‘Kita kalah, Ma,’ bisikku
‘Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.’ (Pramoedya)
MUNGKIN begini: melawan tak selalu menang. Teguh dalam melawan itu yang penting. Dan, melawan tak melulu dengan palu atau arit. Banyak ragam. Lorca memberikan cermin itu.
Bagi kaum ultra kiri, Lorca bisa saja dianggap najis. Sebabnya? Lorca berdiri rapat dengan kaum borjuis menghadang fasisme Jenderal Fransisco Franco. Persis yang dilakukan Stalin ketika membendung Hitler. Tapi, kaum ultra kiri tak pernah menjejak di bumi. Mereka terlalu sibuk dalam andaian.
Di Spanyol, fasisme sungguh-sungguh brutal. Simak kejadian ini: Tepat 6 Agustus 1936, Presiden klub sepakbola Barcelona, Joseph Sunol, tewas dibantai oleh tentara Falange—pasukan pendukung Sang Jenderal. Lebih gila lagi, tahun 1938, markas Barcelona FC dibombardir dari udara. Sepele alasannya: Jenderal Franco pendukung berat Real Madrid.
Jenderal Franco merayah demokrasi di Spanyol.
Penyair Spanyol, Federico Garcia Lorca, ada dalam pusaran itu. Tak bisa menepi. Ia bukan penyair buta politik. Ia memilih Kiri. Tapi itu tak mudah. Ada proses panjang sampai ke situ. Angkatan 27 ikut membentuknya; sebuah kelompok sastrawan avant garde. Dalam angkatan ini: sastra berpihak, tak hanya menghibur.
Dari tradisi sastra rakyat Spanyol, Lorca menulis puisinya. Ia berhulu di sana. Lantas berbuah puisi-puisi epik; seperti nyanyian rakyat Spanyol. Lorca mengajak orang benyanyi seperti pengembara berdendang di punggung keledai, atau gadis-gadis yang bersenandung tentang lelaki pujaan sambil mencuci di tepi kali, atau lagu para petani yang melantun sembari memangkas padi yang matang.
Sajak-sajak Lorca bercerita tentang agama, legenda, cerita anak, dongeng, cinta dan tragedi. Puisinya diracik dari campuran kebiasaan-kebiasaan rakyat dan unsur modern. Dan, ramuan Lorca dipersembahkan bagi siapa saja yang terpinggirkan.
Dalam Romancero Gitano (Romansa Kaum Gitana—salah satu kumpulan puisi Lorca), pilihan itu tak dapat ditampik. Lorca tak goncang. Memilih didekat bangsa pengembara Zanggi yang hidupnya digelanyuti mendung. Mereka dipaku di pinggir kota Granada dan Sevilla. Sebelumnya, para pengembara itu terbiasa bebas. Membaur dengan angin dan malam, serta desah pucuk-pucuk daun ara. Mereka berjalan mengikuti arah rasi bintang. Tapi, keberadaban merampas kebebasan itu. Bangsa pengembara itu dipaksa menetap. Tapi, mereka tak pernah bisa lepas dari dekapan rasa rindu akan kebebasan. Tapi, la Guardia Civil, polisi keamanan Spanyol, selalu merampas detak rindu itu:
‘Punya tengkorak timah hitam
sebab mereka itu tak menangis.’ (Romance Of The Spanish Civil Guard)
Itulah la Guardia Civil. Para penunggang kuda itu. Persis seperti sepasukan zombie. Muka mereka durkarsa. Kepala mereka dari timah hitam. Tak punya belas kasihan sebab tak bisa mengaduh. Tanpa tanya siap meringkus pengembara Zanggi. Antonito el Camborio—tokoh pengembara Zanggi yang berlawan—dibantai oleh para penunggang kuda tanpa air mata itu. Empat belati menancap di tubuhnya:
‘Mandi di darah lawan
desisnya memerah karmen
tapi ada empat belati
dan dia menyerah mesti.’ (Matinya Antonito el Camborio)
Sebagai penyair dan dramawan, Lorca tak pernah diam dalam kamar mencipta karya. Ia selalu berkeliling. Seperti bangsa Zanggi, ia mengembara. Mereguk dahaga dari rakyat Spanyol. Kelompok teaternya, La Barraca, menjelajahi kota dan dusun. Ia menghibur dan sekaligus mengajak penontonnya berpikir berani. Ini yang membuat pengaruh Lorca menyebar.
Sampai fasisme datang menyerbu.
Sebagai penganut sastra avant garde, ia musuh bagi Jenderal Franco—persis Wiji Thukul menjadi momok bagi Jenderal Soeharto.
Hari-hari sulit ketika fasisme menjarah Spanyol. Teror muncul subuh, senja dan malam hari. Pendukung Republik diburu-buru. Tentara Falange masuk dari pintu ke pintu: memperkosa dan membunuh. Pentolan-pentolan serikat buruh ditangkap dan dibantai di jalanan.
Kaum Republiken menyebutnya pertarungan antara tirani dan demokrasi, atau fasisme dan kebebasan. Mereka melawan. Pablo Neruda—sahabat Lorca—menggoreskan dalam puisinya: para pendukung Republik seperti roti terbuat dari abu dan perlawanan. Ia meyakinkan ibu-ibu para pejuang itu kalau anak-anak mereka tak pernah punah; pemuda-pemuda itu hanya berdiri di tengah mesiu sebagai sumbu yang terbakar. Tak pernah lengser dari sana.
Kebalikannya, pendukung fasisme dengan yakin mendaku diri sebagai pasukan suci. Tugas suci itu: membasmi gerombolan merah, kaum anarkis dan pemuja demokrasi liberal. Menganggap diri sedang menyelamatkan peradaban Katolik dari gangguan Dajjal. Sedari awal, Neruda sudah mengingatkan kaum fasis: setiap luka Spanyol akan melahirkan Spanyol baru. Dan, dari setiap orang yang mati bergelimpangan akan berubah menjadi sepucuk senapan. Ada benarnya Neruda: perlawanan tak pernah sampai tepi.
Posisi Lorca tak gampang. Jika mengikuti kaum ultra kiri, tentu ia akan sibuk dengan setumpuk teori: borjuasi itu jahat, tak pantas didukung. Andaikan kita di tempat Lorca, ketika seperti kata Neruda—’rimba tercelup darah yang membunuh putra-putramu’—masih pentingkah istilah: revisionis, proletar, perjuangan kelas dan opurtunis (seperti yang sering ditembangkan kaum ultra kiri)? Tapi Lorca tak hirau dengan itu: ia memihak Republik.
1936, saat fasisme mulai meletuskan tembakannya, Lorca meninggalkan Madrid. Ia pulang ke kota kelahirannya: Granada. Sesampainya di sana, ia dan iparnya—wali kota sosialis Granada—ditangkap. Tak ada pengadilan. Lorca ditembak mati. Saat itu 19 Agustus 1936. Jasadnya dilempar ke dalam sebuah kubur tanpa nisan antara Víznar dan Alfacar—tak jauh dari Granada. Karya-karya Lorca dilarang, sejak itu. Lama. Sampai Franco tergelimpang dalam kubur.
Kini, ada patung Lorca di Plaza de Santa Ana, Madrid. Konon, setiap hari ada orang Kiri mengikatkan saputangan di leher patung itu. Dan, seseorang dari golongan Kanan datang untuk melepasnya. Rupanya, masih ada yang tak rela Lorca menjadi Kiri.
Tapi, benar dugaan Neruda: Kiri tak bisa disingkirkan oleh Jenderal Franco dari tanah Andalusia. Meraka mencungul dari luka-luka yang terbahak. Dan, Lorca masih berdiri tegak di sana membaca penggalan sajak Wiji Thukul:
‘penjara sekalipun
tak bakal mampu
mendidikku jadi patuh.’
Lereng Merapi. 20.06.2012