Para Penghapal Lenin

Print Friendly, PDF & Email

Oase-IPIni lelucon tentang anak-anak yang baru belajar berjalan.

MUNGKIN begini gambarannya saat kaum Trotskis Indonesia berada di sekolah Leninis:

Sebagai murid yang paling pintar, tempat duduk Trotskis Indonesia berada di deretan bangku paling depan. Ia selalu tertib dalam segala hal. Tak pernah terlambat. Selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Kemejanya selalu rapi terseterika. Tentu saja berwarna merah.

Bel tanda dimulainya pelajaran berdering. Lenin—sang guru—masuk. Hari itu Lenin memberikan pelajaran dari risalah Apa yang Harus Dilakukan? Di papan tulis, ia mulai menuliskan kalimat demi kalimat dari bagian bab pengantar. Si Trotskis Indonesia segera menyalin risalah Lenin yang tergelar di papan tulisan dengan tulisan yang rapi.

Setelah selesai menulis, Lenin mengambil bilah bambu di meja. Ia kembali ke papan tulis. Karena masih kelas dasar, Lenin lebih banyak mengajari cara mengeja. Satu kalimat selesai, ia meminta muridnya membacanya. Trotskis Indonesia yang paling lantang membacanya. Ia penuh percaya diri bahwa apa yang dibacanya sama persis dengan ucapan Lenin: tingi-rendah nada suara sampai titik komanya. Begitulah seterusnya sampai satu paragraf rampung.

Esok harinya:

Lenin masuk ke kelas pada jam pelajaran terakhir. Diawal pelajaran, Lenin memberikan janji: siapa yang bisa menghapal materi yang diberikan kemarin maka bisa pulang sekolah lebih dulu. Tentu pembaca sudah tahu siapa yang bakal mengangkat tangan paling mula. Betul, Trotskis Indonesia. Luar biasa, ia bisa menghapal satu paragraf Apa yang Harus Dilakukan? tanpa cela. Lenin pun menepati janjinya, aktivis kiri Indonesia bisa pulang paling dulu. Saat yang membahagiakan akhirnya datang juga. Pada akhir masa studi tingkat dasar di sekolah Leninis, Trotkis Indonesia tampil sebagai lulusan terbaik. Ia mendapat predikat: Penghapal Terbaik Apa yang Harus Dilakukan karya Lenin. Tanpa Cela Titik Komanya.

Dengan bekal ijazah dan pujian terbaik dari sekolah Leninis, Trotskis Indonesia menjadi aktivis kiri paling militan di abad 21.

Sejak Adam mengunyah apel di surga, dogma menghendaki kekakuan. Berpegang  pada ajaran Lenin mutlak adanya. Dogma menuntut sikap yang keras: ajaran Lenin tak boleh salah titik komanya. Dogma harus dijadikan doktrin: apa yang tidak pernah dilakukan Lenin tak boleh dilakukan. Semua itu mudah merasuk karena manusia tak ingin diusik.
Memang tak enak. Dogma kaum Trotskis mengingatkan pada pelajaran Sekolah Dasar (SD).  Siapa yang tak pernah masuk SD? Adakah yang belum pernah memakai seragam  merah putih?  Satu pelajaran dasar baca tulis berikut ini tentu masih membekas di benak. Begini bunyinya:

Ini  Budi

ini Budi
ini ibu budi
ini bapak budi
ini kakak budi
ini adik budi
ibu dan bapak budi
kakak dan adik budi

Ini Budi. Sejak pertama kali masuk sekolah, kalimat itu dibaca berulang-ulang dengan suara yang nyaring. Guru membimbingnya lewat sebilah penunjuk dari bambu atau  penggaris kayu—sering kali, ketika ada murid yang bandel, penunjuk itu digunakan untuk memukul, atau menghantamkannya ke papan tulis sebagai peringatan agar tak berisik. Bacaan itu sudah menjadi rapalan. Bisa hapal di luar kepala. Sejak kecil sudah dididik menjadi beo.

Kita memutar dulu….

Bagi kaum Trotskis Indonesia, sebuah keluarga harus lengkap: bapak, ibu, budi, kakak dan adik. Budi harus punya bapak. Kalau tak punya bapak, ia haram jadah. Ia harus punya adik dan kakak. Apabila tak punya maka tak sempurna. Pun, yang bisa disebut gerakan kiri bagi kaum Trotskis Indonesia: bertulangpunggungkan kelas proletariat yang maju, dipimpin partai revolusioner yang Marxis-Leninis, dan berpegang pada ajaran Lenin tanpa penyangkalan. Kalau tak seperti itu, kadar kirinya patut dipertanyakan: bisa pink, biru atau abu-abu.

Memang koyol. Pandangan mereka sejatinya sederhana walaupun dikuas dengan kejlimetan: meminjam Tujuh Pedoman Utama dalam Animal Farm karya George Orwel—khusunya pedoman pertama dan kedua—Apa saja yang berjalan di atas dua kaki, itu musuh  dan Apa saja yang berjalan di atas empat kaki, atau sayap, itu sahabat.

Tapi begini. Dogma menyebabkan kaum Trotskis Indonesia mengalami kebingungan dalam menentukan jalan. Mereka pusing bagaimana harus merespon Pilkada, misalnya. Tak mengherankan kalau, seperti biasa,  berputar-putar pada teori: ini ajang borjuasi, tak ada calon yang mewakili kelas proletar. Dan, sampai pada kesimpulan moral: jangan tertipu. Sementara rakyat tetap berbondong-bondong  ke bilik suara. Dan, kaum Trotskis Indonesia tetap sibuk berdzikir dan  mewiridkan ajaran Lenin di Kuil Kesunyian—jutaan mil jauhnya dari massa.

Agak pahit. Dogma cocok untuk sekte, bukan bagi gerakan massa. Pandangan yang sibuk memoles diri dengan kutipan-kutipan dari kitab suci Marxisme, yang mencomotnya dari realitas politik dan tak menjangkar ke bumi, seperti daun yang lepas dari tangkainya: menjadi sampah.

Penggalan sajak Sobron Aidit bisa dijadikan cermin—ketika Leninisme menjadi dogma:

Dada Kepalaku Marxis
Diriku Leninis
Berpadu dalam satu deretan (Kepalaku Marxis, Diriku Leninis—Harian Rakyat. 21 April 1962)

Heroik dan militan, kan?

Untuk menjadi Manusia Unggul semacam itu tak akan banyak yang berani. Jadi, tak perlu kaget kalau jumlah kaum Trotskis di Indonesia—para penghapal Lenin–hanya sebiji dua biji.***

Rawasari.10.08.2012

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.