Kebebasan (Freedom) dan Ketidakbebasan (Determination) Dalam Marxisme

Print Friendly, PDF & Email

Tanggapan terhadap  Rianne Subijanto

BARANGKALI, tidak ada tema paling kontroversial dan membentuk blok pemikiran dan politik yang paling bertentangan dalam tradisi Marxis, selain tema kebebasan dan ketidakbebasan manusia ini, yang akarnya menjulur dalam ke perdebatan soal Basis dan Superstruktur.

Menariknya, kontroversi ini bahkan telah muncul sejak ketika Karl Marx dan Friedrich Engels masih hidup.[1] Engels, misalnya, dalam surat kepada sahabatnya Conrad Smith di Berlin, telah mempersoalkan penafsiran para penulis muda Jerman tentang konsepsi materialisme historis. Para penulis itu, menurut Engels, terlalu menekankan aspek material sebagai primum agents (agen utama), sementara ruang ideologi bersifat sekunder. Dalam surat itu juga, Engels lantas mengutip komentar Marx terhadap kalangan Marxis Perancis, ‘All I know is that I am not a Marxis.’

Pangkal soal pertengkaran mengenai tema ini, memang bersumber dari karya-karya Marx yang tidak utuh menyangkut soal metodologi. Setelah karyanya bersama Engels  The German Ideologi, walaupun Marx telah berjanji untuk menuliskan secara utuh tentang topik metodologi, namun ia kemudian tenggelam dalam studi-studi ekonomi-politik hingga kematian menjemputnya.[2] Sementara Engels, berhadapan dengan pertumbuhan pesat gerakan buruh (partai buruh dan serikat buruh) di Jerman, lebih banyak berurusan dengan pendidikan kader-kader buruh agar mereka mampu menangani masalah-masalah praktis politik sehari-hari. Ketika ia mesti berhadapan dengan pemimpin-pemimpin baru serikat buruh yang tidak begitu terlatih secara intelektual, ia harus mengambil jalan paling sederhana untuk menjelaskan tentang apa itu Marxisme. Dan ini bukan pekerjaan mudah, sehingga walaupun Engels berusaha menjabarkan secara teliti dan sabar soal ini, seperti dalam karya-karya awalnya bersama Marx, ia akhirnya cenderung menekankan aspek ekonomi ketimbang aspek dialektika dalam menjelaskan tentang materialisme historis.[3]

Inti perdebatannya berpusat pada pertanyaan: mana yang utama dan menentukan ‘basis (ekonomi) atau superstruktur (hukum, politik, ideologi)?’ Berhadapan dengan pertanyaan ini,  kalangan Marxis terbelah dalam dua kubu, yakni mereka yang menyebut dirinya sebagai ‘Open Marxism’ di satu pihak, berhadapan dengan kelompok yang disebut ‘Closed Marxism,’ di pihak lain.[4] Wujud dari konflik ini juga tampak pada pembelahan hidup Marx atas dua periode: Marx Muda, Marx yang humanis, yang muncul dalam karya seperti Economic and Philosophic Manuscript of 1844, serta Marx Tua, Marx yang Politis-sosiologis, yang muncul dalam karyanya Capital. Dalam kata-kata George Lichtheim, ‘Marx Muda itulah Marx yang sejati, sementara Marx Tua adalah Marx yang lebih peduli pada kemajuan ilmu yang keberadaannya independen dari kehendak manusia.’[5]

Bagi kalangan ‘Open Marxism’ atau ‘Marxisme Dialektik /Marxisme Humanis,’ aspek superstruktur (legal dan ideologi) adalah yang utama dan menentukan ketimbang aspek basis (ekonomi). Kees van der Pijl mengatakan, kelompok idealisme ini melihat bahwa seluruh aspek dalam kenyataan berasal dari substansi, pikiran, dan kekuatan mental (spirit). Ditambahkan Perry Anderson, kelompok ini terlalu melebih-lebihkan isu-isu sekunder seperti ideologi, filsafat, politik, dan budaya, dan akibatnya, tidak memberikan perhatian yang memadai pada aspek ekonomi-politik.[6] Sementara di sisi seberangnya, kalangan ‘Closed Marxism, atau ’Materialisme Mekanis’ percaya bahwa aspek basis (ekonomi) adalah yang utama dan menentukan, bahwa gagasan adalah manifestasi dari kekuatan-kekuatan fisikal (materi) dan perubahan kuantitatif dalam kekuatan produksi pada akhirnya menghasilkan perubahan yang kualitatif. ‘Lebih berbahaya lagi, kelompok ini kemudian mereduksi Marxisme ke dalam ilmu tunggal: ekonomi-politik dan selanjutnya mentransformasikan Marxisme ke dalam filsafat alam.’[7]  Dengan mendefinisikan materialisme historis sebagai ekonomisme, maka konflik-konflik yang muncul ‘di luar’ perkembangan kesadaran kelas (seperti konflik ras, atau jender) secara politik di anggap sebagai konflik kelas dua (subordinate), atau merupakan bagian dari ‘kesadaran palsu.’[8]

Kebebasan dan determinisme menurut Marx-Engels

Bagi kelompok pertama, teks Marx yang menjadi acuan utamanya adalah Preface untuk bukunya A Contribution to the Critique of Political Economy:

Kesimpulan umum yang aku temukan, yang kemudian secara prinsip memandu studi-studiku bisa diringkas sebagai berikut. Dalam produksi sosial dari keberadaannya, manusia tak terelakkan masuk ke dalam hubungan tertentu, yang independen dari keinginannya, yakni hubungan produksi yang sesuai dengan tahapan tertentu perkembangan kekuatan produksi materialnya. Totalitas hubungan produksi  ini adalah struktur ekonomi masyarakat, fondasi nyata, yang di atasnya muncul superstruktur legal dan politik dan  selanjutnya berkorespondensi dengan bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Corak produksi kehidupan material merupakan syarat dari proses umum kehidupan sosial, politik dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tapi keberadaan sosialnyalah yang menentukan kesadarannya…… Perubahan dalam fondasi ekonomi pada akhirnya, cepat atau lambat, menyebabkan terjadinya transformasi besar dan menyeluruh pada superstruktur.[9]

Berdasarkan atas teksini, Gerard A. Cohen kemudian memerincinya dalam enam point berikut:

1.  …..hubungan produksi (relation of production ) … berkaitan dengan tahapan perkembangan yang pasti …… kekuatan produksi (forces of production) material.

2. Pada tahap perkembangan tertentu tersebut, kekuatan-kekuatan produksi  material dalam masyarakat mengalami konflik dengan hubungan produksi yang ada … yang mana terus berlangsung hingga kini.

3. Dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan produksi tersebut, hubungan ini kemudian membelenggu atau menghambat perkembangan kekuatan produksi tersebut.

4. Lalu dimulailah epos revolusi sosial (yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi).

5. Tidak ada formasi sosial yang hancur sebelum seluruh kekuatan produktif yang ada mengalami perkembangan….

6.  …. baru, hubungan sosial produksi yang lebih maju tidak pernah akan muncul sebelum kondisi-kondisi material dari keberadaannya mengalami kematangan dalam struktur sosial lama itu sendiri.[10]

Dari definisi ini, Cohen menolak jika urutan-urutan yang dikatakan Marx ini berkorespondensi secara simetris (symmetrically), maksudnya, ‘jika x berkorespondensi dengan y, maka y  berkorespondensi dengan x, yang berarti, jika hubungan produksi berkorespondensi dengan kekuatan produksi, maka kekuatan produksi mesti berkorespondensi dengan hubungan produksi.’ Bagi Cohen penafsiran seperti ini adalah keliru,[11]  karena korespondensi yang dikatakan Marx itu lebih bersifat satu arah (unidirectional), dimana perubahan dalam hubungan produksi secara langsung ditentukan oleh perubahan dalam kekuatan produksi.

Untuk memperkuat argumennya tentang korespondensi yang bersifat satu arah antara hubungan dan kekuatan produksi, Cohen mengutip pernyataan Marx dalam karya polemiknya terhadap J. Proudhon Poverty of Philosophy, ‘hubungan produksi dimana kekuatan-kekuatan produktif berkembang ….. berhubungan dengan perkembangan yang pasti dari manusia dan kekuatan-kekuatan produktif mereka……’[12]  Cohen kemudian menyimpulkan, karena ‘hubungan itu bersifat searah, maka kalimat selanjutnya menjadi, ‘…. dan …. perubahan dalam kekuatan-kekuatan produktif manusia, dengan sendirinya menyebabkan terjadinya perubahan dalam hubungan produksinya.’[13]  Contoh sederhananya, perkembangan alat produksi dari mesin ketik ke komputer mensyaratkan pengetahuan baru pada manusia yang sebelumnya hanya bisa mengoperasikan mesin ketik agar ia bisa mengoperasikan komputer tersebut. Begitu ia mulai mengoperasikan komputer itu, dengan sendirinya ia harus mengubah cara berpikir dan bekerjanya dan dengan itu ia mengubah pola hubungan sosialnya. Dengan logika seperti ini, maka kesimpulan Marx dalam Poverty of Philosophy berikut ini, bagi Cohen adalah hal yang alamiah:

Hubungan sosial itu melekat erat dengan kekuatan produksi. Dalam menerima kekuatan-kekuatan produktif yang baru, manusia kemudian mengubah corak produksinya (mode of production); ketika mengubah corak produksinya tersebut, yakni mengubah cara mereka untuk menafkahi hidupnya, mereka mengubah seluruh hubungan sosialnya. Kerajinan-tangan (The hand-mill) memberimu masyarakat feudal dengan tuan feodal; mesin uap (steam-mill) memberimu masyarakat kapitalis industrial.[14]

Tentu saja, seperti yang sudah disebutkan di atas, penafsiran Cohen dan kelompok ‘Closed Marxism’ ini tak pelak ditolak mentah-mentah oleh kelompok ‘Open Marxism.’ Mereka menuduh Cohen telah membuat metodologi dialektika Marx menjadi determinis-teknologis, sehingga manusia menjadi mahluk yang fatalis. Jika pada agama fatalisme manusia disebabkan oleh ketentuan Tuhan (takdir baik-buruk) terhadap manusia sejak awal hingga akhir, maka fatalisme Cohen dan kalangan Marxis-mekanis disebabkan oleh kekuatan-kekuatan produksi.

Menurut kalangan Open Marxism, tidak sedikit teks-teks Marx dan Engels yang memberikan porsi yang sangat besar pada aspek kebebasan (freedom) manusia. Misalnya, dalam karya awal mereka The Holy Family, Marx and Engels dengan tegas menyebutkan tentang pentingnya elemen kesadaran aktif manusia ini:

Sejarah bukanlah apa-apa; ia tidak memiliki kekayaan berlimpah; ia tidak  terlibat dalam peperangan. Adalah manusia, manusia yang nyata, yang hidup, yang melakukan itu semua, yang memiliki benda-benda dan berperang. Bukanlah ‘sejarah’ yang menggunakan manusia sebagai sarana untuk mencapai – seolah-olah ia adalah seorang individu – tujuannya sendiri. Sejarah bukanlah apa-apa, melainkan aktivitas manusia untuk mengejar tujuan akhir mereka.[15]

Sementara dalam Capital, yang dianggap sebagai perlambang Marx Tua, aspek kesadaran ini muncul dalam kutipan, ‘Laba-laba beroperasi layaknya seorang tukang tenun dan lebah sanggup membuat malu para arsitek melalui hasil karyanya berupa sarang madu. Tetapi, apa yang membedakan seorang arsitek terburuk dengan lebah terbaik adalah sang arsitek  sebelumnya telah membangun rangka dalam pikirannya sebelum ia mengkonstruksinya dalam bentuk lilin (wax).’[16] Masih dalam halaman yang sama, Marx kemudian mengatakan, ‘manusia bukan hanya mempengaruhi perubahan bentuk dari alam material; ia juga merealisasikan (verwirklicht) tujuannya sendiri dalam material tersebut.’

Menolak bukan mendamaikan

Kalau cermati teks-teks yang menjadi sumber perdebatan tiada akhir ini, semuanya memiliki dasar yang kuat. Tapi akibatnya, pedebatan ini tak akan pernah usai. Pada tingkat pemikiran, perdebatan ini memang telah melahirkan sejumlah karya-karya akademik yang jenius dan sangat berpengaruh, tapi dalam praktek politik perdebatan ini juga berlumur darah.

Itu sebabnya, berbagai kalangan berupaya untuk mendamaikan tegangan antara ‘basis vs superstruktur’/‘kebebasan dan ketidakbebasan’ ini. Sebutlah, misalnya Jean Paul Sartre yang pendapatnya telah diulas dengan baik oleh Rianne. Tokoh lain yang coba mendamaikan ketegangan ini adalah Louis Althusser, yang memperkenalkan konsep ‘overdeterminasi,’ dimana antara basis dan superstruktur terjadi hubungan saling pengaruh dengan ekonomi (corak produksi) sebagai penentu akhirnya.[17] Raymond Williams bisa  dimasukkan dalam kelompok ini melalui pernyataannya, ‘Marxisme tanpa beberapa konsep determinisme tidak memiliki dampak yang bermanfaat, sebaliknya, Marxisme yang terlalu banyak mengandung konsep determinisme saat ini secara radikal telah mengalami kelumpuhan.’[18]

Lagi-lagi, usaha mendamaikan ketegangan ini memiliki rujukan yang sangat kuat pada karya-karya Marx dan Engels. Marx, misalnya, dalam bukunya The 18 Brumaire of Louis Bonaparte, mengatakan, ‘Manusia membuat sejarahnya sendiri, tapi mereka tidak membuat sejarahnya itu berdasarkan apa yang mereka inginkan; mereka tidak membuatnya di bawah kondisi-kondisi yang mereka tentukan sendiri, tetapi di bawah kondisi-kondisi yang secara langsung mereka temui, terima, dan warisi dari masa lalu.’[19] Dalam Tesis III Tentang Feuerbach, saling pengaruh antara basis dan superstruktur itu mendapat penegasan, ‘.. .. manusia juga mengubah keadaannya dan karena itu adalah penting untuk mendidik si pendidik.’[20] Sementara dari Engels, yang menjadi dasar dari konsep ‘overdeterminasi’ Althusser, muncul dalam suratnya kepada Joseph Bloch, 21 September 1890,

Menurut konsepsi materialis tentang sejarah, elemen penentu terakhir dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi kehidupan nyata. Lebih dari ini, baik Marx maupun saya, tidak pernah menegaskannya. Dengan demikian, jika seseorang memelintirnya dengan mengatakan bahwa elemen ekonomi adalah satu-satunya penentu, maka ia telah mentransformasikan proposisi kami ke dalam frase yang tak bermakna, abstrak, dan tidak masuk akal. Situasi ekonomi adalah basis, namun beberapa elemen dari superstruktur – bentuk-bentuk politik dari perjuangan kelas dan hasil-hasilnya, untuk diketahui: konstitusi yang dibentuk setelah kemenangan dalam pertempuran kelas yang sukses, dsb, bentuk-bentuk yuridis, dan bahkan refleksi-refleksi dari seluruh perjuangan aktual dalam otak para partisipan, politik, hukum, teori filsafat, pandangan agama dan perkembangannya lebih lanjut menjadi dogma – juga bagaimana menguji pengaruhnya terhadap wacana perjuangan yang historis, di beberapa kasus menentukan bentuk ekonominya. Di sini terjadi interaksi antara elemen-elemen tersebut (basis dan superstruktur), yang mana, di tengah-tengah kejadian yang tak pernah usai (seperti, hal-hal dan peristiwa-peristiwa dimana interkoneksinya begitu jauh atau sulit dibuktikan, sehingga kita menganggapnya tidak ada atau bisa diabaikan), gerak ekonomi pada akhirnya menegaskan sendiri kebutuhannya. Jika tidak, penerapan teori pada setiap periode sejarah akan lebih mudah ketimbang jawaban hitungan 1 + 1 = 2.[21]

Problem yang muncul dari usaha mendamaikan basis dan superstruktur ini memiliki pandangan dasar yang senada dengan kalangan Marxis-mekanis maupun Marxis-dialektis, yakni mengandaikan bahwa Marx memang membagi secara ketat kedua domain tersebut, atau kedua domain itu memang eksis sebagai dua blok yang terpisah. Pengandaian akan dua blok yang terpisah inilah yang menyebabkan munculnya kelompok Post-Marxis, misalnya. yang menolak tesis-tesis dasar Marx bahwa perjuangan kelas telah usang dan kelas buruh bukan lagi kelas yang revolusioner, karena sejarah membuktikan bahwa sangat sedikit fakta yang menunjukkan peran revolusioner kelas buruh. Atau kelompok Rational Choice Marxism (Analitycal Marxism), yang terjatuh pada jurang positivisme dan fatalisme.

Pengandaian akan adanya dua blok (blok basis dan blok superstruktur) inilah yang kemudian ditolak oleh generasi baru intelektual Marxis seperti Paul Blackledge, Ellen Meiksins Wood, dan Bertell Olman. Menurut Blackledge, Preface Marx yang menjadi dasar dari argumentasi Cohen di atas sebenarnya ditulis dalam masa-masa ketika sensor pemerintah sangat ketat, sehingga memaksa Marx untuk meminimalisir sisi revolusioner dari pemikirannya. Latar belakang historis inilah, menurut Blackledge, yang gagal ditangkap Cohen, sehingga mengakibatkan Preface dengan sistematis ditafsirkan secara fatalistik.[22] Bagi Blakclegde, Marx disepanjang hidupnya secara tegas selalu mengatakan bahwa produksi harus dipahami sebagai sebuah proses sejarah, sosial, dan politik sekaligus, dimana produksi merupakan pusat dari seluruh totalitas sosial. Kalaupun Marx berbicara soal ekonomi, maka bagi Blackledge, meminjam argumentasi Lucio Colleti, ia tidak pernah memaksudkan kategori ekonomi itu sebagai murni ekonomi, karena seluruh konsepsinya mencakup baik kategori ekonomi maupun sosiologis.[23]

Sementara bagi Wood, apa yang Marx sebut sebagai Basis dan Superstruktur tak lebih sebagai metafora. Pada intinya, Marx tidak pernah memisahkan keduanya, sehingga itu antara basis dan superstruktur tidak bisa dilihat sebagai dua kompartemen atau ‘wilayah’ yang dpisahkan oleh ruang. Sebagai alternatifnya, Wood mengatakan bahwa struktur ‘obyektif’ basis ekonomi, di satu sisi, dan bentuk-bentuk politik, hukum, dan sosial, di sisi lain, harus dilihat sebagai bentuk dan struktur hubungan sosial yang berkelanjutan dalam sebuah momen produksi. Dengan demikian, bagi Wood, corak produksi (mode of production) tidak bisa secara sederhana dimaknai sebagai teknologi tapi lebih sebagai sebuah organisasi sosial dari aktivitas produksi, dan modus eksploitasi (mode of exploitation) merupakan sebuah hubungan kekuasaan.[24]

Untuk menyederhanakan argumentasi Wood ini, saya ingin memberikan ilustrasi berikut: Dalam proses produksi kapitalis, hubungan kelas antara borjuasi (kapitalis) dan proletariat (kelas pekerja),  dimulai dari proses dimana borjuasi datang ke pasar untuk membeli tenaga kerja buruh pada harga tertentu. Di sisi lain, sejak buruh tidak lagi memiliki alat-alat produksinya, maka untuk bisa hidup dan meningkatkan taraf hidupnya, mereka pergi ke pasar kerja untuk menjual tenaganya kepada borjuasi sebagai pemilik alat-alat produksi. Proses ini berakhir ketika terjadi kesepakatan. Dengan memiliki tenaga kerja buruh yang dibelinya di pasar kerja, borjuasi berhak menggunakan, mengatur, dan mengontrol tenaga kerja  tersebut untuk menghasilkan komoditi yang akan dipertukarkan di pasar untuk tujuan akumulai nilai lebih. Tapi proses eksploitasi ini tidak melulu hubungan ekonomi seperti ini, melainkan secara inheren melibatkan faktor kekuasaan, baik melalui penggunaan alat-alat kekerasan negara (intimidasi, pemindahan paksa penduduk dari tanahnya, pembubaran paksa demonstrasi buruh/tani, pemenjaraan dan pembunuhan para aktivis); maupun melalui serangkaian penerapan undang-undang yang merugikan kelas pekerja (privatisasi, liberalisasi, pasar kerja fleksibel, outsourcing, kondisi kerja yang buruk); hingga indoktrinasi ideologi kelas dominan (hubungan industrial Pancasila) terhadap kelas buruh. Tujuannya adalah menundukkan kelas buruh di hadapan kapital agar hubungan produksi sosial kapitalis ini tetap langgeng.

Adapun Bertell Ollman memberikan pendasaran filosofis pada argumentasi Blackledge dan Wood. Menurut Ollman, ciri utama filsafat dialektika Marx adalah apa yang disebutnya ‘filsafat hubungan internal (philosophy of internal relations),’  yakni melihat keseluruhan tersusun dari bagian-bagian yang saling berhubungan, – dimana interaksi kejadian-kejadian, proses, dan kondisi-kondisi dari dunia nyata – bisa diobservasi dari setiap bagian.[25] Dalam bukunya yang lain, Dance of the Dialectic, Ollman mendefinisikan filsafat hubungan internal, yakni  melihat keseluruhan sebagai sesuatu yang telah terberi, sehingga dengan demikian interkoneksi dan perubahan yang membentuk keseluruhan tidak dilihat sebagai bentuk yang terpisah dari apapun….[26] Melalui filsafat ini, Ollman mengusulkan agar dalam melihat kenyataan, kita sebaiknya menggalkan kesepakatan bersama (common sense) mengenai gagasan  tentang ‘benda-benda/things’ (sebagai sesuatu yang memiliki sejarah dan berhubungan secara eksternal dengan benda-benda lainnya), dan menggantinya dengan gagasan tentang ‘proses’ (yang mengandung sejarah dan masa depan yang mungkin) dan  ‘hubungan’ (yang terdiri atas bagian yang melekat dengan hubungan lainnya).

Selanjutnya, Ollman mengatakan bahwa hubungan tersebut terdiri atas empat bentuk: pertama, keseluruhan membentuk bagian-bagian  yang menyebabkan mereka lebih fungsional dalam keseluruhan tertentu; kedua, keseluruhan memberi makna dan kepentingan yang relatif pada setiap bagian dalam pengertian fungsinya tersebut: ketiga, keseluruhan mengekspresikan dirinya melalui bagian-bagian, sehingga bagian tersebut bisa juga diperlakukan sebagai bentuk dari keseluruhan; dan keempat, hubungan di antara bagian-bagian, sebagaimana disebutkan di atas,  membentuk kontur dan makna pada keseluruhan, mentransformasikannya ke dalam sistem secara terus-menerus dengan sejarah, hasil, dan dampaknya.[27]

Demikianlah, melalui  filsafat hubungan internal ini, maka pengandaian bahwa basis dan superstruktur eksis dan membentuk dua blok yang berhubungan secara eksternal (yang satu menentukan yang lain), adalah keliru dan karena itu harus ditolak. Yang sesungguhnya terjadi adalah ekonomi, politik, hukum, dan ideologi itu merupakan sebuah kesatuan yang organik. Dalam terang kesimpulan inilah, barulah kita bisa memahami frasa Marx dalam The 18th Brumaire of Louis Bonaparte,

Manusia membuat sejarahnya sendiri, tapi mereka tidak membuat sejarahnya itu berdasarkan apa yang mereka inginkan; mereka tidak membuatnya di bawah kondisi-kondisi yang mereka tentukan sendiri, tetapi di bawah kondisi-kondisi yang secara langsung mereka temui, terima, dan warisi dari masa lalu.***

Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)


[1] Lihat, misalnya, Pengantar Marx untuk edisi kedua Capital Vol. I, Penguin Books, 1990, p.94-103. Dalam pengantar ini, Marx menunjukkan bagaiamana para komentator bukunya telah keliru dalam memahami metodenya, sehingga ia merasa perlu untuk memberikan penegasan akan perbedaannya dengan Hegel: My dialectical method is, in its foundations, not only different from the Hegelian, but exactly opposite to it. For Hegel, the process of thinking, which he even transform into an independent subject, under the name of ‘the Idea’, is the creator of the real world. With me the reverse istrue: the ideal is nothing but the material world reflected in the mind of man, and translated into forms of thought.

[2] Rob Beamish, Marx, Method, and the Division of Labor, University of Illinois Press, 1992, p. 1-2. Lihat juga Joseph Ferraro, Freedom and Determination in History According to Marx & Engels, Monthly Review Press, 1992, p. 37

[3] Kees van der Pijl, ‘Historical materialism and emancipation of labour,’ in Mark Rupert and Hazel Smith (ed.), Historical Materialism and Globalization, Routledge, London, 2002, p. 137.

[4] Peter Burnham, ‘Class struggle, states and global circuits of capital,’  in Mark Rupert and Hazel Smith (ed.), Ibid. p. 115. Pijl menyebut kelompok pertama sebagai penganut materialisme dialektik sedangkan kelompok kedua sebagai penganut materialisme naturalistik (Ibid., 129).

[5] Lihat Ferraro, Ibid., p. 45.

[6] Mark Laffey and Kathryn Dean, A flexible Marxism for flexible times,’ in Mark Rupert and Hazel Smith (ed.), Ibid. p. 95.

[7] Henri Lefebvre, Dialectical Materialism, University of Minnesota Press,” Minneapolis, 2009, p. 3.

[8] Lihat Laffey and Dean, op.cit, p. 93.

[9] Teks asli: ‘The general conclusion at which I arrived and which, once reached, became the guiding principle of my studies can be summarised as follows. In the social production of their existence, men inevitably enter into definite relations, which are independent of their will, namely relations of production appropriate to a given stage in the development of their material forces of production. The totality of these relations of production constitutes the economic structure of society, the real foundation, on which arises a legal and political superstructure and to which correspond definite forms of social consciousnerss. The mode of production of material life conditions tge general  process of social, political and intellectual life. It is not their consciousness of men that determines their existence, but their social existence that determines their coinsciousness. …..The changes in the economic foundation lead sooner or later to the tranformation of the whole immense superstructure,’ Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, International Publishers, Inc, NY, 1989, p. 20-21.

[10] Gerald A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History A Defence, Princeton University Press, 1978, p. 136.

[11] Ibid., 137.

[12] Ibid., Ibid., p. 143.

[13] Loc.cit

[14] Ibid., p. 143-4

[15] Piots Sztompka, The Sociology of Social Change, Blackwel Publishers, 1994, p.

165.

[16] Op.cit, p. 284. Garis miring dari saya.

[17] Ulasan Louis Althusser ini bisa dilihat pada bukunya For Marx, Verso, London, 2005, khususnya bagian tiga tentang ‘Contradiction and Overdetermination NOTES FOR AN INVESTIGATION, p. 89–128.

[18] Lihat John Bellamy Foster, ‘Introduction,’ in Ferraro, Op. cit,

[19] Karl Marx, The 18th Brumaire of Louis Bonaparte, International Publishers, NY, 1998, p. 15.

[20] Karl Marx, Theses on Feuerbach, http://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/theses/theses.htm, diunduh pada 6/18/2012.

[21] Engels to J. Bloch In Königsberg,

http://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21.htm, diunduh pada 6/18/2012.

[22] Paul Blackledge, Reflections On The Marxist Theory of History, Manchester University Press, 2006, p.21-22.

[23] Loc. cit

[24] Ellen Meiksins Wood, Democracy Against Capitalism Renewing Historical Materialism, Cambridge University Press, 2000, p. 23-27.

[25] Bertell Ollman, Social and Sexual Revolution Essays on Marx and Reich, South and Press, 1979, p. 105

[26] Bertell Ollman, Dance of the Dialectic Steps in Marx’s Method, University of Illinois Press, 2003, 156.

[27] Ibid., p. 140.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.