinya sendiri. Masyarakat majemuk yang toleran itu tidak pernah pergi, karena memang sudah mati semenjak orde baru memegang tampuk kekuasaan.
Menarik simpulan
Kekerasan komunal yang muncul dari konfigurasi etnis yang heterogen bukanlah fenomena alamiah, karena konfigurasi etnis yang heterogen tidak lantas menciptakan kekerasan komunal. Kegagapan para ilmuwan sosial yang berujung pada prasangka etnis, yang menganggap kekerasan komunal berakar dari karakter masyarakat, jelas sangat lemah dan berpotensi menyesatkan pemahaman mengenai kekerasan komunal. Memotong persoalan pada prasangka etnis berpotensi menghilangkan mekanisme relasional yang terjadi secara historis.
Konsep Negara ramping ala neoliberal yang memperlemah Negara tidak akan menghasilkan pemerintahan yang lebih baik. Melalui desentralisasi, terjadi peluang politik di tingkatan lokal yang memecah konsentrasi kontestasi politik ke daerah-daerah. Akses terhadap sumber-sumber ekonomi yang dimiliki daerah-daerah, merupakan motif utama kontestasi kekuasaan lokal. Perampingan Negara memaksa elite masuk pada pasar-pasar informal untuk membiayai stabilitas kekuasaanya. Kondisi ini melahirkan perpecahan di kalangan militer yang mencari sumber pendanaan informal dari pengusaha dan menguatnya patron-patron lokal yang mampu memobilisasi kekerasan komunal untuk memperbesar peluang politiknya. Negara tidak pernah absen melainkan menjadi bagian integral dari kekerasan komunal.
Toleransi masyarakat sendiri sejatinya adalah toleransi semu yang didasarkan oleh paksaan. Intoleransi menemukan bentuknya dalam kekerasan komunal dan dipupuk oleh kebencian yang diturunkan serta aktivitas sehari-hari. Secara statis, konfigurasi heterogenitas berkorelasi lemah pada kekerasan komunal. Heterogenitas menjadi picu kekerasan komunal ketika ia di mobilisasi oleh patron lokal. Oleh karena itu, kekerasan komunal di Indonesia sejatinya bersifat politis ketimbang kultural, sehingga penjelasan-penjelasan politis sangat diperlukan untuk menganalisis kekerasan komunal.***
Rolip Saptamaji, Mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung, koordinator kajian politik kontemporer, Forum Studi Ilmu Politik, Unpad
Daftar Pustaka
Adian, Donny. G. 2012. Intoleransi dan Kekerasan, dalam artikel Opini Kompas 31/8/2012. Hal 7
Adian, Donny. G. 2011. Setelah Marxisme; Sejumlah teori Ideologi Kontemporer. Penerbit koekoesan. Jakarta
Klinken, Gary. V. 2007. Perang Kota Kecil; Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Klinken, Gary. V. 2005. ‘Pelaku baru, Identitas Baru; Kekerasan antar suku pada masa Pasca Soeharto di Indonesia.’ Dalam ; Dewi, F.A. Bevoir, H. Smith, G. Toll, R. (ed). 2005. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik. YOI, LIPI, KITLV-Jakarta, hal. 91-146.
Kriesberg. L. 1998. Constructive Conflicts from Escalation to Resolution. Boulder. Rowman and Liftfield Publisher. Inc. New York
McAdam, D., Tarrow, S. dan Tilly, C. 2001. Dynamics of Contention. Cambridge University Press. New York
Robinson, Geoffrey. 1995. The Dark Sie of Paradise: Political Violence in Bali. Cornell University Press. Ithaca
Tilly, Charles, A. 1978. From Mobilization to Revolution. Random house. New York
Tomagola, Thamrin. A. 2011. Republik Kapling. Resistbook. Jogja.
Tomagola, Thamrin. A. 1999. Tragedi Maluku Utara, Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, 25; 289-302