APA BEDA Marissa Haque dan Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama? Banyak. Tentunya tidak perlu saya sebutkan lagi. Tapi, apa persamaannya? Mereka sama-sama mencalonkan diri menjadi wakil Gubernur (Banten dan Jakarta). Marissa dengan leluasa menyatakan tentang kakeknya, Siraj Ul Haque, yang berasal dari Uttar Pradesh, India Utara. Bahkan dalam salah satu blognya, dijelaskan bahwa kakeknya adalah orang India asli, sedangkan ayah mereka adalah orang Pakistan. Namun, ini tidak menjadi masalah. Marissa Haque tetap orang Indonesia. Bandingkan Marissa dengan Ahok. Berkali-kali Ahok menekankan bahwa dia adalah orang Indonesia. Seakan dia harus berjuang hanya untuk mendapat pengakuan untuk hal yang satu ini. PR yang tidak perlu dikerjakan oleh Marissa saat ia mencalonkan diri sebagai Wagub.
Beberapa kecaman tentang Ahok bertebaran, menyebut dia Cina dan mempertanyakan rasa nasionalismenya terhadap Indonesia. Apa sebenarnya arti kata ‘Cina’ di Indonesia? Kebanyakan menyebutkan, orang Cina pantas disebut demikian karena nenek moyang mereka berasal dari Cina, bukan dari Indonesia. Inilah yang tidak terjadi pada Marissa Haque, yang nenek moyangnya juga tidak berasal dari Indonesia. Tidak ada yang meragukan nasionalismenya, dengan menyebut dia sebagai orang Pakistan atau India. Padahal, jelas sekali dia menyatakan bahwa kakek dan ayahnya bukan orang Indonesia.
Inilah diskriminasi yang masih mengakar, dan seringkali tidak disadari di Indonesia. Padahal menurut penjelasan UU no. 12 tahun 2006, konsep Indonesia asli adalah orang yang menjadi warga negara sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri. Lalu, ketentuan Pasal 4 menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia dianggap Warga Negara Indonesia, sekalipun status Kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas. Jadi, mengidentifikasi Ahok sebagai ‘Cina’ sudah bisa dianggap melanggar hukum. Mengapa sebutan Cina ini begitu ditekankan? Padahal, ada banyak sekali migran-migran dari India dan Timur Tengah di Indonesia? Tapi, hanya Cina yang seolah berbeda.
Dan apa arti Cina itu sendiri? Cina yang mana? Sedangkan, garis perbatasan negara selalu berubah-ubah. Yang dinamakan Cina sekarang bukanlah lagi Cina yang dulu. Ada Taiwan dan RRT, yang keduanya disebut Cina, namun dengan ideologi yang cukup berbeda. Kalau kita menganggap bahwa suku Han adalah etnis Cina yang asli, etnis yang dianggap asli pun sudah banyak tercampur oleh darah Mongolia karena penjajahan bertubi-tubi. Sedangkan orang Cina yang tinggal di sebelah Barat, juga telah bercampur dengan mereka-mereka yang tinggal di perbatasan Kazahktan dan Afganistan. Karena itulah di bagian itu, banyak orang yang berhidung mancung dibanding yang lain. Bila kita menganggap murni sebagai yang lebih tua, sebenarnya sebagian nenek moyang penduduk Nusantara asalnya dari Yunan (Cina Selatan).
Beribu-ribu tahun yang lalu mereka telah bermigrasi dan menyebar di beberapa kepulauan di Indonesia. Jadi, bukankah mereka sebenarnya bisa dianggap sebagai Cina yang lebih murni daripada Cina di Negaranya yang telah tercampur dengan darah Mongolia? Antara Cina dan bukan Cina di Nusantara seharusnya tidak menjadi masalah, karena mayoritas dari mereka yang merasa pribumi sendiri adalah para migran. Kalau banyak orang akan ngotot bahwa identitas itu tergantung dari mana nenek moyang kita berasal, mungkin orang Indonesia akan berganti dengan orang Persia, orang Arab, orang India, dan orang Cina, karena yang nenek moyangnya berasal dari tempat yang disebut Indonesia akan jarang sekali, bila kita memang mau menelurusi ke belakang.
Namun, pemerintah penjajahan Belanda menginginkan adanya adu domba. Sejak abad ke-18, diadakan pemisahan antara mereka yang dianggap Cina dan mereka yang disebut pribumi. Hal ini dilanjutkan dengan adanya Staats Regeling, Staatsblad No. 1917-30, yang mengharuskan mereka mempunyai identitas sebagai Cina atau pribumi. Mereka yang merasa dan diharuskan menjadi Cina, ironisnya adalah manusia-manusia yang baru saja datang dari Negara Cina – yaitu mereka yang kebanyakan telah tercampur dengan Mongolia. Sedangkan, para pendatang dari Yunan, akhirnya harus disebut Indonesia pribumi. Tentu, dalam masa perang, seringkali ada kekacauan identitas. Perkawinan silang juga terjadi dari dulu. Plus, adanya perselingkuhan dan lain-lain, yang menambah tidak mungkinnya lagi, seseorang mempunyai etnis yang murni. Diskriminasi pun berlanjut. Dari kolom KTP sampai passport, stempel Cina masih melekat. Sekarang, stempel seperti ini telah ditiadakan, namun sebutan Cina masih bergentayangan. Tidak peduli, mereka lahir dan besar di Indonesia dan nenek moyangnya telah bergenerasi tinggal di Indonesia. Yang dianggap Cina seringkali tetaplah Cina.
Diskriminasi seperti ini bisa dianggap sepele, namun ketika kerusuhan Mei ’98 terjadi, kita bisa melihat, diskriminasi ini bukan hal yang remeh. Begitu juga dengan munculnya tokoh seperti Ahok sebagai calon gubernur. Masih saja yang dijadikan bahan untuk menjatuhkan dia adalah kecinaannya. Tentu saja diskriminasi bisa datang dari berbagai pihak. Mereka yang merasa ‘Cina,’ misalnya, melarang anaknya berpacaran dengan yang dianggap ‘pribumi.’ Memang, kebanyakan manusia menderita amnesia sejarah, sehingga mereka berpaku pada etnisitas yang bisa menimbulkan rasisme luar biasa tanpa disadari.
Saya telah tinggal di beberapa Negara, dan kebanyakan dari teman saya di luar negeri menyebut saya orang Indonesia, karena kebetulan saya lahir dan besar di Negara yang sekarang bernama Indonesia, dan berwarga negara Indonesia. Namun, ketika saya pulang, ke tempat saya dilahirkan, saya masih disebut ‘Cina.’ Sebutan yang sangat mengejutkan beberapa teman saya di Negara lain. Karena bagi mereka tempat kelahiran dan kewarganegaraan saya sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menyebut saya orang Indonesia. Anehnya, ketika saya mempertanyakan sebutan ‘Cina’ ini di Negara saya dilahirkan dan dibesarkan, justru di sinilah, masih banyak yang menuduh saya mengada-ada, tidak saja dari mereka yang dianggap ‘pribumi’ namun juga yang disebut ‘Cina.’ Rasisme yang ditanamkan oleh pemerintah kolonial Belanda masih mempunyai dampak luar biasa!***
Soe Tjen Marching, aktivis anti Diskriminasi
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Koran Tempo, 11/8/2012. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.