BICARA Zhou Enlai menghadang fasisme Jepang, seperti memancing ikan di padang pasir: kerjaan orang gila. Kenapa? Karena, konon, tak ada lagi ancaman fasisme di Indonesia.
Kita berangkat dari gereja saja: tempat Tuhan diagungkan.
Pembicaraan Marsekal Zhang dan Zhou Enlai dilakukan di sebuah gereja. Mereka menghadap ke altar berdebu. Patung Yesus menjadi saksi. Rupanya pembicaraan itu alot. Lima jam baru usai. Konon, di tengah pembicaraan salah satunya meneteskan air mata. Itupun belum tuntas.
Han Suyin, dalam bukunya, Zhou Enlai yu Tade Shiji 1898-1976, mencatat pembicaraan itu dengan liris. Dua orang yang berseberangan: Zhang—wakil Chiang Kaishek— dan Zhou—berada di pihak PKT (Partai Komunis Tiongkok). Sama-sama menghadap altar gereja. Zhang mengenakan seragam wol tanpa cela. Baju tanpa lengan yang dipakainya merupakan baju yang dipopulerkan Kaishek. Sementara, Zhou memakai baju tebal dari katun kasar berwarna abu-abu. Sebagai bentuk penghormatan terhadap kampanye anti kutu rambut, muka dan rambut Zhou tercukur rapi.
Gereja itu terletak di tepi Sungai Yen. Dikelilingi tebing curam. Ada pagoda besar dinasti Song di sana. Pembicaraan keduanya seperti tebing itu: curam. Zhou menyakinkan Zhang, fasisme Jepang perlu dihadang bersama. Ia meminta perang saudara dihentikan terlebih dahulu. Zhang sebetulnya sepandangan dengan Zhou, tapi Chiang Kaishek tak mau tahu. Baginya, basis Merah harus dihancurkan walaupun Jepang merangsek masuk Tiongkok. Kesumat dalam diri Kaishek sulit dipadamkan.
Pada pertemuan kedua, dengan nada merendah, Zhou berkata: ‘Apabila Chiang Kaishek bersedia mengepalai Pemerintah Persatuan Nasional menghadapi Jepang, kami akan dengan senang hati melakukan kerjasama dan mengakuinya sebagai pemimpin kita.’ Tapi, Chiang Khaisek tetap pandir. Ia memerintahkan Zhang untuk menyerang kaum komunis. Lacurnya, serangan itu kandas. Banyak korban dipasukan Zhang. Dengan menitikkan air mata, Zhou menulis surat kepada lawannya itu: ‘Tidaklah manusiawi membunuh saudara sendiri untuk memberi makan pada srigala.’
Zhou pandai menarik simpati musuh. Bulan Desember 1935—empat bulan sebelum pertemuan di gereja itu—Zhou memperlakukan pasukan Chiang Khaisek yang tertangkap Tentara Merah sebagai tamu. Dengan bersahabat ia menceritakan masa kecil, sekolah dan pengalamannya belajar patriotisme di Manchu. Sebelum dibebaskan, ia memerintahkan pasukan komunis untuk mencuci bersih baju para tahanan. Tak mengherankan, pasukan Khaisek yang tertangkap kembali ke Xenan bak seorang yang baru berwisata. Dengan cara ini—menjadikan musuh sebagai kawan—Zhou telah menjadikan mereka utusan terbaik kaum komunis.
Di Indonesia, gerakan kiri tak perlu berlaku seperti Zhou. Konon tak ada ancaman fasisme di negeri ini. Memang katagorinya harus mengikuti fasisme di Eropa. Kalau tak sama titik komanya, maka semuanya tak akan terjadi. ‘Jenderal di Indonesia kere,’ ujar ideolog kiri. Sementara, aktivis kiri yang baru puber memfatwakan: ‘Tentara Indonesia memang kejam. Tapi derajat kekejamannya belum bisa disebut fasis.’ Jadi, Amir Syarifudin terlalu liar dalam berimajinasi sehingga membangun gerakan anti fasis. Soeharto hanya tokoh rekaan Fredy S. Bibit fasisme yang ia tanam tak perlu kita khawatirkan. Ringkus saja semua itu sebatas pelanggaran HAM.
Mungkin benar ucapan sejarawan muda yang sekarang menjadi selebritis: ‘Kalau ada elit politik Indonesia yang berpikir menegakkan fasisme, otaknya jorok.’ Bisa jadi, fasisme baru dikatakan ada kalau dibangun kamp konsentrasi dan Anne Frank yang membuat catatan harian. Sebelum semuanya ada, keadaan baik-baik saja.
Tapi entah kenapa Pramoedya menyebut-nyebut fasisme Jawa. Mungkin Pram sedang mengalami delusi seperti yang diulang-ulang aktivis kiri melankolis—yang selalu menitikkan air matanya setiap lagu Darah Juang diperdengarkan—dari Blora. Pram, sebagaimana catatan Andre Vltchek & Rossie Indira, berujar: ‘sistem ini [fasisme Jawa] tumbuh dan berkembang dengan sangat subur pada masa Soeharto.’ Agaknya Pram tidak paham tentang ekonomi politik karena tak pernah ikut kursus politik bagi aktivis kiri. ‘Tak ada landasan ekonomi politik bagi tumbuhnya fasisme di Indonesia,’ kata seorang aktivis kiri lainnya.
Baiklah. Kita tak perlu berlama-lama di Indonesia. Tak ada gunanya membicarakan yang tak ada.
Kembali ke Zhou.
Yang ditanam Zhou dengan penuh kesabaran akhirnya berbuah. Peristiwa itu terjadi pada 9 Desember 1936. Sekitar 15.000 mahasiswa dan pelajar melakukan demonstrasi di jalanan Xian. Tuntutan mereka satu: lawan fasisme Jepang! Rakyat ikut turun. Zhang—komandan pasukan Khaisek di Xian—menemui demonstran sembari berujar: ‘Hati saya bersama kalian semua…saya berjanji kita akan berjuang melawan Jepang….’ Itu hasil Zhou bekerja di tempat lawan; kerja yang mensyaratkan kemampuan meyakinkan: jalan yang kita pilih benar. Bukan menyerangnya lewat gosip ala koran kuning.
Tapi semuanya tak selalu menyenangkan. Tak ada yang mulus. 11 Januari 1942, Zhou datang ke kantor partai di Xinhun. Wajahnya pucat. Dalam catatan Han Suyin: suaranya bergetar dan menunjukkan kemarahan. Wajar. Pada tanggal 7 Januari, 9.000 pasukan Tentara Merah dibantai oleh pasukan Kuomintang. PKT juga kehilangan Komisaris Politik yang tangguh: Xiang Yin. Kejadian itu diabadikan dalam 16 kata klasik oleh Zhou:
‘Tiada kesalahan lebih besar terjadi
di sebelah selatan kali
sendiri daun setangkai
Dalam satu ruang sesaudara beradu belati
dibiarkan saja terbakar tangkai
tumpukan kacang dilalap api.’
Pembantain itu dijadikan pembenar kaum ultra kiri untuk menyalahkan taktik front persatuan anti fasis PKT. Mungkin bahasanya begini yang dilontarkan kuam ultra kiri: ‘Salah sendiri kerjasama dengan Koumintang yang borjuis. Sudah gue bilang, borjuasi tak pernah konsisten dalam membangun front. Lu sih ngikutin Stalin.’
Zhou bergeming. Ia tetap pada usahanya. Luka itu memang lara, tapi Zhou tak larut. ‘Kita harus menatap ke depan dan melanjutkan perjuangan meraih kemenangan,’ ujarnya ketika berpidato di Chongqing. Ia masih yakin, koalisi Koumintang dan PKT melawan fasisme Jepang merupakan jalan yang benar.
Semuanya terbukti. Jepang menyerah. PKT muncul sebagai kekuatan berlipat. Kondisi pada masa-masa front persatuan digunakan oleh PKT untuk mengonsolidasikan diri. Saat itu, setelah 1945, kekuatan PKT sejajar dengan Kuomintang. Basis Merah semakin bertambah. Metode seperti ini yang tak pernah dipahami oleh kaum ultra kiri. Mereka memang seperti kuda yang berkacamata: tak tahu kanan-kiri.
Pukulan terakhir dilakukan PKT. Pada 28 September 1947, Zhou mengeluarkan arahan kepada kader PKT: Lancarkan ofensif Balik Besar-besaran di Seluru Negeri untuk Menumbangkan Chiang Khaisek. Mao menambahkan: ‘Revolusi harus dilakukan sampai akhir.’ Siasat bertahan itu berakhir. Kuomintang kalah. Chiang Khaisek melarikan diri.
Tanggal 1 Oktober 1949: RRT berdiri.
Orang seperti Zhou Enlai tak akan muncul di Indonesia, selama aktivis kirinya masih saja congkak.***
Lereng Merapi. 23 Agustus 2012.