SETELAH dua belas tahun jatuhnya rezim Soeharto, muncul sebuah keyakinan yang mengental menjadi iman baru di kalangan intelektual, teknokrat, politisi, dan pengambil kebijakan di Indonesia bahwa desain institusi politik demokrasi liberal dan agenda good governance akan melapangkan jalan bagi penciptaan masyarakat terbuka berbasis pasar. Sistem ini diyakini bisa mendisiplinkan aparatus pemerintahan, menghabisi korupsi, dan memberi ruang setara bagi setiap orang untuk masuk dan menikmati berkah dari pasar bebas. Dalam perayaan besar perkawinan demokrasi liberal dan sistem pasar bebas ini, maka partisipasi tiap-tiap kekuatan sosial guna melancarkan jalan bagi desain neoliberal akan mengekuivalenkan kesederajatan tiap-tiap orang di negeri ini sebagai warga yang setara dalam politik sekaligus warga dari sistem pasar yang inklusif (market citizenship).
Namun demikian, perjalanan dua belas tahun era pasca otoritarianisme telah memunculkan cerita yang berbeda. Argumentasi para aktivis pendukung pasar bebas ternyata memiliki keterbatasan, karena tidak mempertimbangkan terjadinya interaksi antara praktik diskursif neoliberalisme dengan kekuatan-kekuatan sosial-politik dominan yang eksis di Indonesia.
Problem utama panggung politik Indonesia adalah terjadinya proses transmutasi praktik neoliberalisme di lingkungan politik yang koruptif di Indonesia. Terminologi transmutasi di sini merujuk pada istilah dalam ilmu kimia untuk menjelaskan perubahan sebuah entitas menjadi suatu entitas baru melalui proses persenyawaan kimiawi. Dalam konteks neoliberalisme di Indonesia, proses transmutasi praktik neoliberalisme terjadi bukan disebabkan oleh benturan dialektik antara kekuatan pro-pasar dan kekuatan populis anti-pasar. Pertemuan desain neoliberalisme dengan kepentingan kekuatan-kekuatan oligarkhi ekonomi politik di Indonesia, tidak melahirkan terbangunnya sebuah sistem yang menempatkan manusia-manusia Indonesia yang digerakkan oleh mekanisme pasar dalam kondisi yang setara. Pertemuan agenda neoliberalisme dan oligarkhi politik memunculkan terbangunnya lapisan kelas-kelas politik ekonomi baru yang mampu beradaptasi dengan kondisi pasar beserta susunan jejaring patronase politik di bawahnya.
Demikianlah, selama dua belas tahun era pasca otoritarianisme Soeharto, kita menyaksikan kemunculan dinasti-dinasti politik baru yang ditopang oleh tampilnya kekuatan orang-orang super kaya di Indonesia (Catatan Forbes 2012 bahwa 17 orang Indonesia masuk dalam daftar orang kaya dunia). Sementara kesetaraan dan keadilan ekonomi bagi tiap-tiap manusia Indonesia, sebagai warga yang dapat menikmati berkah masyarakat terbuka di bawah sistem pasar bebas, tak kunjung tercipta.
Pudarnya mimpi kalangan intelektual teknokratik untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi di bawah payung sistem pasar bebas beserta formulasi good governance, terjadi karena aktor dan aliansi politik strategis di tingkat domestik yang turut mengusung gagasan ini terbukti berhasil mengakomodasi agenda neoliberal dan memanfaatkannya untuk kepentingan sosial mereka sendiri (Vedi R. Hadiz 2006, Richard Robison 2006). Pendeknya, di bawah arahan para aktor-aktor politik yang korup, praktek neoliberalisme di Indonesia telah bertransmutasi menjadi tata kelola pemerintahan predatoris yang memangsa sumber-sumber ekonomi dan aset-aset publik.
Apa yang terjadi di Indonesia, memperlihatkan kondisi yang mirip dengan negara-negara di Amerika Latin pada dekade 1990-an. Seperti diutarakan sosiolog William I Robinson dalam karyanya Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony (1996), setelah kejatuhan beberapa junta militer dan rezim otoritarian di berbagai negara, proses demokrasi tak berhasil memajukan agenda politik popular dalam arus utama politik. Menurut Robinson, proses konsolidasi demokrasi di Amerika Latin sejak akhir tahun 80-an telah memunculkan karakter low intensity democracy (demokrasi berintensitas rendah). Berdasarkan arahan-arahan lembaga donor internasional, fokus reformasi politik yang dilakukan hanya menitikberatkan pada agenda demokrasi yang terbatas pada bagaimana memilih pemimpin melalui pemilihan umum yang jujur dengan segala pernak-perniknya, tanpa memperhatikan penguatan kapasitas politik dari rakyat itu sendiri. Sementara agenda pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi serta inklusi masyarakat, kesemuanya dijalankan untuk menanamkan tatanan pasar bebas dan reformasi teknokratik anti-politik di dalam sistem politik yang koruptif dan predatoris, tanpa hadirnya agenda-agenda redistribusi pendapatan dan keadilan struktural di dalamnya. Seperti yang kemudian terjadi di Indonesia, Amerika Latin juga mengalami fase tumbuhnya oligarkhi-oligarkhi politik yang menyumbat kanalisasi politik arus bawah, munculnya ketidakpercayaan publik dan tampilnya kekuatan rakyat yang menciptakan alternatif politik dengan melahirkan pemimpin-pemimpin organik dari mereka sendiri.
Kegagalan Neo-Institusionalisme
Menurut pengusung neo-institutionalisme, proses pembentukan rezim pasar bebas (neoliberalism regime) selain memerlukan persetujuan dan pelibatan elemen- elemen masyarakat, juga membutuhkan kontrol kelembagaan terhadap aktivitas elite politik dalam pengelolaan negara. Hal ini untuk mencegah distorsi terhadap berjalannya mekanisme pasar. Dari pertimbangan inilah, dalam pandangan para pengusung gagasan pelembagaan politik, agenda good governance menemukan relevansinya. Di atas, kertas menurut mereka, proses integrasi negara-negara berkembang ke dalam ekonomi global akan berjalan harmonis ketika lembaga-lembaga baru dibentuk untuk mengawasi proses pelayanan publik, dan lembaga-lembaga politik formal diperkuat perannya guna menciptakan tatanan politik yang bersih di era masyarakat pasar.
Problem mendasar dari desain good governance adalah tidak mempertimbangkan hadirnya faktor seperti kekuasaan, kepentingan dan kontestasi politik di ladang yang di atasnya disemaikan bibit pengetahuan praktis neoliberal tersebut. Konstatasi praktik neoliberal melupakan bahwa aktor-aktor aliansi strategis domestik pengusung gagasan neoliberal adalah kekuatan ekonomi politik yang tumbuh melalui proses inkubasi di lingkungan kapitalisme rente di era otoritarianisme Soeharto, maupun para wirausaha politik baru yang eksis melalui proses adaptasi atas institusi negara post-authoritarian yang korup. Alih-alih menciptakan tata kelola pemerintahan demokratik, transparan, dan akuntabel, implementasi pasar bebas di Indonesia berjalan melalui proses malpraktik politik dari para elite.
Secara kasat mata kita menyaksikan berbagai kasus yang menunjukkan tumpang tindihnya kepentingan ekonomi politik dan pengambilan kebijakan dalam konteks good governance. Kasus skandal Bank Century maupun kasus Nazaruddin, adalah contoh telanjang bagaimana kepentingan ekonomi politik dari suatu oligarkhi politik dominan bermain dan menelikung pengambilan kebijakan atas nama tata kelola pemerintahan yang bersih. KPK (komisi pemberantasan korupsi) yang dibentuk sebagai pengejawantahan pendekatan neo-institusionalism seperti tak berdaya melakukan investigasi terhadap kasus-kasus di atas sampai ke akar persoalannya, terpasung oleh tarikan kalkulasi elite politik.
Pada akhirnya, para oligarkh partai politik menjadikan kasus ini sebagai sandera politik dan alat negosiasi belaka dalam proses komunikasi politik. Kasus-kasus yang terjadi pada politik lokal, juga memperlihatkan bagaimana aktivitas aktor-aktor politik utama yang menjalankan praktik desentralisasi adalah faktor utama yang menghambat pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan transparan. Gambaran pendek tentang kondisi politik yang berlangsung pasca otoritarianisme di atas menunjukkan bahwa formasi ekonomi-politik yang terjadi di Indonesia saat ini bukanlah sebuah transformasi kapitalisme dengan institusi politik bersih yang mengawalnya seperti dibayangkan oleh para penganjur good governance. Apa yang terjadi di atas memperlihatkan bahwa Indonesia pasca Soeharto adalah perluasan dan pendalaman praktik akumulasi primitif dari sirkulasi modal yang telah muncul pada era Soeharto, yang dilakukan oleh aparatus negara dan para klien ekonomi di belakangnya.
Salah satu bentuk pertemuan antara agenda kepentingan sistem pasar bebas dan kepentingan dari elite-elite predatoris akan segera tampak apabila proses politik yang tengah dilakukan untuk menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) berhasil direalisasikan. Di satu sisi, kebijakan menaikkan harga BBM berarti menyerahkan kepentingan hajat hidup orang banyak pada mekanisme pasar; pada sisi lain kebijakan turunan yang diambil sebagai bagian dari kebijakan ini sarat tendensi kepentingan dari para elite politik predatoris di Indonesia. Hanya karena adanya gerakan massa yang berlawan, maka kebijakan ini ditunda untuk sementara waktu. Penundaan ini, sepertinya] menunjukkan terdesaknya kepentingan elite penguasa predatoris dalam panggung politik. Namun demikian kita tak boleh alpa, ketika harga BBM akan dinaikkan per September-Oktober, maka pada penghujung 2012 dana BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) sebesar Rp 200 ribu- Rp 250 ribu akan disebarkan ke seluruh masyarakat tanpa adanya efek signifikan dalam mengangkat produktivitas ekonomi masyarakat yang ketahanan hidup dan daya belinya telah dilantakkan oleh efek kenaikan harga BBM.
Maka menjelang 2014 dapat kita prediksi bersama, bagaimana para elite predatoris memasukkan kepentingan ekonomi politiknya dalam agenda pasar bebas. Kemungkinan-kemungkinan praktik politik koruptif menjadi niscaya, misalnya, mengonversikan bantuan bagi orang miskin dengan suara di pemilu, atau sebagai asupan dana bagi partai politik.
Demikianlah, alih-alih membangun masyarakat terbuka, demokratis, dan setara, sistem demokrasi liberal dan pasar bebas di Indonesia telah bahu-membahu mengabadikan sistem rente ekonomi-politik, penggemukan oligarkhi, penghancuran ketahanan sosial masyarakat, dan pengikisan kehidupan demokratik berbasis otonomi warga.
Pembelahan Politik
Dalam kondisi demikian, jalan awal rehabilitasi politik bagi para aktor-aktor demokrasi adalah mempertimbangkan perlunya pembelahan politik ketimbang konsensus politik. Sudah saatnya kita memaknai konsolidasi demokrasi, pertama-tama bukan sebagai proses pembentukan konsensus di antara para elite-elite politik. Mengingat di kalangan elite-elite politik yang koruptif tersebut, proses konsensual politik menjadi arena mem-peti-es-kan kasus-kasus penjarahan aset publik yang mereka lakukan. Dalam lingkungan politik yang dipenuhi oleh elite-elite predatoris, maka pemaknaan proses konsolidasi demokrasi adalah melakukan pembelahan politik secara radikal, dengan cara mengonfrontasikan kekuatan-kekuatan sosial yang mendapat keuntungan dari proses akumulasi primitif yang berlangsung pada era free market democracy, dengan mereka yang dirugikan oleh bekerjanya sistem tersebut.
Hanya melalui pembelahan politik, penyaringan kekuatan-kekuatan sosial dan proses rekonstitusi kekuatan-kekuatan sosial progresif, kita dapat keluar kungkungan tirani modal-cum tirani elite-elite predatoris di Indonesia. Dalam proses politik pembelahan ini, kita tak dapat bergantung pada proyek-proyek konsolidasi demokrasi seperti good governance dan berbagai agenda pembangunan yang berbasis pada demokrasi liberal dan tatanan pasar bebas. Mengapa demikian? Tidak lain karena tampilnya kekuatan-kekuatan progresif yang melawan kelas politik baru yang mengambil manfaat dari desain neoliberalisme adalah pula perlawanan terhadap rezim neoliberalisme. Dalam konteks perlawanan terhadap kebijakan pencabutan subsidi BBM, misalnya, maka gerakan sosial progresif harus menempatkannya sebagai bagian dari perlawanan terhadap rezim kapitalisme-neoliberal secara keseluruhan. Sebab kita paham bahwa siapapun dan dari partai atau koalisi partai manapun yang berkuasa, sepanjang mereka tunduk pada agenda-agenda kapitalisme-neoliberal maka proses privatisasi, deregulasi dan liberalisasi pasar serta pemotongan anggaran publik (pencabutan subsidi) akan terus bnerlangsung. Jika tidak, maka aksi-aksi militan tersebut akan mudah terjebak pada pertarungan politik di tingkat elite yang sama-sama korup dan diuntungkan oleh kebijakan neoliberal selama ini.
Inilah makna politik pembelahan yang saya sebut di atas. Dan hanya dalam terang kesadaran inilah, maka kontradiksi antara kekuatan-kekuatan pendukung pasar bebas dan kekuatan sosial progresif yang ingin menyudahi penindasan dan eksploitasi kapital akan semakin nyata. ***
Airlangga Pribadi, Mahasiswa Program Doktoral Ekonomi Politik di Asia Research Centre (ARC) Murdoch University, Australia