KETIKA kapitalisme bekerja meruyak meresapi sendi-sendi kehidupan dengan begitu solidnya, kita, kaum kiri, masih dihadapkan pada peliknya menghadapi pertentangan-pertentangan internal, saling sikut dan konfrontasi pemikiran, yang mengarah pada perpecahan dan fragmentasi perjuangan.
Ketika kita meyakini bahwa terdapat suatu ‘universalitas’ perjuangan bersama, di saat yang sama, kita berkubang dalam partikularitas pemikiran masing-masing yang menganggap pemikiran kiri yang lain sebagai suatu ancaman yang harus ‘dinetralisir.’ Partikularitas-partikularitas ini, meski masing-masing mendaku dirinya yang paling sanggup merepresentasikan universalitas emansipasi, nyatanya tidak membawa inspirasi bagi kelompok-kelompok yang dikecamnya untuk solider dan bersatu di bawah panji perjuangan yang sama. Masing-masing menebar daya pesona retoris untuk menarik massa dan pengikut, demi memperkuat blok dan grup yang dibangunnya.
Ini, sebagian, jelas merupakan habitude klasik dari Marxisme sendiri. Marxisme lahir dari negasi total atas warisan sosialisme-sosialisme sebelumnya yang dipandang Marx tidak ilmiah dan utopis, untuk kemudian berkulminasi pada sosialisme ilmiah, yang tak lain adalah pemikiran Marx sendiri. Dan dalam prosesnya kemudian, bahkan Marxisme sendiri — yang masih berusaha mengatasi sisa-sisa sosialisme pra-ilmiah dalam Internasional I — juga mengalami pertentangan-pertentangan internal yang memecah-belah kaum Marxis antara revisionisme, reformisme, sentrisme, ultra-kiri, sindikalisme, dan Bolshevik.
Negasi dan negasi-atas-negasi, yang dijelaskan Marx bekerja pada transformasi kapitalisme, ternyata juga bekerja pada Marxisme. Sebagai logika internal dari dialektika materialis, negasi dan negasi-atas-negasi mengandaikan pengakhiran atas suatu fase dan resolusi kontradiksi tertentu, yang bertransisi menuju fase baru yang lebih tinggi dan progresif. Dalam sejarah Marxisme, negasi dan negasi-atas-negasi ini terjadi juga pada konfrontasi pemikiran-pemikiran kiri. Diandaikan bahwa begitu suatu pemikiran dinegasikan dan diakhiri, akan lahir pemikiran kiri yang baru yang lebih progresif.
Faktanya, negasi dan negasi atas negasi dalam dalam sejarah pemikiran kiri, meninggalkan pengaruh buruk pada Marxisme sendiri. Sejarah gerakan kiri dilumuri pertentangan-pertentangan sampai ‘titik darah penghabisan’ antar berbagai kelompok yang bertikai, antara mereka yang dianggap setia dan mereka yang dicap khianat atau membelot, antara mereka yang meyakini diri setia pada aspirasi Marxis dan mereka yang dicap pseudo– atau anti – Marxis.
Pertentangan-pertentangan itu yang muncul kembali hari-hari ini, atau dimuncul-munculkan, melalui suatu protagonisasi atas suatu Marxisme yang otentik dan ‘murni’ melawan berbagai jenis varian Marxisme kontemporer, yang dituding menggerogoti aspirasi sejati Marxisme. Salah satu varian itu, dapat kita sebut di sini, adalah Marxisme yang berkembang dari pemikiran postmodern. Terdapat suatu upaya yang lebih bersifat retoris untuk mempurifikasi Marxisme dari pengaruh pemikiran postmodern. Upaya ini dilakukan tidak saja dengan gencar dan semangat, tapi sering kali membabi-buta dengan menggeneralisir semua khazanah pemikiran kontemporer hari ini yang masih berkembang sebagai ‘virus postmodern’ yang harus diperangi.
Kritik atas postmodernisme telah banyak dilakukan; hingga kini, bahkan tidak ada kesepakatan atas pengertian positif ‘postmodern’ di kalangan nama-nama pemikir yang disebut-sebut sebagai postmodern. Tetapi, bagi Marxisme ini, tidak ada ruang lagi bagi pemikiran postmodern untuk berkembang, dan dengan merangkum berbagai khazanah pemikiran kontemporer ke dalam satu identitas ‘postmodernisme,’ Marxisme ini sampai pada evaluasi bahwa Marxisme postmodernis bukanlah Marxisme, melainkan pseudo– atau anti-Marxisme yang bersembunyi di balik kedok Marxisme.
Tampil secara polemis, Marxis anti-postmodernis ini bertendensi melakukan negasi atas postmodernisme. Mereka lupa, atau sengaja diam-diam melupakan, bahwa perangkat metodologis yang memungkinkan kritik mereka atas postmodernisme itu sendiri bersifat ‘postmodern.’ Dengan mengikuti Alain Badiou, misalnya, kalangan Marxis ini begitu saja menerima asumsi bahwa seluruh pemikiran postmodern yang berbasis pada bahasa telah melahirkan suatu rezim representasi yang palsu. Dengan menolak representasi dan kembali kepada suatu presentasi murni yang terbebas dari bahasa, Marxisme ini mengklaim melahirkan suatu filsafat emansipasi yang tuntas. Secara teoretis mereka lupa bahwa Badiou adalah ‘anak sah’ dari filsafat postmodern itu sendiri, karena pemikirannya berkembang dari strukturalisme Althusserian.
Suatu hal yang tidak lucu, bahwa Marxis ini juga hendak menegasikan psikoanalisis dan signifikansinya dalam pemikiran kiri kontemporer. Psikoanalisis telah terbukti memberikan wawasan yang mengejutkan tentang pembentukan tatanan sosial dan subjektif, melalui penggeledahan atas rezim-rezim kekuasaan tak sadar yang bekerja terhadap tubuh dan ketidaksadaran. Karena itu, mereka berusaha menceraikan kembali ikatan yang telah dirintis oleh para Marxis-psikoanalis antara Marx dan Freud, dan hari ini, antara Marx dan Lacan, dengan menolak secara total psikoanalisis sebagai kolaborator potensial bagi Marxisme.
Negasi atas postmodernisme, atas psikoanalisis, serta pemikiran-pemikiran filosofis, sosiologis, dan budaya yang berkembang sebagai analisis atas situasi masyarakat dan subjek di dunia kapitalisme mutakhir ini, memperunyam jalan emansipasi yang mestinya dipanggul bersama oleh pemikiran-pemikiran kritis ini. Di sini, kita menemukan problem yang khas bagi pemikiran kiri: keengganan untuk memperlakukan Marxisme sebagai sesuatu yang harus terus-menerus disempurnakan dan direvisi.
Kritik Non-Negasi Dialektis
Marxisme bukan suatu sistem yang imun. Karena itu, memperlakukan Marxisme sebagai suatu sistem yang pada dirinya sudah memadai tidak saja menggelikan, tetapi juga secara teoretis ahistoris. Sepanjang sejarah, Marxisme justru hidup dan menunjukkan dinamikanya—meski terus-menerus diejek sebagai irrelevan atau dinubuatkan kematiannya oleh arus utama pemikiran filsafat dan ekonomi-politik liberal—karena pergesekannya dengan, dan kontribusi oleh, pemikiran-pemikiran lain yang awalnya asing bagi tradisi kiri. Masing-masing wilayah bahkan mengembangkan Marxisme-nya yang khas, karena persentuhan Marxisme dengan filsafat atau nilai-nilai kultural setempat.
Karena bukan suatu sistem yang imun, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Marxisme justru diperkaya oleh pemikiran-pemikiran lain yang semula asing bagi tradisi kiri. Namun, problemnya, bagaimana kita menghadapi pemikiran-pemikiran ini?
Bukan lagi dengan negasi (dalam pengertian epistemologis) seperti yang disorot di atas, melainkan dengan afirmasi atas ‘aksioma’ pokok dari pemikiran kiri itu sendiri, yaitu kritik atas kapitalisme dan emansipasi bagi skop universalitas terjauh yang mungkin dicapai untuk menciptakan tatanan baru yang non-kapitalistik dalam suatu rentang sosial-historis, politis, dan kultural tertentu.
Kritik atas kapitalisme merupakan ciri paling khas dari pemikiran kiri. Tanpa kritik atas kapitalisme, bagaimana sebuah pemikiran dapat disebut kiri? Tetapi, kritik tersebut tentu saja tidak pernah seragam, karena tingkat kapitalisme yang mempenetrasi tatanan sosial, kultural, ekonomi, dan politik suatu lingkup historis tidak seragam. Karena itu, kita dapat memahami mengapa dalam suatu konteks yang spesifik, kritik atas kapitalisme sering disuarakan dengan motif moral, karena bisa jadi kesadaran moral yang disuarakan oleh pemikiran kiri pada lingkungan historis tersebut lebih dominan membentuk kesadaran kritisnya. Meskipun kesadaran moral ini tidak cukup, sebagaimana telah diketahui bersama, kesadaran moral ini tidak perlu dinegasikan begitu saja, tetapi mesti dilengkapi dan disempurnakan dengan analisis dan kesadaran ekonomi-politik. Dengan demikian, Marxisme kontemporer dapat mengafirmasi suatu titik temu dengan pemikiran kiri yang berkembang dari arus kiri-tengah, sosialisme humanistis, sosialisme religius, dan seterusnya. Kesadaran moral harus dikritisi, jika ia kemudian menjadi satu-satunya faktor penjelas tanpa kesadaran ekonomi-politik sama sekali.
Kritik tersebut bukan berupa negasi dialektis dalam bentuknya yang klasik, yang mempersyaratkan suatu negasi totalistik atas pandangan kiri lain yang hendak dikritik, suatu negasi yang diistilahkan sering kali oleh sebagian Marxis sebagai destruksi teoretis dan dipahami sebagai penghancuran sampai ke akar-akarnya teori-teori atau konsepsi-konsepsi kiri yang tidak ortodoks atau tidak secara menyeluruh menganut à la lettre langkah-langkah metodis Marx. Melainkan, suatu kritik dalam bentuknya yang baru, dan murni berciri epistemologis, yaitu kritik atas kekurangmemadaian pandangan-pandangan kiri tertentu yang dikritik, sambil mengakui dan mengapresiasi secara positif sumbangan kiri tersebut dalam merekonstruksi sikap kita terhadap kapitalisme—dan tanpa, tentu saja, melupakan sumbangan tersebut sebagai suatu ‘hutang budi’ teoretis kita atasnya. Dalam hal ini, kita mesti memisahkan mana aspek dari Marxisme yang dibentuk secara personal oleh karakter-karakter tokohnya, seperti Marx dan Lenin, dengan masing-masing kecenderungan temperamen dan pembawaannya, yang tentu saja tidak mesti dijiplak dan diidolisasi secara heroik, dan mana aspek dari Marxisme yang merupakan problem teoretis dari pemikiran Marx dan Marxisme yang harus terus dielaborasi. Persoalan dari banyak lingkaran kiri adalah mencampuradukkan antara keduanya: kritik atas pemikiran kiri yang lain, yang diaksentuasi (diberi tekanan) dengan kritik atas pemikir kiri yang bersangkutan, yang mengakibatkan terjadinya perpecahan mendarah-daging di antara kubu-kubu pemikiran kiri.
Di sini, kritik dipahami secara epistemologis: sebagai problematisasi atas kekurangmemadaian pandangan-pandangan kiri yang akan dikritik, dalam arti: menempatkan pandangan atau teori kiri yang dikritik sebagai sesuatu yang mungkin berguna untuk analisis yang hendak kita angkat, tapi tidak memadai dan harus dilengkapi, entah secara radikal atau parsial. Dalam kritik dan kritik atas kritik itu, suatu kritik, agar dapat afirmatif terhadap suatu titik temu bersama di antara pemikiran-pemikiran kiri dan terhadap suatu kemungkinan solidaritas pemikiran melalui titik itu, mesti mengakui kontinuitasnya dengan pemikiran kiri sebelumnya, sehingga memberikan titik sambung antara tradisi-tradisi pemikiran kiri. Di sisi lain, agar kritik tersebut tidak kehilangan kemendasarannya sebagai kritik, ia mesti membuka suatu titik sengketa (disensus) yang bersifat hipotetis dan tidak permanen, agar terjadi kebaruan dan diskontinuitas dengan pandangan-pandangan kiri yang hendak dikritik.
Dan bersamaan dengan itu, pada wilayah praksis, tidak sedikit pemikiran yang kritis terhadap kapitalisme justru berkembang dari luar tradisi Marxisme, seperti nilai-nilai kultural yang dianut oleh masyarakat tertentu. Pemikiran ini, misalnya yang bersifat ekologis (perlawanan melawanan kapitalisme agraria dan perhutanan melalui perjuangan lingkungan, seperti di Kamboja), tentu saja bukan kiri per se dan tidak mesti bersifat Marxis. Tetapi, usaha emansipasi yang mereka lakukan untuk melepaskan diri dari cengkeraman kapitalisme, meski tidak seterorganisir gerakan kiri pada umumnya, sering kali lebih efektif dan karena itu harus diapresiasi oleh pemikiran kiri sebagai suatu perluasan dari universalitas emansipasi. Di sini, sudah saatnya kita tidak lagi mengotak-kotakkan secara diskriminatif antara kiri politik dan kiri kultural, antara Marxisme Eropa dan Marxisme postkolonial, dan seterusnya. Jika sebagian Marxis masih memandang sinis pemikiran Marxis dari tradisi postmodernis, tidakkah mereka lupa bahwa postmodernisme—juga psikoananalisis—telah berjasa melahirkan suatu Marxisme postkolonial yang justru efektif untuk menentang hegemoni rezim kapitalis di negara-negara berkembang? Memang, Marxisme kita terlalu meng-Eropa, sehingga ketika (sebagian tradisi) postmodernisme di Eropa telah hanyut menjadi simbol kekalahan atas kapitalisme post-Fordis, kita mengira bahwa kondisinya selalu sama dengan yang terjadi di sini.
Memimpikan bersatunya pemikiran kiri—judul di atas bukan suatu utopia atau lamunan kosong di siang bolong, melainkan karena emansipasi adalah suatu ‘himbauan’ (appèl) untuk menemukan suatu titik temu. Dalam arti ini, himbauan Marx agar kaum buruh bersatu mestinya juga ditafsirkan sebagai himbauan agar para pemikir kiri, yang peduli dengan buruh dan carut-marut kapitalisme, bersatu dan menyingkirkan ambisi untuk menjadi satu-satunya juru bicara di Istana Kepresidenan Marxisme.***
Muhammad Al-Fayyadl, alumnus filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta