Studi Kasus Lapindo dan Sorikmas
TULISAN ini akan mencoba menganalisis dua kasus uji materiil yang menyangkut korporasi di Mahkamah Agung (MA). Kasus pertama adalah Hak uji materil terhadap Pasal 15 Perpres 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), yang diajukan oleh 38 orang warga korban Lumpur Lapindo, selanjutnya dalam tulisan ini kasus pertama ini akan disebut dengan ‘Kasus Lapindo.’ Hak uji materiil ini dilakukan pada tahun 2007 yang lalu. Kasus kedua adalah permohonan hak uji materiil dari Pemohon PT Sorikmas Mining (PT SM) terhadap Keputusan Menteri (Kepmen) Kehutanan Nomer.SK-126/Menhut/II/2004 tanggal 29 April 2004, selanjutnya dalam tulisan ini kasus kedua ini akan disebut dengan ‘Kasus Sorikmas’ dan Kepmen Kehutanan Nomer.SK-126/Menhut/II/2004 tanggal 29 April 2004 akan disebut ‘Kepmen Kehutanan.’
Kedua kasus ini berbeda dari sisi pemohon. Dalam kasus pertama pemohon adalah warga korban, sementara dalam kasus kedua pemohon adalah perusahaan. Akan tetapi, dalam hasil akhir, korporasi adalah pihak yang diuntungkan dari kedua kasus ini. Di dalam kasus permohonan hak uji materil dari warga korban Lumpur Lapindo, permohonan ditolak oleh MA. Sementara dalam kasus permohonan hak uji materil PT SM, MA mengabulkan permohonan ini. Ada cerita apa dibalik dua kasus ini?
Dalam Kasus Lapindo, hal yang ingin diuji oleh pemohon adalah pasal 15, jantung dari Pepres 14/2007 yang mengatur soal jual-beli aset warga yang terkena dampak Lumpur Lapindo. Dalam Pasal 15 ayat (1) Perpres 14/2007 dinyatakan, ‘Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan PT Lapindo Brantas [sic] membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.’
Poin di ataslah yang kemudian menjadi landasan hukum akan proses jual-beli tanah yang terjadi di Porong, Sidoarjo. Dalam bagian selanjutnya, Perpres 14/2007 menyebutkan bahwa proses jual-beli tersebut sudah harus selesai sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 tahun habis. Kontrak rumah 2 tahun rata-rata diberikan pada tahun 2006 atau awal 2007, sehingga seharusnya pada awal 2009 permasalahan jual-beli aset warga korban Lumpur Lapindo yang berada di bawah payung hukum Perpres 14/2007 sudah selesai. Kenyataannya, pada enam tahun usia Lumpur Lapindo, masih ada sekitar 1 triliun aset warga di bawah payung hukum Perpres 14/2007 yang belum terbayar.
Macam-macam kekhawatiran para pemohon uji materiil Kasus Lapindo pada waktu itu, tetapi salah satu poinnya adalah bahwa mekanisme jual-beli aset akan meniadakan kerugian immaterial yang mereka derita. Dan seperti disampaikan paragraf sebelumnya, kita jadi tahu bahwa kondisi sekarang malah lebih parah daripada yang mereka khawatirkan. Karena bukan hanya ganti-rugi immaterial (misalnya: sejarah kampung, kekerabatan, leluhur dan sistem sosial di kampung) saja yang mereka kehilangan, tetapi jual-beli aset yang tenggelam (tanah dan bangunan) saja pun sampai sekarang belum selesai pula.
Dalam Kasus Lapindo ini kita melihat bagaimana korporasi diuntungkan oleh MA, yang melalui Putusan No. 24/P/HUM/2007 menolak permohonan korban Lumpur Lapindo. Lapindo, meski harus membayar harga tanah dengan nilai yang lebih mahal dari kebiasaan di Porong, tetapi tidak sepeser pun dikenakan ganti-rugi terhadap kerugian immaterial korban lumpur. Dan sebagai catatan, berdasarkan Pepres 14/2007 seperti yang dikutip di atas, Lapindo melakukan jual-beli, bukan ganti-rugi. Meskipun banyak kalangan yang menyatakan bahwa jual-beli tanah oleh korporasi bertentangan dengan Undang-Undang Agraria No. 5 Tahun 1960, tetapi toh siapa yang peduli? Dan belakangan malah, Kepolisian Daerah Jawa Timur mengeluarkan Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3) untuk kasus Lumpur Lapindo pada bulan Agustus tahun 2009, yang artinya: tamat sudah, kasus ini tidak akan sampai di pengadilan.
Kalau mengikuti kronologi hukum tersebut, tidak aneh rasanya kalau Aburizal Bakrie, figur kunci di Bakrie&Brothers, induk usaha PT Lapindo Brantas Inc. (PT LBI)., dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan bahwa PT LBI tidak bersalah. Dan sampai saat ini memang tidak ada satu klausulpun dari pemerintah yang menyatakan bencana Lumpur Lapindo adalah akibat kesalahan PT LBI. Dengan demikian, agak aneh sebenarnya kasus ini, karena PT LBI yang tidak pernah dinyatakan bersalah, harus terlibat transaksi jual-beli aset dengan warga seperti yang diatur dalam Perpres 14/2007.
Meskipun, setelah masuk ke data geologi dan pemboran yang bisa saya akses dengan bekal latar belakang keilmuan geologi yang saya miliki, saya sampai kepada kesimpulan bahwa bukannya PT LBI tidak bersalah dan layak bertanggungjawab dalam kasus ini, tetapi lebih kepada secara politik pemerintah enggan membebankan tanggungjawab ke pundak PT LBI.
Dalam Kasus Sorikmas, PT SM mengajukan permohonan uji materiil terhadap Kepmen Kehutanan karena perusahaan itu merasa dirugikan dengan adanya Kepmen Kehutanan tersebut. Garis besarnya, Kepmen Kehutanan menetapkan kawasan seluas kurang-lebih 108.000 hektar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) menjadi taman nasional dengan nama Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Rupanya, pembentukan TNBG ini menggerus kepentingan PT SM, karena area konsesi eksplorasi emas mereka di daerah ini termasuk ke dalam lokasi yang menjadi TNBG.
Dalam sejarahnya, riwayat area Kontrak Karya (KK) di Madina ini bukanlah sesuatu yang baru. Ia pertama kali ditandatangani 5 hari setelah hari Valentine pada tahun 1998. Pemegang sahamnya ketika itu adalah Aberfoyle Pungkut Investments Pte Ltd, sebuah perusahaan yang berbasis di Australia, dengan jumlah kepemilikan saham sebanyak 75 persen. Sementara sisa 25 persen sahamnya dimiliki oleh perusahaan plat merah: PT Aneka Tambang (Antam). Pada tahun 2004, Sihayo Gold Limited yang sebelumnya bernama Oropa Limited, juga sebuah perusahaan yang berbasis di Australia, membeli semua saham Aberfoyle Pungkut Investments Pte Ltd. PT SM adalah perusahaan gabungan antara Sihayo Gold Limited dengan PT Antam.
Area yang masuk ke dalam konsesi perusahaan ini pada saat penandatanganan KK masuk ke dalam hutan produksi, hutan lindung dan kawasan non-hutan. Pada bulan September tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan UU Kehutanan yang baru yang salah satu poinnya adalah melarang tambang terbuka di daerah hutan lindung. Akan tetapi, pada bulan Maret tahun 2004 dengan ditandatangani oleh Presiden ketika itu, Megawati Soekarnoputri, pemerintah mengeluarkan izin tambang terbuka di hutan lindung bagi perusahaan yang sudah memegang KK. Tahapan berikutnya adalah pada tanggal 29 April 2004, ketika Kementerian Kehutanan mengeluarkan Kepmen Kehutanan seperti yang disebutkan di atas. Dan sebulan kemudian, tepatnya pada tanggal 12 Mei 2004, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 41/2004 yang memberikan izin bagi 13 perusahaan tambang yang area konsesinya berada di hutan lindung. PT SM adalah salah satu dari ke-13 perusahaan tersebut.
Dan pada akhirnya, pada tanggal 17 September 2008 MA mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon PT SM dengan menyatakan bahwa ‘Keputusan Menter Kehutanan Nomor. SK-126/Menhut/II/2004 tanggal 29 April 2004 batal sepanjang mengenai batas sementara Taman Nasional Batang Gadis yang tumpang tindih dengan wilayah kontrak kerja Pemohon.’
Implikasi dari keputusan MA dalam Kasus Sorikmas adalah semakin terancamnya kehidupan masyarakat di sekitar area konsesi PT SM, baik yang di blok Utara di Sihayo maupun yang di blok Selatan di Ulupungkut, karena area konsesi PT SM di kedua daerah tersebut adalah jantung area tangkapan air bagi Sungai Batang Gadis yang Daerah Aliran Sungai-nya meliputi hampir semua daerah Kabupaten Madina. Dapat dipastikan, apabila tambang tersebut jadi dibuka ke tahap produksi, maka yang paling dirugikan adalah masyarakat Madina, baik karena permasalahan kualitas dan kuantitas air, masalah yang menyangkut ecosystem services lainnya yang jelas akan berubah dengan kehadiran PT SM dan juga hampir dapat dipastikan bahwa akan ada peningkatan potensi terjadinya bencana industri di daerah ini.
Ada beberapa poin penting dari kedua kasus ini. Perbedaan pertama adalah: dalam Kasus Lapindo, Pemohon adalah warga korban. Sedangkan dalam kasus Sorikmas pemohonnya adalah korporasi. Perbedaan kedua adalah: dalam Kasus Lapindo permohonan tidak dikabulkan sementara dalam Kasus Sorikmas permohonan dikabulkan. Tetapi, meskipun secara sekilas apabila ditinjau dari sisi pemohon, kedua kasus ini tampaknya merupakan antitesa antara yang satu terhadap yang lainnya, pada akhirnya yang menang adalah kepentingan kapital yang hadir lewat korporasi. Sementara kepentingan korban dan bakal korban kalah dalam dua kasus ini.
Kedua kasus ini mungkin semakin memperteguh sebuah keyakinan di kalangan organisasi sosial, bahwa di Indonesia tidak ada gunanya menempuh jalur hukum ketika berhadapan dengan korporasi. Yang betul adalah perkuat basis massa di bawah dan serahkan keadilan sesuai dengan selera orang banyak.***
Bosman Batubara Alumnus Jurusan Teknik Geologi UGM, saat ini mahasiswa Interuniversity Programme in Water Resources Engineering, Katholieke Universiteit Leuven dan Vrije Universiteit Brussel, Belgia